• Sunday, 6 March 2016
  • Sutar Soemitro
  • 0

Umat Buddha Indonesia kehilangan salah seorang pejuang Dharma yang gigih. Romo Krishnanda Wijaya Mukti meninggal dunia dalam usia 67 tahun pada Minggu (6/3) dinihari pukul 01.37 WIB di Rumah Sakit Evasari, Jakarta.

Romo Krish meninggal dunia setelah berjuang melawan penyakit kanker hati. Saat ini jenazah Romo Krish disemayamkan di Rumah Duka Heaven (Atmajaya), Pluit, Jakarta Utara lantai dasar ruangan EF. Jenazah akan dikremasi pada hari Kamis (10/3).

Romo Krishnanda yang lahir di Sukabumi, 17 Maret 1950 dikenal sebagai tokoh yang kritis dan konsisten. Menamatkan pendidikan sebagai dokter, Romo Krish justru lebih dikenal di kalangan Buddhis sebagai tokoh pendidikan. Itu tak lepas dari kiprahnya di Yayasan Pendidikan Buddhis Tri Ratna yang mengelola Sekolah Tri Ratna. Dan pada akhir hayatnya, ia masih tercatat sebagai ketua yayasan tersebut.

Salah seorang mantan guru di Sekolah Tri Ratna, Yeni Harianto, menyebut Romo Krish sebagai orang yang konsisten, “Beliau orang yang hebat, konsisten, berwibawa. Kalau ngomong A, ya A. Kalau ngomong B, ya B. Beliau juga disiplin banget.”

Yeni bergabung dengan Tri Ratna berbarengan dengan Romo Krish pada tahun 1988. “Pak Krish selalu menekankan, penanaman nilai-nilai Buddhis itu tidak selalu melalui misalnya lambang, Buddha rupang, dan sebagainya. Yang paling penting adalah penerapan nilai-nilai Buddhis. Beliau selalu mengatakan, ‘Kumbang itu kalau menghisap madu tidak meninggalkan bekas’. Contoh sederhananya, kalau orang membuang sampah pada tempatnya, tidak meninggalkan sampah di mana-mana,” ujar Yeni.

Kesan Romo Krish sebagai orang yang konsisten juga melekat di benak Metta Suri Citradi, mantan ketua umum Wanita Buddhis Indonesia (WBI) yang mengenalnya sejak masih remaja sewaktu aktif di vihara.

“Pak Krish itu orangnya konsisten dan sangat tekun,” ujar Metta Suri. “Yang saya salut, semangatnya sangat tinggi. Walaupun badannya tidak menopang, meskipun dipapah, beliau masih tetap ceramah. Walaupun badannya lemah, semangatnya tetap tinggi.

“Orangnya kecil, semangatnya tinggi!” seru Metta Suri.

Romo Krish juga dikenal sebagai figur yang sangat kritis. Menurut Metta Suri, itu karena Romo Krish konsisten dengan apa yang diyakininya. “Dia tidak mau apa yang tidak ada di dalam Dharma, dikatakan ada. Apa yang tidak ada, dikatakan ada,” jelasnya.

“Beliau pahlawan Dharma. Yang patut kita tiru, beliau orangnya pintar. Beliau mau mencari apa aja, dan mau berbagi kepada orang lain. Tidak ada kata pelit buat dia. Dia mau berbagi apa yang dia punya,” tutup Metta Suri.

Kecintaan Romo Krish pada dunia pendidikan juga mendorongnya mendirikan Yayasan Dharma Pembangunan sejak tahun 1986 yang memberikan beasiswa kepada anak-anak Buddhis dari berbagai daerah untuk bersekolah di SMA Tri Ratna. Banyak dari mereka yang kini telah menjadi aktivis Buddhis yang kritis layaknya Romo Krish.

Salah satunya adalah Isyanto, yang kini menjadi direktur eksekutif Institut Nagarjuna. “Pak Krish adalah orangtua utama kami (anak asuh Dharma Pembangunan dari berbagai daerah) di Jakarta, yang tidak hanya membimbing, tapi juga menjadi inspirasi bagi kami semua,” ujar Isyanto.

“Beliau tidak banyak bicara dan cara pandangnya seringkali tidak kami pahami terkait Buddha Dharma yang inklusif, sekte, dan kebangsaan. Banyak hal yang baru saya pahami setelah banyak belajar di luar. Pak Krish sedikit dari tokoh Buddhis yang pemikiran dan kajiannya sangat progresif, yang seringkali menyegarkan, bahkan menyentil para pimpinan,” tambah Isyanto.

Romo Krish juga aktif di berbagai organisasi Buddhis. Ketika masih kuliah, ia adalah salah satu pendiri dan pernah menjadi ketua Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta (KMBJ) yang kini berubah nama menjadi Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (HIKMAHBUDHI). Romo Krish sangat dihormati oleh para aktivis HIKMAHBUDHI karena menjadi peletak pondasi arah pergerakan mahasiswa Buddhis ke bidang sosial, di mana sebelumnya mahasiswa Buddhis hanya bergerak di bidang keagamaan.

Romo Krish juga pernah menjadi Pembimas Buddha Kanwil Departemen Agama DKI Jakarta, sekretaris presidium Majelis Buddhayana Indonesia (MBI), pendiri dan ketua Badan Koordinasi Pendidikan Buddhis Indonesia (BKPBI), ketua pengawas Yayasan Ashin Jinarakkhita, pengawas Yayasan Karaniya, dosen agama Buddha, serta penulis dan editor sejumlah buku. Bukunya yang paling terkenal adalah Wacana Buddha Dharma yang diterbitkan oleh Yayasan Dharma Pembangunan bekerjasama dengan Ekayana Buddhist Centre.

Salah satu kritik Romo Krish yang cukup kontroversial tapi kemudian banyak diterapkan oleh komunitas Buddhis adalah menghilangkan embel-embel “sang” dalam penyebutan “Sang Buddha”. Kritiknya tersebut sering ia ungkapkan dalam sejumlah forum, entah ceramah, seminar, atau kelas. Menurutnya, Buddha adalah manusia sempurna yang agung dan mulia, tidak perlu lagi ditambahi atribut apa pun agar lebih mulia.

Embel-embel “sang” biasanya digunakan untuk mengangkat derajat hewan (biasanya dalam dongeng) agar seperti manusia, misalnya sang kodok, sang kancil, dan sang yang lain. “Masa Buddha disamakan dengan kodok,” cetus Romo Krish suatu ketika.

Pejuang Dharma yang gigih, konsisten, dan kritis itu kini telah pergi. Umat Buddha merasa kehilangan salah satu pejuangnya. Itu terlihat dari banyaknya umat yang hadir di rumah duka.

Terima kasih. Selamat jalan, Romo Krish..

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *