Raden Ajeng Parwati memiliki kemiripan dengan Raden Ajeng Kartini. Bukan hanya dalam memperjuangkan kesetaraan gender, tetapi juga karena keduanya dalam mengikuti ajaran Buddha sama-sama memilih hidup vegetarian. Kalau Ibu Kartini memiliki cita-cita mengenai kesetaraan gender, maka cita-cita itu telah diwujudkan secara nyata oleh Ibu Parwati. Contohnya, antara lain, setara dengan kaum pria pada tahun 1958 Ibu Parwati dalam usia muda telah memperoleh beasiswa dari Pemerintah Amerika Serikat untuk meraih gelar Master of Arts di Amerika Serikat.
Ibu Parwati adalah aktivis Buddhis generasi pertama, yang sejak tahun 1953 –ketika masih sebagai mahasiswi Universitas Gajah Mada– telah mendampingi dan giat membantu Biksu Pelopor Kebangkitan Kembali Agama Buddha di Indonesia, Y.A. Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita. “Srikandi Buddhis dari Solo”, demikianlah Y.A. Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita menyebutnya. Romo Phoa Krishnaputra, sahabat seperjuangannya baik di Theosofi maupun di Buddhayana mengatakan, bahwa Ibu Parwati adalah seorang sahabat yang jujur dan sederhana, walau badannya kecil tetapi nyalinya besar. Belum tentu laki-laki punya keberanian seperti Ibu Parwati. Selain itu menurutnya juga, Ibu Parwati adalah seorang yang cerdas, suka menari, pribadinya teguh, dan untuk membela kebenaran yang dia yakini, dia berani melawan arus.
Mengenal lebih dekat sosok Ibu Parwati
Ibu Parwati dilahirkan di Solo pada 1 Mei 1932 sebagai anak pertama dari empat bersaudara. Ayahnya adalah Kanjeng Raden Tumenggung Soekirso Widyonagoro, dengan nama Buddhis Maha Upasaka Prajnaloka. Ibunya adalah Raden Ayu Soewiyah, dengan nama Buddhis Upasika Mettaloka. Keaktifan kedua orangtuanya dalam dunia pendidikan ternyata kemudian berlanjut pada diri Ibu Parwati. Adapun gelar Raden Ajeng –setelah menikah, menjadi Raden Ayu– diperoleh Ibu Parwati oleh karena Ibu Parwati adalah generasi kelima keturunan dari Sri Susuhunan Pakubuwono V. Ayahnya pernah menjadi bupati keraton, dan ibunya pernah menjadi guru sekolah keraton.
Dari pernikahannya dengan Prof. Dr. Ir. Soepangat Soemarto, M.Sc., guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB), Ibu Parwati memiliki seorang putra dan seorang putri yaitu Ir. Krishna Widyawardana dan Ir. Saraswati Widyawardani.
Ibu Parwati bersekolah di SD Pamardi Putri Keraton Solo, SMP Putri Negeri Solo, dan SMA Kanisius Solo. Selanjutnya kuliah di Universitas Gajah Mada dan meraih gelar S1 dalam Psikologi Pendidikan pada tahun 1958. Kemudian ke Amerika Serikat dan meraih gelar S2, yaitu Master of Arts dari George Peabody College pada tahun 1959. Sepulang dari Amerika Serikat, Ibu Parwati mengajar di almamaternya. Namun setelah menikah dengan Bapak Soepangat Soemarto, Ibu Parwati pindah ke Bandung dan menjadi dosen tetap di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Ibu Parwati antara lain pernah menjadi Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Ketua Pusat Studi Wanita Unpad.
Antara 1969-1970, Ibu Parwati mengikuti Extention Courses in Psychology di University of California Berkeley. Ketika Presiden Republik Indonesia beserta Ibu Tien Soeharto berkunjung ke Amerika Serikat pada akhir Mei 1970, Ibu Parwati membuat tulisan tentang profil Ibu Negara Republik Indonesia untuk diberikan kepada para wartawan di San Fransisco. Tulisan Ibu Parwati itu dimuat di koran setempat.
Ibu Parwati juga menjadi dosen di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, dan Akademi Keperawatan Borromeus. Profesinya dalam bidang Psikologi adalah Kesehatan Mental dan Psikologi Wanita, di samping itu juga Pelatih Analisis Gender. Ibu Parwati menjadi pembicara di berbagai seminar di dalam dan luar negeri tentang Psikologi, Gender, Teologi Feminis, dan Agama Buddha. Dalam rangka memperingati hari berkelanjutan Ibu Parwati yang ke-70, 1 Mei 2002, dengan bantuan Tim Penyusun Wihara Vimaladharma, kumpulan makalah yang pernah Ibu Parwati sampaikan pada kurun waktu 1990-2001 telah diterbitkan menjadi buku dengan judul Pengabdian dalam Buddhadharma.
Semasa sebagai mahasiswi di Yogya, Ibu Parwati telah aktif membantu Y.A. Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita dalam penyebaran Buddha Dharma. Keduanya memang telah saling mengenal melalui keaktifan mereka di Perhimpunan Theosofi. Di sela-sela masa kuliahnya, Ibu Parwati aktif mengikuti guru spiritualnya berkeliling ke daerah-daerah memberikan ceramah Dharma, termasuk bermalam di kelenteng-kelenteng. Ibu Parwati sering diminta oleh gurunya untuk menjadi penerjemah ke dalam bahasa Jawa agar umat lebih mudah memahami, dan selanjutnya bahkan diminta untuk juga memberikan ceramah Dharma. Ibu Parwati mendirikan Buddhist Study Club di Yogya pada tahun 1953 dan ikut menjadi pengurus Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia maupun Perhimpunan Buddhis Indonesia sejak awal. Ibu Parwati juga menjadi asisten dosen dari Prof. Mohammad Yamin, yang mendorongnya untuk aktif mempelajari sejarah mengenai kebesaran agama Buddha Indonesia di masa lalu.
Ibu Parwati sebagai dosen agama Buddha adalah orang yang telah ikut membekali banyak tokoh Buddhis di Indonesia. Para mahasiswa Buddhis yang ada di Bandung mula-mula mengikuti kuliah agama Buddha di Wihara Vimaladharma. Selanjutnya Ibu Parwati selama puluhan tahun menjadi dosen agama Buddha di sejumlah perguruan tinggi, yaitu ITB, Unpad, STIEB, Itenas, dan Universitas Widyatama. Di ITB, ada suatu masa mata kuliah agama dapat diikuti mahasiswa dari agama yang berbeda. Pada masa itu mata kuliah agama Buddha mendapat peminat yang sangat besar, maka tidak heran jika banyak tokoh nasional yang pernah menjadi murid dari Ibu Parwati.
Berikut pesan Ibu Parwati yang sering disampaikan dan kembali disampaikan saat terbaring sakit di rumah sakit, “Titip Borobudur, harus ada yang pedulikan. Lalu jangan dilupakan bahwa wanita Indonesia itu dulu sudah pernah mencapai tingkatan spiritual yang tinggi. Terbukti dengan adanya tempat berlatih khusus untuk para biksuni. Mohon jangan dilupakan bahwa peran wanita dalam keagamaan itu sangat penting. Ini sesuai janji saya pada Prof. Moh. Yamin ketika saya jadi asistennya untuk tidak melupakan dan menyampaikan pada generasi berikutnya. Saya hanya sakit fisik saja, tapi masih bisa memberi masukan yang dibutuhkan asal diberitahu saja, saya bersedia. Salam kasih dari saya untuk semua.”
Atas keteladanan sebagai pandita yang bukan hanya mengajar Dharma melalui kata-kata, tetapi juga lewat perilaku dan tindakan nyata, Sanggha Agung Indonesia menganugerahi Ibu Parwati sebagai Maha Upasika Pandita dan mengangkat sebagai Ketua Dewan Pandita Buddhayana Indonesia.
Pada Minggu, 24 Juli 2016, dalam usia 84 tahun Ibu Parwati atau Maha Upasika Pandita Metta Pannakusuma menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Pondok Indah, Puri Indah, Jakarta Barat. (Baca Selamat Jalan, Srikandi Buddhis dari Solo…)
Sebagai wujud penghormatan dan memperingati jasa-jasa mendiang Dr. Parwati Soepangat, Wanita Buddhis Indonesia akan mengadakan ritual peringatan “49 Hari Meninggalnya Ibu Parwati” di Wihara Ekayana Arama, Jakarta pada:
Hari, Tanggal: Minggu, 11 September 2016
Waktu: Pukul 10.00 – 12.00 WIB
Acara: Ritual Pelimpahan Jasa kepada Ibu Parwati
Tempat: Bhaktisala Utama
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara