Tak lama lagi usia Nadya Hutagalung menginjak kepala empat, tapi kecantikannya masih tetap saja memukau. Dengan pengalaman panjang di dunia modeling, tak salah jika ia terpilih menjadi pembawa acara sekaligus juri kepala ajang pencarian model berbakat paling populer di Asia, Asia’s Next Top Model, yang kali ini memasuki season dua. Acara ini ditayangkan salah satu televisi swasta lokal.
Lama tidak muncul di dunia hiburan tanah air, Nadya Hutagalung kini bukan hanya dikenal sebagai supermodel papan atas, namun juga sebagai seorang aktivits lingkungan.
Modeling
Nadya Hutagalung lahir pada 28 Juli 1974, dan besar di Australia. Nama Batak yang ia miliki berasal dari ayah, sedangkan ibunya adalah warga Australia. Nadya kini tinggal di Singapura bersama suaminya, Desmond Koh, seorang mantan atlet renang negeri Singa, serta ketiga anaknya: Tyrone, Fyn, dan Nyla.
Sejak kecil, kecantikan Nadya sangat khas karena merupakan perpaduan Batak dan Australia. Itu membuatnya terlihat istimewa sehingga pada usia 12 tahun sudah merantau ke Tokyo, Jepang menekuni dunia modeling.
Namanya mulai dikenal luas ketika menjadi salah satu perintis VJ MTV Asia di Singapura pada tahun 1995. Bagi Anda yang pernah jadi anak nongkrong MTV pada dekade 1990-an pasti tidak asing dengan gaya dan celetukan kocak namun elegan Nadya. Sebanyak 70 juta pemirsa di seluruh Asia berhasil terhibur olehnya.
Kini di usianya yang sudah mulai uzur untuk ukuran dunia modeling dan hiburan, Nadya berbagi pengalaman panjangnya melalui ajang Asia’s Next Top Model. “Tujuan saya bergabung dengan acara itu adalah berusaha semampu saya untuk membantu mempersiapkan perempuan-perempuan muda yang menjadi kontestan untuk bisa masuk industri dalam kondisi mereka yang terbaik,” jelas Nadya.
Namun di balik glamornya dunia modeling dan hiburan yang membesarkan namanya, ternyata Nadya adalah sosok yang pendiam dan tertutup. Namun ia berubah menjadi sosok yang berbeda ketika di depan kamera. Ia juga pergi ke pesta hanya untuk amal. Di luar itu, ia lebih senang tinggal di rumah dan membaca.
Pelestarian Lingkungan
Membicarakan seorang supermodel sangatlah lumrah jika membicarakan tentang pesona kecantikan lahiriah. Tapi Nadya Hutagalung lebih dari sekadar itu.
Nadya Hutagalung adalah seorang eco-warrior (pejuang lingkungan)!
Bersama suaminya, ia mendirikan website www.greenkampong.com pada tahun 2007 di Singapura. Website ini berisi tentang gaya hidup ramah lingkungan, meliputi artikel pelestarian, bisnis ramah lingkungan, desain dan arsitektur, makanan, fesyen dan kecantikan, iptek, dan cara mempraktekkan gaya hidup ramah lingkungan.
Ia juga merupakan global brand ambassador gerakan Earth Hour dan menjadi anggota dewan kehormatan Green School di Bali yang pernah mendapat penghargaan sebagai “The Greenest School on Earth” dari US Green Building Council, Amerika.
Aktivitasnya dalam memperjuangkan pelestarian lingkungan membuatnya terpilih sebagai runner-up The International Green Awards: Most Responsible International Celebrity 2013, dimana ia bersaing dengan sejumlah selebriti dunia semisal George Clooney, Robert Redford, dan Penelope Cruz.
Pada tahun 2014 ini, perjuangan Nadya difokuskan pada kampanye pengurangan jual beli gading gajah melalui program “Let Elephants Be Elephants”.
“Perdagangan gading sekarang adalah yang paling parah dibandingkan sebelumnya,” tutur Nadya. Menurutnya, pada tahun 2012 saja ada sekitar 30 ribu gajah yang dibunuh untuk diambil gadingnya.
Afrika sebagai kawasan yang memiliki populasi gajah paling besar tidak lagi bisa menghentikan pembantaian gajah. Yang bisa dilakukan sekarang adalah mengurangi permintaan akan gading, dan ironisnya permintaan terbesar datang dari Asia.
Dengan reputasi hebatnya di Asia, Nadya diharapkan bisa berbuat banyak. Sebagai catatan, Nadya pernah terpilih sebagai salah satu Asia’s Leading Trendmakers oleh majalah Asiaweek bersama Dalai Lama, Michelle Yeoh, dan Chow Yun Fat, untuk kemampuannya dalam memberikan inspirasi dan menarik perhatian publik.
Perjuangan Nadya Hutagalung dalam pelestarian lingkungan bukan hanya dalam skala masif. Karena ia juga mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan hidup sederhana. Misalnya, Nadya sehari-hari tak pernah memakai riasan wajah tebal, dan tak suka barang bermerek. Ia bahkan hanya membeli tas dua tahun sekali, itu pun bukan yang bermerek terkenal.
Soal pakaian pun, Nadya memilih model yang klasik dan bisa dipakai bertahun-tahun. Bahkan, sepatu-sepatu dan tas yang sudah tak dipakainya lagi tetap ia simpan untuk diberikan pada sang putri, Nyla, bila kelak sudah dewasa. Nadya juga menghindari memakai barang-barang yang terbuat dari kulit. Ia juga menggunakan perabot bekas berumur 15-40 tahun untuk mengisi rumah mereka. Kalau ada yang rusak, mereka memilih memperbaiki daripada membeli yang baru.
Rumah yang mereka tinggali adalah sebuah eco-house pertama di Singapura yang dibangun dari nol. Butuh waktu tiga tahun untuk membangunnya karena benar-benar memperhatikan aspek ramah lingkungan. Wajar sih, bukan pekerjaan mudah membangun rumah ramah lingkungan di tengah kota metropolitan seperti Singapura.
“Bikin eco-house di Singapura agak sulit. Kita bikin rumah sebisanya ramah lingkungan,” kata Nadya. Sebagian besar material konstruksi berasal dari bahan yang bisa diperbaharui untuk mengurangi jejak karbon. Rumahnya memang terpasang AC, tapi tidak pernah dipakai karena sirkulasi udara alami berjalan lancar.
“Kami berhasil membangun rumah pasif. Rumah pasif berarti membutuhkan sangat sedikit pemanas ataupun pendingin,” jelas Nadya kepada Desi Anwar pada acara Face 2 Face.
Baginya, ramah lingkungan bukan hanya sebuah ide bagus, tapi pilihan dan gaya hidup yang bisa dipraktikkan di tingkat paling sederhana. Termasuk soal makan.
“Salah satu hal menarik yang selalu saya katakan adalah fakta bahwa jika Anda ingin menjalani hidup yang lebih baik, jika Anda ingin menjalani hidup yang lebih ramah lingkungan, hal termudah yang bisa dilakukan untuk menyesuaikan jejak karbon adalah mengurangi makan daging,” Nadya berpesan.
Nadya mengakui belum bisa menjadi vegetarian sepenuhnya karena tuntutan pekerjaan kadang sulit membuatnya menemukan makanan non hewani. Namun ia selalu berusaha seminimal mungkin tidak makan daging.
Keluarga
Nadya sangat menikmati perannya sebagai ibu bagi ketiga anaknya. Nadya sering menghabiskan libur akhir pekan sederhana bersama keluarganya: berkebun lanjut memasak bersama, lalu mengundang teman-teman mereka untuk makan bersama.
Nadya sering memposting foto-foto aktivitas anak-anaknya di Instagram. Foto-fotonya kebanyakan bercerita tentang betapa bahagianya anak-anaknya bercengkerama dengan alam, alih-alih bermain gadget seperti lazimnya anak-anak zaman sekarang. Dari bergelantungan di atas kolam sebelum nyebur, nyeker sambil menggenggam rambutan, melukis, hingga berlatih yoga bersama ibunya.
Menariknya, Nadya tidak pernah mengunggah foto mereka dengan wajah terlihat jelas. Lebih sering foto dari belakang atau samping. Kalaupun dari depan, wajah tidak terlalu kelihatan jelas. Ia sengaja melakukannya untuk menjaga privasi anak-anaknya. Karena sebagai anak dari public figure kondang seperti Nadya Hutagalung, pasti tidak sedikit kamera yang ingin menyorot anak-anaknya.
Ia berharap anak-anaknya tidak mengikuti jejaknya di dunia hiburan. “Saya ingin mereka tumbuh menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri,” ujarnya.
Nadya juga tidak menjadikan nilai sekolah sebagai ukuran keberhasilan anak-anaknya. “Saya juga tidak pernah fokus pada nilai sekolah. Penting bagi saya, agar (mereka) memiliki hal-hal penting, seperti moral, etika, kasih sayang, dan kebaikan. Dan mereka menjadi anggota masyarakat yang terlibat,” harap Nadya.
Tentang hal ini, Nadya punya sebuah pengalaman berkesan. Suatu ketika, anak keduanya, Fyn, ikut dengannya mengunjungi Desa Masai di Afrika. Tidak seperti biasanya, Fyn yang ketika itu berusia 11 tahun tidak memotret, padahal ia sangat suka memotret. “Kamu boleh mengeluarkan iPod, potretlah,” bujuk Nadya. Tapi jawaban sang anak sangat mengejutkannya, “Ibu, aku tak mau mengeluarkannya di sini.” Bukan karena Fyn takut iPodnya hilang, tapi karena dia tahu barang itu dianggap mahal, dan Fyn tak ingin pamer di depan anak-anak Masai.
“Bagi saya itu lebih berarti daripada nilai bagus,” ujar Nadya tersenyum penuh arti.
Spiritualitas
Jalan hidup Nadya yang penuh warna membuatnya menjadi pribadi yang matang. “Ada beberapa pilar dalam hidup saya yang saya anggap penting, yaitu keluarga, aktivitas pelestarian lingkungan, pekerjaan, dan kehidupan spiritual,” cetus Nadya.
Nadya sebenarnya memiliki bakat spiritual sedari kecil. Ia bercerita, ketika umur 5 tahun, ia sudah banyak bertanya tentang alam semesta, Tuhan, dan agama. Bahkan pada suatu malam saat kelas 2 SD, saat ia telentang menengadah ke langit malam yang penuh bintang, ia berimajinasi, “Jika Tuhan membuat segalanya, saya punya bayangan jin dalam botol, dan saya bayangkan Tuhan keluar dari guci tanah liat. Tuhan membuat segalanya, tapi siapa yang membuat gucinya?”
Di awal usia 20-an, Nadya mulai membaca semua buku agama dan mempertanyakan semuanya. Dan kini dia adalah seorang penganut Buddha. Perubahan dalam dirinya tidak lepas dari peran Buddhisme yang mulai ia praktikkan tahun 2005. Buddhisme membuatnya mengerti arti kedamaian pikiran dan membuatnya menjadi ibu, teman, dan istri yang lebih baik.
Ia juga beberapa kali ikut dalam acara-acara Buddhis, termasuk mendengarkan ceramah Dalai Lama secara langsung. Bahkan Nadya memiliki sebuah brand perhiasan ramah lingkungan yang diberi nama OSEL, yang diambil dari bahasa Tibet yang berarti cahaya terang.
Nadya selalu menyempatkan diri untuk meditasi. Menurutnya, “Saya sangat jarang punya waktu luang yang banyak. Jika ada waktu luang walaupun sedikit, saya meditasi. Karena dengan meditasi, Anda bisa kembali lagi melihat siapa diri kita sebenarnya, dan membuat Anda menjadi lebih bisa berdamai dengan segala hal.”
“Karena jika kita tidak punya spiritualitas, kita bisa mudah tersesat. Pikiran kita bisa mudah teralihkan, bisa terhanyut oleh banyak hal,” ia menambahkan.
Dengan segala pencapaiannya sejauh ini dan keluarga bahagianya, sudahkah Nadya Hutagalung merasa bahagia? “Saya (sedang) mengejar kebahagiaan. Menurut saya, agar seseorang bisa berkata dia sungguh bahagia, dia harus benar-benar tahu apa yang membuatnya bahagia,” jawab Nadya.
Dan kebahagiaan yang ingin ia peroleh adalah kebahagiaan non-materi yang datang dari dalam diri karena melakukan hal-hal yang berguna. “Semoga saya berada di jalan yang benar. Karena kadang kita terjebak dalam hal-hal pragmatis yang kita hadapi dalam hidup sehingga jalan itu menjadi sedikit berkabut. Tapi itu tak berarti kita tak berniat untuk tetap di jalan itu,” harap Nadya. Semoga!
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara