• Monday, 25 July 2016
  • Sutar Soemitro
  • 0

Umat Buddha kehilangan seorang tokoh penuh dedikasi, Parwati Soepangat, seorang Srikandi Buddhis yang meninggal dunia pada hari Minggu, 24 Juli 2016 pukul 17.50 WIB di Rumah Sakit Puri Indah.

Parwati lahir di Keraton Surakarta, 1 Mei 1932 dari pasangan (Alm.) Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Widyonagoro, Bupati Keraton dan (Almh.) Raden Ajeng (RA) Soewiyah, guru Sekolah Keraton. Gelar RA (Raden Ajeng) juga melekat erat pada diri Parwati.

Lahir dalam keluarga Buddhis dan vegetarian sejak kecil, Parwati dididik dan dilatih dalam budaya Jawa yang luhur. Walaupun dibesarkan dalam lingkungan bangsawan, namun Parwati selalu ramah pada setiap orang. Ia wanita yang cerdas dan gemar menari. Kepribadiannya teguh dan berani melawan segala rintangan untuk membela kebenaran yang dia yakini.

Tahun 1958, setelah lulus dari Universitas Gajah Mada, Parwati ke Amerika untuk mengambil program Master of Arts. Sekembalinya ke tanah air, ia menjadi dosen di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran dan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha di Bandung.

Tahun 1960-an, Parwati mengajar kuliah agama Buddha bagi para mahasiswa di Wihara Vimala Dharma. Selama puluhan tahun ia menjadi dosen agama Buddha di kampus berbagai perguruan tinggi di Bandung.

Parwati juga aktif dalam komunitas Theosofi yang mengantarkannya bertemu dengan suaminya, Prof. Dr. Soepangat Soemarto, guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) yang pernah menjadi Pembantu Rektor III ITB dan juga Dekan Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti, Jakarta.

Ketertarikannya pada Theosofi juga mempertemukannya dengan Tee Boan An yang kemudian lebih dikenal sebagai Mahabiksu Ashin Jinarakkhita (1923-2002).

Sebagai orang-orang yang berpikiran maju, mereka berdua memiliki prinsip hidup yang sama, seperti: vegetarian, hidup harmonis, dan kesederhanaan. Bersama Mahabiksu Ashin Jinarakkhita, Parwati selalu terlibat aktif dalam pengembangan agama Buddha di Indonesia sejak Waisak Nasional pertama di Borobudur tahun 1953. “Srikandi Buddhis asal Solo”, demikian gelar yang diberikan oleh Mahabiksu Ashin Jinarakkhita kepadanya.

Maha Upasika Pandita Metta Pannakusuma Parwati –nama lengkapnya– sangat bersungguh-sungguh dalam melakukan praktik Dharma kesehariannya, penuh kesadaran dengan tubuh, ucapan, dan perbuatannya. Ia biasanya berbusana dalam pakaian Jawa, mengenakan kebaya tradisional, dan lebih memilih bepergian dengan naik kendaraan umum.

Kesetaraan gender dan emansipasi perempuan selalu menjadi topik utama baik dalam tulisan maupun seminar oleh Parwati. Parwati adalah pendiri dan sekaligus ketua umum pertama dari Wanita Buddhis Indonesia (WBI).

Parwati meyakini bahwa para perempuan seharusnya meningkatkan derajat perempuan dari semua segi, terutama dalam bidang Ketuhanan. Emansipasi bukanlah hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga mental dan spiritual. Perempuan juga mampu untuk mempelajari dan mempraktikkan Dharma serta memiliki potensi untuk menjadi Master.

Kita dapat memilih menjadi guru tradisi yang mana pun, tetapi harus menghindari menjadi fanatik. Karena tidak ada satu ajaran atau tradisi apa pun yang harus diletakkan lebih tinggi, lebih hebat, atau paling benar daripada yang lainnya. Ketika kita menjadi ahli, kita tidak lagi memiliki sudut pandang fanatik seperti itu, karena tujuan dari semua jalan adalah untuk mencapai kesadaran sempurna. Ini adalah pesan Parwati kepada semua perempuan Buddhis di Indonesia.

Kini, Srikandi Buddhis dari Solo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya, namun perjuangannya dalam mengembangkan agama Buddha dan kesetaraan gender tak akan terlupakan.

Jenazah Parwati Soepangat disemayamkan di rumah almarhumah di Jl. Niaga Hijau II no. 32, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Kremasi akan dilakukan pada Selasa, 26 Juli 2016 pukul 14.00 WIB di Krematorium Oasis, Jatake, Cikupa, Banten.

Selamat jalan, Ibu Parwati… (dari berbagai sumber)

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *