Seseorang tidak perlu menjadi kaya untuk berbagi rezeki. Itulah yang dilakukan Chen Shu Jiu, seorang pedagang sayur di sebuah pasar di Taitung, Taiwan. Selama bertahun-tahun Chen menyisihkan sebagian dari keuntungan berjualan sayur itu untuk disumbangkan ke sejumlah yayasan sosial, terutama yang berhubungan dengan anak-anak.
Chen Shu Jiu telah mampu mengubah kehidupan banyak orang di negaranya, Taiwan. Dia telah mendonasikan 10 juta dollar Taiwan atau setara Rp 3,1 miliar dari lapak sayurnya untuk kegiatan amal bagi warga tidak mampu. Itu sungguh mencerminkan nilai luhur kemanusiaan, yakni solidaritas dan kedalaman belas kasih.
Skala permasalahan sosial di Asia kini menuntut program besar, kompleks, dan bantuan jangka panjang yang berkesinambungan serta sentuhan teknologi canggih. Namun, kita juga disadarkan oleh banyak kenyataan bahwa seseorang yang bersahaja bisa mengubah dunia melalui aksi nyata, empati, dan kemurahan hati, seperti ditunjukkan Chen.
Aksi sosialnya itu ternyata mendapat pengakuan dunia. Pada 23 Juli lalu, namanya diumumkan sebagai salah satu penerima penghargaan bergengsi Ramon Magsaysay Award, sebagai bentuk pengakuan atas komitmennya membantu orang-orang yang kurang beruntung.
Wanita lajang berusia 61 tahun ini termasuk salah satu di antara enam orang hebat Asia yang menerima Ramon Magsaysay Award 2012. Penghargaan tersebut diserahkan di Manila, Filipina akhir Agustus 2012. Dia dinyatakan berhak menerima penghargaan itu karena ”altruisme murni lewat pemberian pribadi yang merefleksikan kedalaman, konsistensi, belas kasih, dan telah mengubah kehidupan sejumlah orang Taiwan yang dibantunya”.
Selain Chen Shu Jiu, penerima Ramon Magsaysay Award tahun ini adalah Ambrosius Ruwindrijarto (Indonesia), Kulandei Francis (India), Syeda Rizwana Hasan (Bangladesh), dan Yang Saing Koma (Kamboja).
Ini bukan penghargaan pertama bagi Chen. Pada 2010, Forbes Asia memilihnya sebagi satu dari 48 Pahlawan Filantropi. Pada tahun yang sama, majalah Time memasukkannya dalam daftar 100 Orang Paling Berpengaruh. Namanya berada di urutan kedelapan untuk ketegori “pahlawan”.
Dari penghasilan harian sebagai pedagang sayur, Chen, perempuan yang hanya lulusan sekolah dasar ini, bisa membangun perpustakaan serta memberi nafkah dan tempat tinggal bagi anak-anak terlantar ataupun keluarga pengungsi akibat bencana. ”Uang menjadi bernilai hanya jika digunakan untuk mereka yang memerlukan,” kata Chen.
Akrab dengan Derita
Terlahir sebagai anak pedagang sayur yang miskin di kota Taitung, Taiwan tenggara, Chen secara pribadi akrab dengan penderitaan orang-orang miskin. Bercermin pada kehidupan pribadinya serta orang-orang lain yang mengalami kehidupan serupa, hati Chen tergerak menyisihkan sebagian penghasilan untuk membantu sesama.
Baginya, pengalaman adalah guru yang berharga dalam kehidupan. Ketika Chen berumur 13 tahun, ibunya menderita sakit keras. Ketika itu, sang ayah berusaha meminta bantuan uang dari tetangga agar bisa membawa sang ibu ke rumah sakit. Namun, uang yang terkumpul belum cukup, nyawa ibunda tercinta tidak bisa diselamatkan.
Sebagai putri tertua, Chen terpaksa berhenti sekolah demi membantu ayahnya menjaga lapak sayur kecil keluarganya di sebuah pasar di kotanya. Lima tahun kemudian, salah satu saudaranya terkena penyakit kronis yang menguras seluruh sisa tabungan keluarga. Sekolah tempat dia pernah belajar mengumpulkan uang untuk membantu keluarga Chen.
Bantuan dari sekolah itu tidak cukup untuk menyelamatkan hidup saudaranya tersebut, tetapi kenangan tentang kebaikan orang-orang yang telah merogoh kocek untuk dia begitu membekas dalam sanubari. Dia merasakan kemiskinan dan putus asa, tetapi mengalami kebaikan dan kebenaran yang nyata. Sesuatu yang kemudian membimbing sisa hidupnya kini.
Dewasa ini, dua dekade setelah ayahnya meninggal, Chen masih terus menjual sayur dari sebuah lapak di pasar induk di Taitung. Apa yang mengejutkan dari sosok perempuan ini adalah dari penghasilan hariannya sebagai pedagang sayur, dia secara pribadi telah menyumbangkan lebih dari 10 juta dollar Taiwan atau Rp 3,1 miliar untuk amal.
Chen terlibat dalam berbagai kegiatan amal, terutama terkait perawatan kesehatan dan pendidikan anak. Penerima kemurahan hatinya termasuk sebuah biara Buddha, dengan mendanai sekolah di biara itu. Dia memberikan dana bantuan darurat bagi pelajar agar bisa meneruskan sekolah jika ayah mereka sakit atau tidak bisa bekerja.
Selain itu, Chen juga membantu sebuah organisasi nirlaba Kristen yang berkecimpung dalam menyelamatkan anak-anak terlantar serta menyediakan makanan, tempat tinggal, pakaian, perawatan kesehatan, dan pendidikan bagi mereka. Dia membangun perpustakaan lengkap bagi sekolah dasar tempat dia dahulu belajar. Kepedulian dia lintas sekat sosial.
Chen juga sering memberikan bantuan kepada masyarakat melalui Palang Merah untuk menolong keluarga yang terkena bencana atau keadaan darurat lain. Dia menyisihkan bantuan dari lapak sayurnya, sementara Chen sendiri tidak ingin hidup mencolok.
Chen adalah pemeluk Buddha yang saleh. Ia bekerja tujuh jam sehari. Dia hidup hemat dan merasa puas dalam kondisi yang bersahaja. Ia hidup apa adanya sampai kadang-kadang dia harus tidur di lantai. Dia makan cukup dua kali sehari, tidak berlebihan, juga seorang vegetarian.
Meski pengakuan internasional melalui media-media asing tentang kepedulian Chen terhadap sesama yang miskin dan kekurangan telah melambungkan namanya, dia tetap tidak berubah. Chen tetaplah seorang yang tidak peduli dengan sukses dan penghargaan internasional yang telah ia raih. Dia acuh tak acuh terhadap penghormatan publik.
Chen menolak tawaran orang lain yang menginginkan namanya digunakan sebagai nama yayasan yang akan mereka dirikan. Dia menolak menerima donasi dari orang lain dan mengatakan akan memberikan donasi itu kepada orang lain yang jauh lebih membutuhkan. Bagi dia, uang bermakna jika diberikan kepada pihak yang membutuhkan.
Merasa Senang
Banyak orang meributkan mengapa Chen terus saja menjual sayur karena sebenarnya dari penghasilannya dia sudah bisa memperbaiki kualitas hidupnya. Bagi Chen, hidup yang sederhana, tidak berlebihan, dan peduli kepada sesama yang membutuhkan adalah hidup yang lebih bermutu.
”Filsafat hidup saya adalah kesederhanaan. Jika setiap kali kalian melakukan sesuatu dan itu selalu membuat kalian gelisah, tentu saja hal tersebut salah. Namun, jika hal itu telah membuat kalian senang, itu berarti kalian telah melakukan sesuatu yang benar. Saya merasa senang setiap kali saya bisa membantu orang lain,” katanya.
Panitia penyelenggara Ramon Magsaysay Award mengakui, altruisme pribadi Chen telah mengubah kehidupan banyak orang di Taiwan. Dia memiliki sisi lain di dalam dirinya yang dapat menghidupkan orang lain dan membuat orang lain merasa lebih bermakna di sepanjang hidup mereka.
Atas penghargaan tersebut, Chen berhak mendapatkan hadiah uang sebesar 50.000 dollar AS. Namun, menurut dia, uang itu akan dia berikan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Wanita tangguh ini telah terlibat dalam solusi yang berkelanjutan bagi kemiskinan dan ketidakberdayaan yang mewarnai hidupnya pada masa silam dan kini. ”Hidup akan bermakna jika kita saling berbagi dalam berbagai hal yang mampu membawa ke arah perubahan hidup yang lebih baik dan bermakna,” kata Chen menegaskan. (kompas)
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara