• Sunday, 5 January 2020
  • Ngasiran
  • 0

Umat Buddha Indonesia kehilangan sosok seniman Buddhis penuh dedikasi, Suprapto Suryodharmo, pencipta Wayang Buddha meninggal dunia di tanah kelahirannya, Solo, Minggu (29/12) dini hari pukul 01.45 WIB. Mbah Prapto – sapaan akrab Suprapto Suryodharmo – dikabarkan meninggal akibat serangan jantung, ia sempat dirawat di rumah sakit dr. Oen selama beberapa jam sebelum mengembuskan napas terakhir.

Mbah Prapto lahir di Surakarta pada tahun 1945. Sejak kecil Mbah Prapto memang sudah gemar olah jiwa dan raga. Gerak tubuh dipelajari Mbah Prapto dari menari tari klasik Jawa dan mengikuti seni bela diri seperti pencak silat dan kungfu. Sedangkan seni olah jiwa didapat dari ayahnya yang menganut aliran kejawen melalui laku prihatin, relaksasi Jawa (sumara).

Pada tahun 1970-an Mbah Prapto mulai mendalami gerak ekspresi bebas. Namun dalam perjalanan waktu, Mbah Prapto merasa ada kejanggalan dalam dirinya, sehingga ia harus mencari sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti. Dalam proses pencariannya itu, Ia bertemu dengan ajaran Buddha saat mengikuti meditasi vipassana di bawah bimbingan Bhante Jinaphalo.

“Pada hari terakhir vipassana, saya merasa mendadak menjadi seperti orang biasa lagi, mendadak sadar, menangis. Terus saya langsung minta ditahbiskan menjadi umat Buddha oleh Bhante Jinaphalo, dan saya ditahbiskan dengan nama Surya Dharma,” tutur Mbah Prapto kepada BuddhaZine tahun 2016 silam, di Hotel Pelataran Borobudur, Kota Mungkid, Magelang.

Meditasi vipassana kemudian mempengaruhi kreativitas Mbah Prapto dalam setiap pementasannya. Dari sana juga lahir tarian khas Mbah Prapto yang disebut sebagai Joget Amerta.

“Joget Amerta adalah bentuk dari gerak bebas, ada retret. Jadi memang gabungan vipassana bentuk meditasi Jawa (sumara) dan gerak bebas. Dilakukan di candi-candi, pasar,” katanya.

Di dunia pewayangan, Mbah Prapto juga terkenal mengenalkan genre wayang baru yaitu Wayang Buddha. Wayang Buddha merupakan seni pertunjukan yang memadukan antara laku, mantra, dan meditasi vipassana. Sehingga dalam sebuah pertujukan seni tidak hanya menjadi sebuah tontonan saja, tetapi lebih dari itu, yaitu menyampaikan pesan moral kepada penonton.

Wayang ini diciptakan oleh Mbah Prapto bersama Hajar Satoto, perupa yang juga berasal dari Solo. Meskipun diwarnai pro dan kontra, Wayang Buddha sempat mewarnai dunia pewayangan di Indonesia, bahkan sampai dipentaskan di berbagai negara.

Pentasnya ke Jerman (bersama koreografer Sardono W Kusuma) dalam Festival Pantomim Internasional tahun 1982 mempertemukannya dengan orang-orang yang memiliki pendekatan gerak bebas, sama dengan dirinya. Setiap tahun sejak lawatannya yang pertama itu, Mbah Prapto terus-menerus diundang untuk memberikan workshop dan mementaskan jogetnya di Eropa, Australia, Filipina, Korea, Jepang, dan Amerika Serikat.

Ketika jaringannya mulai tersebar di banyak negara, tahun 1986 ia mendirikan Padepokan Lemah Putih, sebuah wadah untuk menampung murid-muridnya. Di padepokan itulah kemudian lahir komunitas Sharing Movemen. Istilah ini untuk menyebut teknik mengajar Mbah Prapto yang lebih banyak sharing.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *