Pada era tahun 1970 hingga 1980-an, sempat ada sebuah wayang unik yang cukup terkenal di masyarakat Indonesia khususnya Jawa, yaitu Wayang Buddha. Wayang ini diciptakan oleh Suprapto, seorang seniman gerak bebas asal Solo bersama Hajar Satoto, perupa yang juga berasal dari Solo. Meskipun diwarnai pro dan kontra, Wayang Buddha sempat mewarnai dunia pewayangan di Indonesia, bahkan sampai dipentaskan di berbagai negara.
Lalu, bagaimana perkenalan Mbah Prapto –panggilan akrab Suprapto– dengan Buddhisme sehingga menelurkan ide Wayang Buddha hingga muncul Joget Amerta?
Sejak kecil Mbah Prapto memang sudah gemar olah jiwa dan raga. Gerak tubuh dipelajari Mbah Prapto dari menari tari klasik Jawa dan mengikuti seni bela diri seperti pencak silat dan kungfu. Sedangkan seni olah jiwa didapat dari ayahnya yang menganut aliran Kejawen melalui laku prihatin, relaksasi Jawa (sumara).
Pada tahun 1970-an Mbah Prapto mulai mendalami gerak ekspresi bebas. Namun dalam perjalanan waktu, Mbah Prapto merasa ada kejanggalan dalam dirinya, sehingga ia harus mencari sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti.
“Saya mulai belajar gerak, ekspresi bebas pada tahun 1970-1974. Pada saat itu saya merasa ada sesuatu yang harus saya cari, tapi itu apa saya tidak tahu. Lalu mendadak ada pelatihan vipassana di Desa Purbayan bersama Bhante Jinaphalo, dan saya mengikuti retret vipassana seminggu itu,” ujar pimpinan Padepokan Lemah Putih, Solo ini kepada BuddhaZine di Borobudur.
Itulah perkenalan Mbah Prapto dengan meditasi Buddhis. Setelah mengikuti meditasi, ada sesuatu yang ia rasakan sehingga selesai meditasi vipassana ia langsung minta di-visuddhi menjadi umat Buddha.
“Pada hari terakhir vipassana, saya merasa mendadak menjadi seperti orang biasa lagi, mendadak sadar, menangis. Terus saya langsung minta ditahbiskan menjadi umat Buddha oleh Bhante Jinaphalo, dan saya ditahbiskan dengan nama Surya Dharma,” imbuhnya.
Mulai saat itulah Mbah Prapto menggunakan nama lengkap Suprapto Surya Dharma atau dalam bahasa Jawa, Suprapto Suryodharmo.
“Setelah dari Purbayan, saya pentas lagi bersama Romo Khemi. Wah banyak ditentang, Mas. Banyak yang mempertanyakan, ‘Wong pendito kok dijak pentas? Mantra kok dinggo pentas?’ (Pandita kok diajak pentas? Mantra kok dipakai pentas). Saya jelaskan, ‘Lha ini kan bukan pentas biasa’. Semua orang harus tahu proses menghayati sebuah laku mantra, vipassana. ‘Ya pokoknya tidak boleh’. Tetapi saya tetap jalan terus.
“Pada hari Waisak tahun 1985, saya ingin pentas di Candi Mendut, ini juga ditentang. Katanya, ‘Gimana pentas kok di candi?’ Ya saya jelaskan bahwa candi itu kan juga karya seni. Di situ ada konsep teater, ada konsep tari. Pokoknya ada pertentangan di situ, tetapi saya mendapat dukungan dari Bhante Girirakkhito almarhum saat itu. Beliau melihat ada pertentangan di situ, dan beliau mengatakan, ‘Cobalah tidak apa-apa pentas di candi’.
“Saat itu baru kami pentas di candi dan berkembang terus sampai pentas di pusat kebudayaan Jawa Tengah dengan perlengkapan komplit, gamelan sesajian yang beraneka ragam. Pokoknya megah. Bahkan direkturnya main tari sesaji di situ dan wayang Buddha juga main di situ, sampai kemudian kita diundang ke Jepang ,ya sama Bhante Pannyavaro,” lanjut Mbah Prapto.
Wayang Buddha, Antara Seni dan Meditasi Vipassana
Wayang Buddha merupakan seni pertunjukan yang memadukan antara laku, mantra, dan meditasi vipassana. Sehingga dalam sebuah pertujukan seni tidak hanya menjadi sebuah tontonan saja, tetapi lebih dari itu, yaitu menyampaikan pesan moral kepada penonton.
“Gerak meditasi, kalau kamu latihan vipassana, kamu kan bergerak. Kehidupan sehari-hari kita di rumah kan bisa kita jadikan latihan meditasi, apabila kita menyadari apa yang kita lakukan setiap saat. Jadi, tinggal bagaimana sikap seperti itu dibawa dalam pertunjukan, mencipta tari baru atau lama, sehingga bukan hanya terasa sebagai tontonan tetapi juga bisa dirasakan nilai spiritual dan tuntunan. Jadi ada nilai di situ.
“Dalam tari ada makna, dalam arti di sini ada simbol, misalnya simbol mudra di Candi Borobudur, Swarta Mudra, itu yang ada maknanya. Tetapi bisa juga makna itu terpancar di dalam emosi, rasa, gerak tubuh, kemauan untuk disampaikan kepada penghayat, penonton. Terasa gitu kan ketika kita bisa melihat tontonan kadang kan kroso (terasa), welas asih betul. Umpamanya begitu.
“Kita mencoba melakukan sesuatu yang berbeda, yaitu menterjemahkan doa, mantra dan paritta di dalam menari. Sebenarnya seperti biasa dalam sebuah pertujukan, ada awal, tengah dan akhir, adegan lalu kita sisip-sisipkan,” jelas Mbah Prapto.
Lalu Mbah Prapto memberikan contoh, “Umpamanya ketika mementaskan Sutasoma, ada salah satu adegan ketika Sutasoma dalam perjalanan mencari pencerahan kemudian bertemu dengan Dewi Pradnyadari, ibu pertiwi. Dalam adegan itu ada doa, gerak meditasi, lalu ketemu ular, naga, gajah dan macan. Di situ ada adegan penyerahan total. Ini salah satu makna Bodhisattva dalam konsep Mahayana, yaitu Bodhisattva melakukan mahapatidana (menyerahkan jiwa raganya).
“Ini memang bagaimana menyandingkan dunia ritual, dunia laku, dunia samadhi dengan mantra paritta. Itu diletakkan dalam konteks seni pertunjukan. Contoh lagi, umpamanya begini, biasanya ada adegan heningciptoning samadhi (meditasi hening), tetapi di sini bukan hanya memperlihatkan samadhi saja. (Mbah Prapto membacakan sutra sambil mempraktikkan gerak). Aum ram.. Aum.. Jadi ada laku di situ. Bukan hanya tontonan, Sutasoma itu kan Siwa Buddha.
“Konsep Wayang Buddha adalah seseorang yang mau meruwat dirinya sendiri, atau bersama-sama yang dihadapkan pada konteks dunia nyata. Jadi Anda latihan vipassana, itu kan dalam ruangan tertentu. Kalau Anda keluar dari ruangan itu, katakanlah candi atau Vhara Mendut begitu, kalau Anda keluar dari situ ke masyarakat belum tentu Anda bisa mempraktikkan itu. Jadi manusia biasa lagi. Jadi ide awalnya bagaimana sebenarnya kita latihan dalam kehidupan sehari-hari, kalau Jawanya ‘topo ngerame’.
“Kehidupan sehari-hari itu disisipkan dalam bentuk pertunjukan tari. Tahun 1981-1982 saya tidak lagi banyak pentas. Tahun 2006 saya diminta salah satu bhante untuk pentas, tetapi konsep Wayang Buddha itu saya lakukan menjadi bentuk workshop yang kemudian dinamakan sebagai Joget Amerta. Konsep Wayang Buddha dalam kehidupan sehari-hari itu yang tetap ada retret, ada kesadaran. Itu menjadi ajaran Joget Amerta. Ya ini berkah juga, sampai 20 negara saya ada murid di situ.
“Joget Amerta adalah bentuk dari gerak bebas, ada retret. Jadi memang gabungan vipassana bentuk meditasi Jawa (sumara) dan gerak bebas. Dilakukan di candi-candi, pasar,” tutup Mbah Prapto.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara