Mungkin nama Kwee Tek Hoay tak banyak dikenal oleh generasi sekarang, namun siapa sangka dia merupakan tokoh sangat berpengaruh dalam kebangkitan agama Buddha di Indonesia. Meski tak memakai jubah, ia menjadi tokoh sentral dalam membangkitkan Buddhadharma. Kebangkitan Buddhadharma di Indonesia tak datang dari kaum spiritualis, melainkan dari tokoh intektual.
Kwee Tek Hoay merupakan peranakan Tionghoa. Lahir di Buitenzorg alias Bogor pada 31 Juli 1886. Seperti sebagian besar anak-anak Tionghoa pada jaman itu, Kwee Tek Hoay mendapat pendidikan sekolah Tionghoa dengan pengantar Bahasa Hokkian. Ayahnya berasal dari Desa Lam An, Provinsi Fujian, Tiongkok, yang merantau ke Pulau Jawa dan menetap di Bogor. Senada dengan itu Bapaknya juga melarang Kwee Tek Hoay kecil menggunakan bahasa selain bahasa Hokkian.
Aturan berbahasa telah merundungnya. Padahal, ia sangat ingin belajar bahasa Melayu. Ini juga yang menjadi alasan Kwee Tek Hoay hanya sekolah sampai jenjang sekolah dasar, karena membolos terus. Sebenarnya, ia ingin belajar di sekolah Belanda milik pemerintah Hindia Belanda saat itu, tetapi pemerintah kolonial tak sudi menerima siswa dari kalangan jelata. Mereka hanya melapangkan jalan bagi anak-anak menak dan orang berpangkat.
Kwee Tek Hoay belajar akuntansi dari seorang guru sekolah Belanda. Bahasa Inggris ia pelajari dari S. Maharaja, seorang berkebangsaan India yang mengajar di sekolah Tiong Hoa Hwee Koan di Bogor. Dari Lebberton dan Wotman, orang-orang dari perkumpulan Loge Theosophie, ia belajar bahasa Belanda. Bahasa Melayu, ia pelajari diam-diam dari ibunya yang merupakan generasi ketiga keturunan Tionghoa yang sudah menetap di Bogor.
Di rumah, selain membantu orangtuanya berjualan menunggui toko dan belajar kepada guru-guru yang diundang, ia juga belajar secara otodidak. Banyak buku ia baca. Sejak muda Kwee sudah hobi menulis. Banyak orang menjulukinya si kutu buku karena kehausannya dalam akan ilmu.
Ayah
Mengikuti jejak sang ayah Kwee juga membuka usaha toko serba ada, selain itu menyempatkan di sela-sela waktunya untuk menulis. Kwee mulai aktif menulis pada tahun 1905, dan fokus utama perhatiannya adalah masalah kemasyarakatan. Kemudian ia menikah dengan seorang gadis pada tahun 1906.
Istrinya diajarkan cara mengelola usaha. Setelah bisa, ia menyerahkan seluruh kendali usaha kepada istrinya dan memfokuskan diri untuk menulis. Apa yang dilakukan Kwee, di luar kebiasaan orang zaman itu. Biasanya perempuan hanya di rumah dan mengurus anak.
Tulisan-tulisan Kwee Tek Hoay banyak dimuat surat kabar Li Po, Sin Po, Ho Po, dan Bintang Betawi. Pada tahun 1926 Kwee mendirikan majalah Panorama. Tulisan Kwee meliputi persoalan filsafat, agama, kebatinan, budaya, sejarah, sosial dan politik. Kwee juga pernah menjabat sebagai Dewan Redaksi majalah Li Po dan Ho Po. Karena sering menuliskan kritik terhadap kebijakan pemerintah Kolonial Hindia Belanda, ia sempat mendekam dipenjara. Namun tak menghentikan produktivitasnya untuk menulis dan menyikapi masalah sosial-politik.
Ia juga banyak membela kaum-kaum perempuan, baik dalam tulisan maupun ranah praktis. Ia banyak memberikan ruang khusus untuk penulis-penulis perempuan, sekaligus melatih menulis. Jadi membuat perempuan juga bisa terkenal dan berkarya.
Di samping itu, Ia pun berperan penting dalam kehidupan beragama masyarakat peranakan. Bersama teman-temannya, Kwee Tek Hoay mendirikan organisasi keagamaan Tridharma pada 1934. Organisasi ini yang menjadi cikal bakal Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia (Magabutri). Dia pun mendapatkan predikat Bapak Tridharma Indonesia. Sebagai apresiasi setiap Vihara Tridharma terpampang foto atau gambar wajah Kwee Tek Hoay. Hari lahirnya pun menjadi peringatan Hari Tridharma Indonesia.
Kwee Tek Hoay sempat menyelenggarakan dialog tentang agama Buddha antara Josiast Van Dienst dengan Biksu Lin Feng Fei di Prinseniaan (sekarang Jl. Mangga Besar, Jakarta). Hasil dialog tersebut antara lain berisi pernyataan bahwa Klenteng (Chinese Buddhist Temple) sebagai tempat ibadah umat Buddha tidak hanya digunakan untuk tempat pemujaan saja, tetapi juga sebagai tempat untuk mendapatkan pelajaran agama Buddha. Bahkan sekelas Bhikkhu Narada dari Sri Lanka sempat ia undang ke Indonesia untuk memberi ceramah di Batavia (Jakarta) dan sekitarnya.
Majalah Mingguan Moestika Dharma yang didirikannya juga banyak menyumbangkan gagasan-gagasan soal Buddhis. Dari majalah ini diketahui bahwa telah berdiri sebuah organisasi Buddhis bernama Java Buddhist Association di bawah kepemimpinan E. Power dan Josias van Dienst. Organisasi ini merupakan anggota International Buddhist Mission yang berpusat di Thaton Birma dan mengacu pada aliran Buddha Theravada.
Karya-karya sastra Kwee Tek Hoay banyak memakai bahasa melayu-rendah. Sebuah istilah yang dibuat pemerintah kolonial untuk membedakannya dengan Melayu-Tinggi yang mereka tetapkan. Karyanya banyak menceritakan kehidupan sosial masyarakat peranakan Tionghoa. Ini juga yang menjadi alat perlawanannya terhadap pemerintah kolonial.
Hal ini muncul karena bagi peranakan Tionghoa yang lahir di Indonesia pada masa itu, Tiongkok tidaklah terlalu dikenal, bahkan hampir sebagai sebuah negeri asing bagi mereka. Oleh karenanya, mereka ingin menciptakan suatu riwayat yang berbau Indonesia, dengan tokoh-tokoh yang hidup dalam keadaan seperti mereka dengan persoalan yang sama pula dengan persoalan mereka.
Sastra Melayu-Tionghoa karya Kwee Tek Hoay bisa dikatakan sebagai pelopor bagi hadirnya kesastraan Indonesia Modern. Selain sastrawan Kwee Tek Hoay juga seorang organisatoris. Lewat goresan penanya yang berjudul “Atsal Moelahnja Timboel Pergerakan Tionghoa Modern Pertama di Indonesia”, ia menceritakan suatu organisasi modern pertama Tionghoa yang pertama ada di Indonesia. Ini menjadi inspirasi berdirinya organisasi perjuangan Budi Oetomo.
Di tahun 2012 namanya diabadikan untuk kawasan Glodok (Pecinan di Jakarta) oleh Pemda Jakarta saat itu karena jasanya dalam kesusastraan, agama, kebudayaan, serta sosial-politik. Pemerintah juga memberikan penghargaan Budaya Parama Dharma kepada Kwee. Apresiasi terhadap Kwee Tek Hoay muncul lagi pasca reformasi. Sebab di era Orde Baru nama Kwee Tek Hoay sengaja ditenggelamkan karena sentimentil pemerintah terhadap orang peranakan Tionghoa.
Bukan tanpa alasan, Orde Baru sengaja membuat stigma terhadap orang peranakan Tionghoa untuk mengesankan bahwa orang peranakan dengan kepercayaan Tridharma tak punya andil dalam pembangunan bangsa. Kwee Tek Hoay layak dikenang, bahkan kualitas karyanya dapat disandingkan dengan Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis Indonesia yang berulang kali masuk nominasi nobel. Generasi Buddhis layak pula menjadikan Kwee Tek Hoay sebagai sosok yang menginspirasi.
Billy Setiadi
Penapak jalan Dharma
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara