• Monday, 21 December 2015
  • Ngasiran
  • 0

Di beberapa tempat, perlakuan diskriminasi paling terasa salah satunya dalam hal pengurusan surat-surat kependudukan. Di Temanggung, Jawa Tengah, perilaku diskrimasi tersebut membuat sejumlah pasangan umat Buddha status pernikahannya tidak diakui oleh negara secara resmi, bahkan sampai anaknya telah dewasa.

Ini yang mendorong Darwanti memilih mengabdikan dirinya sebagai Pegawai Pembantu Pencatatan Perkawinan Buddha (P4B) di wilayah Temanggung walaupun dengan upah yang sangat kecil.

Darwanti adalah putri asli Temanggung yang lahir pada tanggal 5 Januari 1965 di Dusun Mruah, Desa Tleter, Kecamatan Kaloran. Ia ditunjuk oleh Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi) pada tahun 2007 menjadi P4B, kemudian diajukan ke Kementerian Agama dan Catatan Sipil hingga mendapat Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Tengah. Namun walaupun mendapat SK Gubernur, P4B tidak mendapatkan gaji, hanya mendapat insentif Rp 20 ribu per bulan.

“Yang melatarbelakangi saya mau menjadi petugas P4B adalah saya mengetahui bahwa umat Buddha khususnya di Kaloran itu sudah menikah tapi mereka tidak mempunyai dokumen-dokumen perkawinan, jadi terkadang itu menimbulkan polemik di masyarakat dan umat harus menanggung beban moral perkawinan dibilang ‘kumpul kebo’,” ujar Darwanti.

Setelah ditunjuk sebagai P4B dan atas dukungan suami, Darwanti melanjutkan pendidikan strata satu di Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Raden Wijaya, Wonogiri lulus pada tahun 2011. Pada awal menjabat sebagai P4B, Darwanti berkunjung ke vihara-vihara yang ada di Kaloran dan menemukan banyak masalah yang belum terselesaikan terutama terkait dengan akta perkawinan.

Dari awal perkembangan agama Buddha di Kaloran pada tahun 1968, umat Buddha yang menikah kebanyakan hanya mendapat surat perkawinan dari Departemen Agama, sehingga mereka kesulitan dalam mengurus dokumen-dokumen negara seperti akta kelahiran. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah ketika diterbitkan Undang Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Atminduk).

“Umat Buddha menikah secara agama namun tidak dicatatkan ke catatan sipil, jadi mereka tidak mempunyai akta nikah. Ini banyak kasus terutama kasus pernikahan lama dari tahun 1968 sampai 2005. Lebih dari 100 umat Buddha tidak mempunyai akta nikah, setelah diterbitkan Undang Undang Atminduk, salah satu syarat untuk menikah kan harus punya akta kelahiran, dan seorang anak untuk membuat akta kelahiran, orangtuanya harus mempunyai akta nikah. Inilah kemudian yang menjadi masalah,” ujar Darwanti.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Darwanti harus menikahkan ulang umat Buddha yang belum mempunyai akta nikah. “Untuk menikah ulang sendiri kadang dipandang sinis oleh petugas kecamatan, padahal petugas kecamatan kadang kan tidak tahu peraturan dan kondisi lapangan bagaimana, jadi mereka mempertanyakan, ‘Masak anaknya sudah banyak belum kawin, jadi umat Buddha kumpul kebo ya?’ Dan itu kan menjadi beban moral bagi anak-anaknya,” ujar ibu dua anak ini.

Sementara itu untuk menikah ulang juga harus mengganti KTP dan KK, “Orang yang sudah menikah kan KTP dan KKnya tertulis kawin, sementara kebanyakan mereka kan sudah tua jadi kadang-kadang mereka putus asa untuk mengurus itu. Jadi saya harus telaten mendampingi mereka.”

Bukan hanya persoalan tersebut yang dihadapi Darwanti dalam melakukan tugasnya sebagai P4B. Untuk menikahkan pasangan yang berbeda agama misalnya, Darwanti mengaku mendapat banyak kesulitan terutama kalau dari agama lain masuk ke agama Buddha, bahkan tak jarang mendapat ancaman dari kelompok lain.

“Kalau masih wilayah Kloran karena petugasnya sudah pada tahu kalau ada agama Buddha lebih mudah, tapi kalau berasal dari daerah yang tidak ada agama Buddha akan banyak kendala. Salah satu contoh: anak Dusun Mbatursari, Desa Tleter mendapat calon suami dari daerah Mbedono yang mau menikah secara agama Buddha, untuk mengurus KTP dia dipersulit,” ujar Darwanti.

Untuk ke depannya, Darwanti berharap umat Buddha melalui Direktur Bimbingan Masyarakat Buddha berani mengajukan revisi Undang Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 karena dianggap diskriminatif. “Kalau orang yang beragama Islam cupuk menikah di Kantor Urusan Agama saja, harusnya umat beragama lain juga bisa menikah secara agama saja,” jelas Darwanti.

Dalam undang-undang perkawinan yang dijelaskan oleh Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang No. 1 Tahun 1974, dimana dalam Pasal 2 PP tersebut dikatakan bahwa pencatatan perkawinan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat Kantor Urusan Agama, sedangkan pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama lain di luar agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil.

Meskipun setelah diterbitkannya UU Atminduk tahun 2006, KUA Kecamatan pun harus melaporkan data hasil pencatatan perkawinan Kantor Catatan Sipil provinsi. Tetapi penduduk beragama Islam tidak perlu langsung melapor kepada Catatan Sipil bila menikah, namun tugas KUA lah untuk melaporkan hal tersebut ke Catatan Sipil.

Mengakhiri perbincangan, Darwanti berharap semua pemangku kepentingan agama Buddha ikut memperhatikan petugas P4B, karena dari petugas P4B inilah terjadi perkawinan-perkawinan Buddhis yang akhirnya menurunkan generasi-generasi agama Buddha.

“Petugas Pembantu Pencatatan Perkawinan itu adalah ujung tombak meskipun juga sering menjadi ujung ‘tombok’, tapi dari P4B inilah lahir keluarga-keluarga Buddhis,” pungkasnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *