“Malam ini saya akan ziarah ke Pantai Parangtritis, di pantai itulah abu Romo Syaila Indra dilarung, dan Ngasiran yang sekarang menjadi orang Temanggung harus ikut, karena Romo Syaila Indra adalah cikal-bakal agama Buddha di Temanggung,” kata Bhiksu Mahasamadi, dalam sebuah perjalanan mengantar rombongan komunitas monastik Plum Village Perancis ke Bandara Adisucipto Yogyakarta.
Begitulah pertama kali saya mendengar nama Romo Syaila Indra Among Pradjarto atau yang lebih akrab disapa Romo Among. Selama lebih dari setengah tahun saya tinggal di Temanggung dan mengikuti segala aktivitas umat Buddha Temanggung, belum pernah saya mendengar nama itu.
Dalam tulisan-tulisan tentang agama Buddha Temanggung, Romo Among selalu disebut sebagai orang yang pertama kali mengajarkan agama Buddha kepada orang Temanggung. Namun tidak ada tulisan yang mengulas lebih dalam siapa sebenarnya Romo Among.
Setelah itu muncul ketertarikan saya untuk mengetahui lebih jauh siapa sebenarnya sosok Romo Among. Perbincangan saya dengan tokoh-tokoh agama Buddha Temanggung, mereka hanya menyebutkan bahwa Romo Among adalah sosok yang dicintai umat Buddha Temanggung, khususnya Kaloran, karena jasa-jasanya dalam mengajarkan agama Buddha.
Siapa sesungguhnya Romo Among?
Sebuah tulisan sejarah Vihara Karangdjati, Yogyakarta, menyebutkan bahwa Romo Among adalah cikal bakal vihara tersebut. Romo Among adalah pemilik kandang sapi yang dijadikan tempat vassa Bhante Jinaputta di Yogyakarta pada tahun 1958. Kandang sapi milik Romo Among inilah yang kemudian dibangun menjadi Vihara Karangdjati. Vihara Karangdjati kemudian menjadi vihara pertama sekaligus menjadi pusat kegiatan umat Buddha Yogyakarta.
Dalam sebuah perbincangan dengan Bhante Pannyavaro, saya sedikit menanyakan bagaimana sosok Romo Among di matanya. Bhante Pannyavaro menyatakan bahawa ia masih ingat betul dengan sosok Among.
“Saya masih ingat Romo Among. Waktu saya masih mahasiswa di Jogja, beliau dari Karangdjati dan beliaulah cikal bakal Vihara Karangdjati.
“Romo Among fisiknya kurus, ada keturunan bangsawan. Agak kukuh dengan Theravada, beliau tidak menyembunyikan itu, tidak ada diplomasi soal itu. Kemudian dia juga dikenal sebagai paranormal. Saya sendiri melihat bagaimana beliau menghadapi tamu-tamunya, kepada siapa saja yang datang, misalnya anaknya sakit atau ada masalah di rumah, tapi bukan perewangan.
“Ya biasanya ketika ada orang datang, beliau meditasi sejenak, lalu bilang, ‘Ya nanti cari kopi, kasih gula merah terus diminum sehari tiga kali nanti sembuh’, ‘Ya nanti cari pohon alang-alang lima lembar digodok lalu diminum pasti sembuh.’ Jadi mungkin sugesti, dan orang yang datang percaya dulu. Itu adalah karena karismatik beliau, tetapi beliau mengerti Dharma dengan baik,” kenang Bhante Pannyavaro.
Bhante melanjutkan, “Kalau bicara tentang umat Buddha Kaloran, memang beliau adalah cikal bakalnya. Ketika datang ke Kaloran, beliau tidak hanya memberikan Dharma, tidak hanya ceramah, beliau juga menjawab semua persoalan yang dihadapi oleh umat. Itulah sebabnya beliau sangat dihormati dan dicintai umat Buddha Kaloran sampai sekarang.”
Dalam perbincangan tersebut, Bhante Pannyavaro juga menyebut nama Eko Legowo sebagai salah satu murid Romo Among. Melalui pesan singkat, saya menghubungi mantan ketua STAB Kertarajasa Malang tersebut, dan Eko Legowo mengatakan bahwa dari Romo Among lah pertama kali ia belajar agama Buddha, sampai mengikuti dan menemani Romo Among dalam melakukan pembinaan umat ke desa-desa termasuk di Temanggung.
“Saya bertemu Romo Among pertama kali pada pada tahun 1967. Saat itu saya masih mahasiswa tingkat tiga di rumah Bapak Djasron Dipowinatan Yogyakarta pada acara saresehan malam Jumat Kliwon. Kebetulan pada saat itu saya mencari pandita Buddha untuk belajar kepadanya, namun pandita Buddha yang saya temui pertama kali yaitu Romo Krismanto, sahabat ayah. Dia menolak mengajari karena ayah saya seorang Katolik dan ibu saya Islam, saya sendiri pada saat itu aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII),” ungkap Eko Legowo.
Romo Krismanto menyarankan Eko Legowo untuk meminta diajari agama Buddha kepada Romo Among. Dari pertemuan itulah kemudian Eko Legowo selalu menemui Romo Among di rumahnya yang terletak di samping Vihara Karangdjati, dan sering mengundang Romo Among untuk melakukan pembinaan rohani RK Dipowinatan.
“Setelah itu hubungan saya dengan Romo Among semakin akrab dan saya terpilih menjadi sekretaris Vihara Karangdjati sekaligus menjadi ketua pemuda vihara,” lanjut Eko Legowo.
Di mata Eko Legowo, Romo Among adalah sosok dermawan dan sederhana. “Sebelum menjadi pandita, beliau sudah dipanggil Romo, karena beliau berdarah biru dengan gelar Raden Mas. Beliau juga dermawan luar biasa. Apa pun yang beliau punya, apabila ada yang membutuhkan, tanpa panjang lebar langsung diberikan. Mungkin karena itu hidupnya sangat sederhana meskipun menempati rumah pendopo joglo megah dengan halaman luas,” beber Eko Legowo.
Selain dermawan, Romo Among juga dikenal sebagai sosok yang ramah, “Beliau tidak pernah menolak tamu. Sedang apa pun beliau dan jam berapa pun tamu datang, selalu dilayani dengan ramah, gembira dan penuh senyuman. Beliau juga pendengar yang baik, selalu memperhatikan masalah tamu yang datang, kemudian bermeditasi sejenak untuk memberi solusi dan jawaban atas pertanyaan tamunya. Tak berselang lama, tamunya datang kembali dan mengucapkan terima kasih bahwa masalahnya telah terselesaikan. Tidak ada uang yang beliau terima, hanya kadang ada tamu yang membawa rokok, itu pun langsung dibagi-bagi. Itulah mengapa banyak orang menyebut beliau ‘pandita paranormal’.”
Selain itu, sebagai pemimpin, Romo Among adalah sosok yang “tut wuri handayani” selalu menerima usulan-usulan dari orang yang dipimpin. “Tidak ada usulan dari saya selaku sekretaris atau pemuda-pemuda lain yang ditolak, melainkan beliau selalu mendukung. Karena itulah Vihara Karangdjati saat itu menjadi vihara yang aktif dan kreatif. Vihara Karangdjati menjadi pusat kegiatan umat Buddha di Yogyakarta dengan berbagai kegiatan, seperti kegiatan Dina Buddha (hari Buddha orang Jawa: Rabu), sarasehan purnama siddhi, pelatihan yoga, perayaan hari raya agama Buddha dengan kebudayaan Jawa (Dhammadesana memakai bahawa Jawa, pakaian Jawa, wayang kulit, dan karawitan), dan juga melakukan kunjungan terutama ke Kaloran Temanggung dan menerbitkan majalah Dharma Caraka.”
“Vihara Karangdjati memang diimpikan Romo Among sebagai vihara bertradisi atau bercorak Jawa, bukan Thailand, Myanmar, Vietnam, Taiwan, Tiongkok, Kamboja, Srilanka, atau India. Saya kira pemikiran Romo Among ini sangat logis karena bangsa Indonesia khususnya Jawa pada masanya adalah bangsa Buddhis, mulai dari zaman Mataram Kuno, Singasari, Kediri sampai Majapahit adalah kerajaan Buddhis. Nenek moyang orang Jawa adalah orang Buddha. Jadi agak ironis kalau sekarang umat Buddha di Jawa minoritas,” jelas Eko Legowo yang kini menjadi dosen Universitas Brawijaya, Malang ini.
Menurut pria dengan nama lengkap Eko Legowo Haldokowinoto ini, jika umat Buddha di Indonesia terutama di Jawa mau berkembang, harus belajar dari pemikiran Romo Among, yaitu membangun vihara yang bisa menjunjung tradisi dan Buddhaya.
“Vihara di Jawa harus bernuansa Jawa, dalam berkomunikasi dan menyampaikan ajaran Buddha juga harus memanfaatkan budaya Jawa, seperti tembang, karawitan, wayang kulit, dan lain-lain,” Eko Legowo memberi saran.
Mengenai umat Buddha Temanggung, Eko Legowo mengatakan sering mengikuti Romo Among dalam melakukan pembinaan umat Buddha Temanggung. “Kita ke gunung-nunung dengan berjalan kaki. Saat itu penggerak umat Buddha Temanggung adalah Pak Gito. Umat Buddha Temanggung juga ikut andil dalam pembangunan kuti dan ruang pertemuan Vihara Karangdjati dengan menyumbang kayu dan bambu yang dikoordinir oleh Pak Gito,” pungkasnya.
Romo Among meninggal pada tahun 1993, jenazahnya dikremasi dan dilarung di Pantai Parangtritis.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara