• Thursday, 19 November 2015
  • Ngasiran
  • 0

“Sejarah hilangnya agama Buddha ada di Banyuwangi. Kalau kita bisa membangkitkan kembali umat Buddha di Banyuwangi, saya kira bisa memberi sumbangsih yang sangat besar bagi perkembangan agama Buddha di Indonesia,” ujar Bhikkhu Tejapunnyo tentang alasannya memberi perhatian khusus membina kabupaten di ujung timur Pulau Jawa itu. Bhante secara rutin sebulan sekali datang ke Banyuwangi memberikan pembinaan.

Bhikkhu Tejapunnyo adalah putra asli Jawa Timur, tepatnya Blitar. Ia lahir dengan nama Dwiyanto pada tanggal 28 Oktober 1977 dari keluarga petani. Anak kedua dari empat bersaudara ini sudah mempunyai keinginan untuk menjadi bhikkhu sejak kecil, ketika melihat Bhikkhu Khemasarano melakukan pembinaan di Vihara Buddha Sasana, Blitar dan menyatakan keinginannya tersebut kepada kedua orangtuanya.

Setelah tamat SMA, Dwiyanto mengikuti program pabajja samanera di Vihara Dhammadipa Arama, Batu, Malang selama tiga bulan. Setelah selesai tiga bulan, ia kembali lagi ke kehidupan umat awam. Namun kehidupan sebagai umat awam membuatnya merasa tidak nyaman sehingga ia meminta izin kembali kepada orangtuanya untuk menjadi samanera tetap.

“Pada awalnya orangtua saya tidak mengizinkan, namun lama kelamaan hati orangtua saya luluh juga, namun pada waktu itu pendaftaran sudah telat jadi harus menunggu tahun depan. Sambil menunggu, saya bekerja di sebuah vihara di Jakarta dan bertemu dengan Bhante Abhisuryo,” ujarnya mengenang.

Setelah bertemu Bhante Abhisuryo, Dwiyanto ditawari untuk menjadi bhikkhu di Thailand. Setalah mendapat izin penuh dari orangtua, ia berangkat ke Thailand bersama dengan Sulano (sekarang Bhikkhu Sukito) dan ditahbiskan menjadi bhikkhu di Vihara Thung Pho, Isan, Provinsi Buriram, Thailand dengan Luangpo Leang Chandagammo sebagai upajjaya, Luangpo Ard Avuddhapannyo sebagai kammacariya, dan Achan Jirawat sebagai anusavacanacariya pada tanggal 10 Mei 1998 dengan nama Tejapunnyo. Setelah ditahbis menjadi bhikkhu, Bhante Tejapunnyo belajar menjadi bhikkhu hutan di Thailand selama empat tahun.

20151119 Bhikkhu Tejapunnyo Membina Umat Buddha Pedesaan Banyuwangi_2

Di Thailand Melatih Diri, di Indonesia Membina Umat
Pada tahun 2002, Bhikkhu Teja kembali ke Indonesia. “Suasana sangat berbeda saya rasakan setelah di Indonesia. Kalau di Thailand setiap hari aktivitas hanya untuk mengolah batin, bangun jam tiga pagi, setelah itu meditasi sampai jam enam. Jam enam sampai jam delapan melakukan pindapata, setelah itu makan. Selesai makan berlatih meditasi duduk, meditasi jalan, dan menghafalkan patimokkha. Pada sore hari bersih-bersih dan malamnya meditasi bersama dengan bimbingan guru sampai jam 10.

“Setelah itu kembali meditasi di kuti sampai jam satu dini hari. Jadi kita tidur hanya sekitar tiga jam sehari, makan juga hanya sekali, tapi itu cukup untuk menopang aktivitas sehari-hari. Namun kalau di Indonesia, selain melatih batin, kita juga harus melakukan pembinaan umat,” ujarnya.

Setelah kembali ke Indonesia, Bhante Teja melakukan pembinaan di berbagai daerah di Indonesia, di antaranya di Ciapus Bogor, Banjarmasin, Jakarta, Cilacap dan Malang, hingga tahun 2007 atas permintaan umat, Bhante Teja menetap di Surabaya.

“Saya menerima permintaan umat Surabaya dengan pertimbangan Surabaya itu kota besar dengan umat yang banyak, sementara tidak ada bhikkhu yang tinggal di Surabaya,” jelasnya.

Selama bertugas di Surabaya, Bhante Teja juga melakukan pembinaan di luar daerah Surabaya, seperti Madura, Sumenep, Pamekasan, dan Bangkalan. “Pada awalnya saya hanya ingin fokus mengurus umat di Surabaya, tapi kalau ada daerah lain yang minta dan masih ada waktu ya kita layani.”

 Tahun 2011, atas permintaan Sangha, Bhante Teja melakukan vassa di Batam. Di Batam, Bhante Teja melakukan pembinaan rohani di lembaga permasyarakatan dan merintis pembinaan melalui radio.

“Selama ini pandangan orang luar agama Buddha itu negatif, yang tidak ber-Tuhan lah, yang menyembah berhala lah, dan lain-lain. Penyampaian Dhamma melalui media termasuk radio ini sangat penting untuk mengubah pandangan-pandangan negatif itu. Tujuannya bukan mengajak pendengar menjadi beragama Buddha, tapi lebih menyebarkan nilai-nilai universal Buddhisme, supaya menumbuhkan toleransi, dan apa pun agama bisa bekerja bersama-sama membangun Indonesia,” ujar Bhante.

Setelah melakukan tugas di Batam, Bhante Teja kembali lagi ke Jawa Timur dan menetap di Vihara Giri Vana Arama, Dusun Ampel Gading, Desa Wonosalam, Kec. Wonosalam, Kabupaten Jombang. Dari pengalaman di Batam, Bhante Teja merintis pembinaan umat Buddha di Jawa Timur melalui media TV dan beberapa radio Jawa Timur, di antaranya Dhamma TV, Radio Suara Kediri, Radio Suara Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, Prima Radio Surabaya, dan belakangan ini merintis kerjasama dengan Radio Bintang Tenggara Banyuwangi.

20151119 Bhikkhu Tejapunnyo Membina Umat Buddha Pedesaan Banyuwangi_3

Membina Umat Buddha di Banyuwangi
Pada 5-9 November 2015 lalu, BuddhaZine berkesempatan mengikuti aktivitas Bhante Tejapunnyo melakukan pembinaan umat Buddha di Banyuwangi. Selama di Banyuwangi kami berkeliling ke vihara-vihara, setidaknya dalam tiga hari mengunjungi 4-5 vihara. Banyuwangi merupakan salah satu basis agama Buddha di Jawa Timur, terdapat kantong-kantong Buddhis di berbagai kecamatan. (Baca Banyuwangi, Tempat Runtuh dan Bangkitnya Agama Buddha di Nusantara)

Berangkat dari Surabaya Kamis malam, dengan menempuh perjalanan selama sembilan jam mengendarai mobil pribadi, kami sampai di Desa Kandangan di rumah Jumani, salah satu pembina pmat Buddha Vihara Dhamma Santi. Setelah istirahat dan makan siang, kami berkesempatan berbincang khusus dengan Bhante Tejapunnyo tentang bagaimana membangun umat Buddha di pedesaan.

“Yang memotivasi saya melakukan pembinaan sampai ke desa-desa hanya satu, yaitu melihat umat bahagia, karena kebahagiaan tertinggi adalah ketika bisa membuat orang lain bahagia,” ujar Bhikkhu Tejapunnyo.

Menurut Bhante, ada beberapa faktor yang menyebabkan umat Buddha pedesaan khususnya Banyuwangi mengalami penurunan. “Saat saya ketemu dengan Bhante Somdet, beliau bertanya, ‘Apa yang menjadi permasalahan pembinaan umat Buddha di Indonesia?’ Dan menurut saya banyak faktor yang mempengaruhi.

“Yang pertama adalah kurangnya pemahaman tentang Buddha Dhamma (keyakinan), faktor pernikahan, pendidikan, ekonomi, dan yang terakhir kurangnya kepedulian sosial. (Baca Tiga Faktor yang Harus Dibenahi Agar Jumlah Umat Buddha di Banyuwangi Tak Menyusut)

“Bagaimana memberi pemahaman Buddha Dhamma kepada umat, ya melalui pembinaan-pembinaan secara langsung ke daerah, ceramah Dhamma melalui radio salah satu cara lainnya. Oleh sabab itulah, saya menyempatkan diri sebulan sekali datang ke Banyuwangi.

“Pendidikan juga sangat mempengaruhi. Orangtua pasti ingin anaknya sekolah yang bagus-bagus, tapi kita selangkah kalah dengan agama lain. Mereka punya sekolah lain yang lebih bagus, ini membuat anak menjadi pindah keyakinan. Dari faktor pendidikan, kita juga harus turut serta memperbaiki pendidikan Buddhis.

“Selain pendidikan, faktor ekonomi ini menjadi persoalan klasik. Kalau ekonominya lemah mereka didatangi umat lain, sementara keyakinannya tidak kuat, mereka pasti pindah keyakinan. Nah ini orang-orang kota juga harus membantu memikirkan bagaimana umat-umat kita yang di pedesaan juga memiliki ekonomi yang maju.

Bhante Teja memberi contoh, “Ada suatu kisah pada kehidupan Buddha, pada suatu saat ada seorang penggembala datang ingin mendengarkan Dhamma, tapi Buddha tahu orang ini dalam kondisi haus dan lapar. Jadi dia disuruh makan dan minum dulu baru mendengarkan Dhamma supaya bisa fokus.”

“Ada beberapa solusi yang pernah kami pikirkan kalau ada umat yang memiliki ekonomi mapan dan mau memberi. Berilah vihara-vihara itu tanah untuk dikelola umatnya yang ekonominya lemah dan bisa bagi hasil antara pengelola, pemilik, dan vihara. Hasil ini juga menopang kegiatan-kegiatan sosial vihara.

“Dan yang terakhir dari segi kepedulian sosial. Kadang-kadang umat kita itu Dhammanya terlalu tinggi, tapi tidak sadar kalau masih menginjakkan kakinya di tanah. Kalau ceramah bicara tentang sorga, neraka, tapi tidak memperhatikan kanan-kiri hidupnya menderita, ada umatnya sakit, umatnya ada yang mengalami kematian, umat Buddha dengan enaknya bilang kammayoni, kammabandhu. Itu kan Dhamma yang ketinggian sekali. Kalau ada tetangga kesusahan mbok ya tunjukkan minimal simpatiknya syukur-syukur kalau mau membantu.”

Mengakhiri perbincangan, Bhante Teja mengajak umat Buddha untuk bekerjasama membangun umat Buddha di pedesaan. “Kalau dari sangha, majelis dan umat mau bekerjasama, umat Buddha di mana pun berada pasti bisa maju baik secara spiritual maupun kehidupan sosial,” pungkasnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *