Mumpung anom memerdiya, mardaweng Budaya Seni,
trap susila tatakrama, kapribaden Bangsa Jawi
den pundhi pinepetri, kang neng tenging Trengga – ulun,
Panji Lasem Talbaya, Klayu ngesthi Badra –Santi,
labuh ladi mrih mrajak Tunjung Mandira.
Betekira labuh Bangsa, sanadyan den anggep musrik
nanging empaning panjangka, tansah muji mangastuti.
mrih anjraha sri-adi Buda Budi Budaya gung
ing sakadar mawreta, swawi ngreksa myang memetri
ngleksanana sabdane Yang Santibadra. ~ Badra Santi 1985: 37
Tembang Sinom di atas, dilantunkan indah penuh artikulasi oleh KRT Widodo Brotosejati beserta para pengrawit Gamelan Mpu Santi Badra. Tepatnya sesudah Mas Ito, memukul gong bende warisan Kerajaan Lasem yang berhiaskan tiga naga melingkari mustika berwujud bunga teratai dan roda Dhamma, simbol Tri Ratna.
Peristiwa bersejarah ini menandai dimulainya prosesi adat Jawa brobosan dan ngiring layon mendiang Winarno. Saat gending gamelan kemanak mengalun laras, awan tebal menyelimuti langit di kediamannya, jalan raya Kawi Semarang. Terik panas di bulan kemarau ini, mendadak menjadi teduh dan membuat ratusan orang pelayat merasakan lebih nyaman, tidak lagi merasa gerah.
Siang itu, Kamis, (24/8) , Pukul 11.00 WIB, kerabat keluarga mendiang Winarno dan jemaat GKI Peterongan Semarang, berdiri tertib menatap peti putih bergambar perjamuan akhir Tuhan Yesus, diusung keluar dari dalam rumah. Suatu harmoni indah kekayaan kebudayaan Indonesia “terlukiskan” pada prosesi pemakaman mendiang.
Winarno merupakan putra pertama dari sepuluh anak pasangan Pandita Takrip Hadidarsana (1915-2000) dan Ibu Djajalien (1925-2003). Orangtuanya berprofesi sebagai guru Volkschool (sekolah dasar) sejak era Belanda.
Ayah Winarno adalah pemuka agama Buddha di era tahun 1960 sampai 1980-an, yang berasal dari Lasem dan banyak berkarya di Kota Tajug-Kudus. Kedua orangtua Winarno dikenal masyarakat Kudus dan Lasem dengan panggilan “Mbah Guru”. Nama yang tidak asing bagi penggemar sastra Buddhis bercorak Jawa-Tionghoa, Badra Santi. Karena selama berkarya, Pandita T. Hadidarsana tidak suka menampilkan nama aslinya. Ia memilih sandi asma Mbah Guru atau Pujangga Argasoka dalam karya tulis yang dihimpunnya sejak tahun 1931.
Mbah Guru Kakung atau Mbah Takrip Hadidarsana adalah salah satu pendiri Vihara Tanah Putih dan organisasi Buddhis Indonesia pada tanggal 1 Januari 1965 (terkait paut dengan berdirinya Mapanbudhi/Magabudhi di kemudian hari).
Ia Aktif sejak tahun 1960 di Vihara Buddha Gaya Watu Gong Semarang dan merupakan sesepuh Vihara Dhamma Vidya di Desa Tambak Lulang, Ploso, Kab. Kudus. Semasa hidupnya, meski berbeda keyakinan, Winarno mendukung cita-cita orangtuanya dalam membabarkan kebudayaan Jawa bercorak Buddhis dengan semangat Badra Santi.
Mendiang Winarno lahir di Lasem, 8 Agustus 1940 dan wafat pada 23 Agustus 2017 pada pukul 06.30 WIB di RS Elisabeth Semarang. Sebelumnya, Ia mengalami sakit komplikasi karena usianya yang telah sepuh. Meski sudah wafat, mendiang Winarno seolah masih memberikan petuah nasihat yang damai bagi kita yang ditinggalkan. Walaupun ia memeluk iman Kristiani, namun upacara perkabungannya menggambarkan keselarasan antaragama dan kebudayaan.
Salah satunya tampak dari banyaknya pelayat yang berbusana muslim, duduk bersanding dengan jemaat gereja yang hadir. Sementara di depan mereka, tampak sekelompok seniman bersurjan Jawa lengkap dengan blangkon, duduk di teras rumah, tepat di samping pemain organ musik rohani gerejawi.
Hal ini dapat terjadi, karena mendiang Winarno adalah sanak turun Adipati Tejakusuma Lasem, yang selama ini dikenal sangat akomodatif pada kemajemukan budaya yang hadir di bumi Lasem. Belum lagi kidung Badra Santi yang mengiringi prosesi pelepasan jenazah menuju ambulans, sarat berisi petuah nasihat bercorak Jawa-Tionghoa. Lengkap sudah perkabungan tersebut menggambarkan “Sang Adipati” yang dicintai para kawula-rakyatnya. Hampir semua para pelayat menitikan air mata haru melepas sosok panutan menuju peristirahatan terakhirnya di Pemakaman Umum Kedung Mundu, Semarang.
Almarhum Winarno meninggalkan seorang istri, Ibuayu Endang Setyani dengan tiga anak dan enam cucu. Putra pertamanya, R.P. Widya Ekantara, tinggal di Australia. Putra kedua R.P. Wiria Aryanta atau Mas Ito, tinggal di Palembang dan seorang putri, R.A. Witri Setyorini yang tinggal di Semarang.
Pada kesempatan tersebut, hadir Upacarika Padana D. Wahyudi Agus R, Ketua PC Magabudhi Kota Semarang dan Rama Lukas Surya Sanjaya Oey, mewakili umat Buddha dari Vihara Tanah Putih dan Vihara Buddha Gaya Watu Gong Semarang, yang juga seorang pengurus PD Magabudhi Jawa Tengah Bidang Pemberdayaan Umat. Lima belas hari sebelum wafatnya mendiang, perwakilan umat Buddha dan seniman Gamelan Mpu Santi Badra yang didampingi Samanera Vijjajayo, sempat bertandang di kediamannya untuk menyampaikan ucapan selamat ulang tahun ke 77 (bersambung).
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara