Mungkin sudah sangat banyak orang yang tahu manfaat luar biasa meditasi. Tapi sama seperti hampir semua orang tahu manfaat olahraga, tapi kebanyakan orang malas melakukannya. Nah, ada sebuah komunitas, namanya Dharmajala, yang gencar mempromosikan pola hidup meditatif, yang biasa mereka sebut hidup berkesadaran. Beberapa waktu lalu, BuddhaZine mewawancarai Jimmy Lominto, penggagas komunitas ini.
BuddhaZine: Mungkin semua orang tahu manfaat meditasi, tapi ironisnya kebanyakan baru dengar kata meditasi saja sudah merasa berat. Bagaimana caranya Dharmajala mempromosikan pola hidup meditatif seperti ini?
Jimmy Lominto:Apa yang kita kembangkan berdasarkan pengalaman yang kita alami sendiri. Saya mengutip ucapan Mingyur Rinpoche, “Non meditation is the best meditation.” Kita lebih banyak tidak sadar, tapi ada momen-momen tertentu kita sadar. Itulah hidup berkesadaran. Kita kebanyakan terseret dalam pengalaman masa lalu atau terhempas ke masa depan yang belum datang. Padahal yang lalu sudah berlalu, nggak nyata, sedangkan yang akan datang belum tiba. Satu-satunya saat yang sebenarnya kita hidup adalah saat ini. Masalahnya kita lebih sering hidup tidak dalam kekinian, walaupun sebenarnya kita bisa melakukannya. Karena kita sering hidup di masa lalu dan masa depan, kita menjadi menderita. Kenapa ini terjadi? Karena kita tidak mengerti, karena kita melekat.
Teknik meditasi yang diajarkan oleh para guru meditasi berbeda-beda, tapi sebenarnya tidak lari dari samatha dan vipassana. Samatha adalah bagaimana caranya agar kita bisa berdiam dalam keheningan, bagaimana agar pikiran kita yang selalu bergejolak agar mengendap menjadi tenang. Satu lagi adalah vipassana, yaitu melihat ke dalam batin kita, setelah mampu tenang. Lalu kesadaran yang ada yang memang telah kita miliki sejak lahir yang sering hilang, akan terbangun, kemudian kita arahkan untuk melihat batin kita secara langsung sehingga muncul pengertian. Pengertian inilah yang akan membawa kita pada pembebasan.
Jadi, hidup berkesadaran adalah melakukan itu dari satu saat ke saat berikutnya. Apakah dalam hidup sehari-hari kita berkesadaran? Saya ambil contoh, ketika kita menyeberang jalan ramai dua arah, kesadaran kita pasti ada dalam kekinian. Artinya, siapapun orangnya dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya telah melakukan hidup berkesadaran. Sebenarnya hidup dalam kekinian tidak susah, yang sulit adalah mempertahankan kesadaran kita dari satu saat ke saat berikutnya.
Apa yang dilakukan di Dharmajala untuk menjaga kesadaran ini?
Dalam retret Dharmajala, kita memberikan pengertian ini, kemudian berbagi metode. Semua dirancang dalam kegiatan keseharian hidup kita. Dalam sutta dibilang, postur tubuh kita terdiri dari duduk, berdiri, berjalan, dan berbaring. Ini adalah postur tubuh keseharian hidup kita. Hidup berkesadaran bisa dilakukan selagi kita duduk, selagi kita berdiri, selagi kita berjalan, selagi kita beraktivitas dalam kehidupan kita sehari-hari, dan selagi kita berbaring.
Kita mengenal 4 macam latihan. Yang pertama latihan pribadi dalam kehidupan sehari-hari, ini bisa formal dan informal. Formal berarti menyisihkan waktu khusus untuk betul-betul berlatih. Tentu yang paling panjang adalah latihan informal. Itu latihan yang sesungguhnya. Yang kedua latihan dalam kelompok kecil. Itulah gunanya ada komunitas praktek. Yang ketiga latihan kelompok besar, gabungan beberapa komunitas. Yang keempat membawa latihan kita ke dalam masyarakat.
Latihan itu ada yang formal dan informal. Untuk pemula seperti kita, latihan formal sangat penting. Kita perlu ada waktu khusus untuk latihan, dan agar lebih maju kalau bisa kita harus ikut retret yang lebih intensif entah itu 10 hari atau 1 bulan. Karena kalau kita lihat para guru besar, bahkan Buddha sendiri, masih memiliki waktu khusus untuk latihan secara intensif. Latihan intensif ini sebenarnya adalah practice in training, latihan formal adalah praktek yang masih dalam pelatihan. Latihan yang sesungguhnya adalah ketika berhadapan dengan orang lain di dalam kehidupan sehari-hari.
Apakah ada tips agar kita tetap bisa hidup berkesadaran di tengah akvitas yang sangat padat?
Ini butuh dua perpaduan. Yang pertama adalah pandangan yang benar. Sebagai Buddhis, kita perlu mencari pandangan yang tepat itu seperti apa, yaitu ajaran Dharma itu sendiri. Ini sifatnya intelektual. Saya menganjurkan kita mencari Dharma yang diajarkan oleh guru yang benar-benar praktisi, apakah itu di Theravada, Mahayana, ataupun Vajrayana. Kita bisa melakukan riset dari buku Dharma. Saya setidaknya mengelompokkan ada 3 kategori.
Yang pertama, buku Dharma yang ditulis oleh kaum intelektual. Kaum intelektual pun ada yang belajar sendiri dan belajar sistematis, tapi tidak praktek. Yang kedua, ditulis oleh praktisi. Praktisi pun ada 2 jenis, yaitu yang tidak mendapatkan teori Dharma, langsung praktek. Yang bisa menembus langka sekali. Yang ingin langsung praktek tanpa teori, harus hati-hati, karena teori Dharma adalah peta agar kita lebih mudah melakukan perjalanan. Satu lagi adalah praktisi yang punya peta dan kemudian melangkah. Lebih ke atas lagi adalah praktisi yang punya guru pembimbing yang jelas yang bisa ditarik sampai ke Buddha, punya silsilah yang jelas. Yang ketiga, ditulis oleh aktivis. Misalnya ada seseorang yang merasa dirinya Buddhis, tapi tidak memiliki pandangan, metode, dan tidak mempraktekkannya. Kemudian dia terjun ke dalam kegiatan sosial dan sejenisnya, kemudian ia merasa itulah Buddhis dan menulis buku. Aktivis jenis kedua adalah yang banyak belajar teori, tapi nggak praktek, tapi punya kecenderungan jadi aktivis terjun ke kegiatan sosial. Aktivis ketiga adalah yang saya sebut scholar practicional activist, yaitu seorang aktivis yang ditunjang oleh pembelajaran Dharma secara teoritis dan praktek hidup berkesadaran.
Dharma yang ditulis akan berbeda-beda. Kita harus sangat selektif memilih karena buku Dharma atau yang kita dengar belum tentu berisi tentang Dharma. Saya sangat menganjurkan untuk mendengar dan membaca terutama sekali dari orang yang belajar, orang yang praktek, dan orang yang terjun. Saya tidak sebutkan nama, Anda bisa riset sendiri. Saya hanya bisa kasih tips sebaiknya kita mengandalkan pembelajaran dan pelatihan Dharma kita kepada orang-orang yang memiliki latar belakang pembelajaran Dharma secara teoritis baik sistematis ataupun praktek, orang ini juga mempraktekkan lebih bagus lagi punya silsilah jelas yang masih hidup, dan orang yang bersangkutan juga paham dengan kondisi dunia saat ini. Tidak harus detail, tapi paham bahwa dunia sedang rusak, gejolak sosial dalam masyarakat, atau sedang krisis ekonomi sehingga Dharma yang diajarkan connect dengan kehidupan kita sehari-hari.
Anda sering berhubungan dengan beberapa guru besar Buddhis, bisa Anda gambarkan sebenarnya mereka orangnya seperti apa sih dalam hidup sehari-hari?
Saya cukup beruntung karena aktivitas yang saya pilih saya sendiri tersentuh oleh ajaran meditasi dari 3 tradisi. Dari Theravada, yang paling berpengaruh besar terhadap saya adalah tradisi vipassana Mahasi Sayadaw. Saya juga pernah bersentuhan dengan forest tradition Thailand, seperti Ajahn Brahm. Dari Vajrayana, saya sendiri ikut Kagyud. Dari Mahayana, saya pernah bertemu langsung dengan Bhante Thich Nhat Hanh, pernah melihat dari kejauhan Master Cheng Yen, melayani guru-guru meditasi Chan seperti Guo Jin Fashe. Saya juga pernah bertemu langsung dengan His Holiness Dalai Lama dan His Holiness Karmapa.
Guru-guru besar itu tidak ada yang bersikap sebagai tuan besar, justru yang sangat terasa adalah welas asihnya. Tidak pasang gaya sok guru besar dan petantang-petenteng. Sangat rendah hati, sangat peduli dengan kita, tidak minta untuk dilayani, malah beliau-beliau ini yang melayani. Kebijaksanaannya sangat terasa, karena saya pernah ikut retret mereka dan juga membantu menerjemahkan. Yang saya tahu mulai dari pagi sampai larut malam mereka tidak ada waktu untuk diri pribadi selain mengajar dan melayani. Tiap hari seperti itu, tapi mereka tetap melatih diri.
Anda belajar pada banyak guru dan metode, apa malah tidak bikin bingung?
Saya justru sangat menganjurkan untuk kita bisa terpapar ajaran dan metode yang diberikan oleh tradisi Theravada, Mahayana, ataupun Vajrayana. Saya tidak mencampur aduk, tapi pada akhirnya kita akan memilih tradisi mana yang cocok. Saya sendiri mengikuti tradisi Kagyud, dan guru akar saya Mingyur Rinpoche.
Banyak kesalahpahaman yang terjadi antar tradisi. Hanya ketika kita bersentuhan langsung dan melakukannya sendiri, kita bisa melihat benang merahnya. Misalnya kita memilih vipassana sebagai akar kita, atau chan sebagai akar kita, atau dzogchen/mahamudra sebagai akar kita, itu pilihan individual mana yang cocok buat kita. Meditasi Buddhis harus dilandasi pandangan dan metode yang benar, dan itu tidak akan lari dari samatha dan vipassana. Kita jangan mencampur aduk. Misalnya kita ikut vipassana Mahasi Sayadaw, ikuti betul-betul, jangan dicampur aduk. Karena pada akhirnya toh yang diakses adalah batin kita sendiri.
Saya mengibaratkan, hakekat sejati kita tak pakai kacamata, tetapi tanpa kita sadari kita pakai kacamata. Inilah yang disebut dengan pandangan, emosi, energi kebiasaan, atau karma buruk, inilah perintang kita yang menodai hakekat ke-Buddha-an kita. Ajaran Buddha menunjukkan pada hakekatnya kita tidak perlu berkacamata, tapi sekarang kita berkacamata sehingga kita tidak melihat segala sesuatu tidak sebagaimana adanya. Tujuan kita adalah menanggalkan kacamata. Lalu ada yang mengajarkan tanggalkan saja pakai tangan kiri, ada yang mengajarkan pakai tangan kanan, ada yang pakai dua tangan. Teknik bisa beda-beda, tapi pada akhirnya tujuannya sama. Jadi, meditasi Buddhis pada awalnya adalah membangun perhatian/keawasan/kesadaran kita agar kita tidak menjadi tunggangan dari data-data yang masuk, setelah itu baru melihat ke dalam batin.
Kita harus latihan terus dari satu moment ke moment berikutnya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa hidup dalam kekinian, kemudian bolong, balik lagi, bolong lagi. Dengan kita latihan terus-menerus, bolongnya makin berkurang.
Buat Anda sendiri, apa manfaat yang didapat setelah menjalankan praktek hidup berkesadaranini?
Dalam pertumbuhan hidup, saya mungkin banyak mengalami hidup yang keras. Jadi bulan-bulanan persepsi keliru, larut dalam emosi, sering terhempas dalam masa lalu dan terlempar ke masa depan. Lewat proses waktu, saya percaya dengan yang namanya mengolah diri, memperbaiki diri menjadi lebih baik. Saya sudah lakukan itu selama 20 tahun. Saya dulu tidak tahu yang namanya meditasi Buddhis. Kita sebenarnya bisa melakukan hidup berkesadaran, tapi kita tidak menyadarinya. Di Buddhis diajarkan tekniknya, ada pengajarannya dan sudah terbukti ada hasilnya turun-temurun selama 2500 tahun.
Ketika saya mulai menjalankan ini, saya langsung klik. Karena saya sudah menjalankannya juga tapi tidak tahu itu yang namanya meditasi.
Sebetulnya, meditasi adalah latihan untuk mendekonstruksi/membongkar diri kita. Ketika kita sebagai pribadi tidak banyak terseret ke masa lalu dan terhempas ke masa depan, memiliki pandangan yang tepat, ketika kita berhadapan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam atau di luar rumah, kita menjadi lebih tenang karena lebih ngerti bahwa itu semua adalah ilusi buatan pikiran kita. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari menjadi lebih kurang dalam bergesekan dengan orang lain, karena kita akan mengerti bahwa kalau kita begini orang lain juga sama. Bisa aja ketika mereka berhadapan dengan kita, mereka tidak melihat diri kita sesungguhnya, tapi lebih karena konsep yang dibuat oleh pikirannya sendiri. Sebagai hasilnya, dalam kehidupan sehari-hari masalah lebih berkurang yang ditimbulkan oleh diri sendiri, lebih damai, lebih tenang, melihat persoalan juga jadi lebih jernih. Inilah yang disebut manfaat nyata hidup berkesadaran.
Tulisan ini pernah dimuat di majalah buzz! edisi Mei 2011
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara