Yang tercerahkan, dikelilingi banyak bhikkhu, meninggal tenang, dengan meditasi jhana yang dimasukiNya dengan penguasaan penuh. Kematian Sariputta di rumah orang tuanya, juga dihadiri oleh bhikkhu-bhikkhu pengikutnya, namun tidak seperti Buddha, dia telah jatuh sakit sebelum meninggal.
Ananda meninggal pada usia 120 tahun, sebelumnya dia telah memasuki unsur api dengan keahlian meditatifnya sehingga tubuhnya lenyap terbakar dalam sekejap, sebagaimana keinginannya untuk tidak membebani siapapun pada pemakamannya.
Melihat kematian dari Guru dan dua siswa ini, seseorang pastinya mengharapkan bahwa dalam kasus kematian Maha Moggallana pun juga, leburnya tubuh ini secara sempurna akan berlangsung di lingkungan yang sama tenangnya.
Akan tetapi dalam kasus Moggallana, kejadiannya sangatlah berbeda walaupun cara kematiannya yang mengerikan tersebut sama sekali tidaklah menggoyahkan batinnya yang kokoh dan tenang.
Dia meninggal setengah bulan setelah kematian Sariputta sahabatnya, yaitu pada hari bulan muda di bulan Kattika (Oktober/November), di musim gugur. Sedangkan kematian agung Buddha terjadi di malam bulan purnama di bulan Vesakha (Mei), yaitu setengah tahun setelah kematian kedua siswa utamaNya. Sang Buddha tutup usia pada umur 80 tahun sedangkan Sariputta dan Moggallana tutup usia pada umur 84 tahun.
Berikut adalah keadaan pada saat kematian Moggallana
Setelah kematian Nathaputta, pemimpin pertapa Jaina (Jain/Jina), timbul perselisihan sengit di antara para pengikutnya tentang ajarannya dan akibatnya mereka kehilangan banyak umat pengikut dan para penyokong.
Para pengikut Jaina juga telah mempelajari apa yang dikatakan oleh Moggallana dari perjalanannya menuju alam-alam lain: bahwa para pengikut mulia dari Sang Buddha terlahir kembali di alam surga sedangkan pengikut sekte-sekte lain yang kurang dalam hal perilaku moral, telah jatuh ke alam sengsara, di alam rendah. Hal ini juga turut menyebabkan pudarnya reputasi sekte-sekte lain, termasuk Jaina.
Khususnya orang Jaina di Magadha kalangan yang rendahan marah sekali, karena mereka kehilangan dukungan dan kepercayaan publik sehingga mereka ingin menyingkirkan Moggallana.
Tanpa memeriksa penyebab-penyebabnya di dalam diri mereka sendiri, mereka cuma langsung menimpakan kesalahan kepada Moggallana dan menumpahkan kebencian dan kecemburuan kepada Maha-Moggallana.
Enggan melaksanakan sendiri pembunuhan Moggallana, maka mereka menyusun rencana lain. Di jaman itu juga ada penjahat profesional yang siap membunuh demi mendapatkan bayaran.
Selalu ada orang jahat yang bersedia melakukan apapun demi uang. Jadi ada beberapa orang Jaina yang berpikiran dengki mengupah sebuah geng dan memerintahkan mereka untuk membunuh Moggallana.
Pada saat itu, Maha-Moggallana hidup sendiri di sebuah gubuk hutan di Kalasila. Sesudah pertemuannya dengan Mara, dia tahu bahwa akhir hidupnya sudah hampir tiba. Setelah menikmati nikmat kebahagiaan dari kebebasan, dia sekarang merasakan tubuhnya menjadi tidak lebih dari sebuah halangan dan beban saja.
Oleh sebab itu dia tidak memiliki hasrat untuk menggunakan inderanya dan terus hidup selama beberapa kalpa. Namun demikian toh ketika dia melihat segerombolan berandal itu mendekat, dia melenyapkan diri dengan kekuatan kesaktiannya.
Gerombolan itu tiba di gubuk kosong dan kendati mereka mencari kemanapun, mereka tidak dapat menemukan Moggallana. Mereka pergi dengan kecewa, tetapi kemudian kembali lagi pada hari berikutnya.
Selama enam hari berturut-turut Moggallana kabur dari mereka dengan cara yang sama. Motivasinya bukanlah untuk mempertahankan tubuhnya sendiri, akan tetapi justru untuk menyelamatkan penjahat-penjahat itu dari jeratan konsekuensi karma dari pembunuhan semacam itu, yang pastinya akan membawa pada kelahiran di alam neraka.
Dia ingin menghindarkan mereka dari nasib seperti itu dengan memberikan kesempatan untuk mempertimbangkan kembali dan meninggalkan rencana pembunuhan itu.
Akan tetapi keserakahan mereka terhadap uang begitu besar sehingga mereka tetap teguh dan kembali lagi meski pada hari ketujuh. Dan ketekunan mereka pun akhirnya “terbayarkan”, karena pada hari ketujuh itu Moggallana kehilangan kendali atas kemampuan magis terhadap tubuhnya.
Sebuah perbuatan bengis yang dilakukannya jauh di kehidupan lampau (dengan menyebabkan kematian orang tuanya sendiri) belumlah lunas, dan masaknya karma lampau itu sekarang menimpa, seperti halnya bagi orang lain yang tiba-tiba ditimpa dengan sakit parah.
Moggallana menyadari bahwa dirinya sekarang tidak dapat lari lagi. Penjahat-penjahat itu menerobos masuk, menjatuhkannya, menghajar semua tungkai dan lengannya, dan meninggalkannya terkapar bersimbah darah.
Sangat bernafsu untuk mengambil bayaran mereka secepatnya, dan juga karena ada semacam perasaan yang tidak enak atas perbuatan pengecut mereka, para penjahat itu segera meninggalkan gubuk tersebut tanpa melihat-lihat lagi.
Akan tetapi kekuatan mental dan fisik Moggallana begitu hebat sehingga energi vitalnya belum padam. Dia menghimpun kembali kesadarannya dan bisa menyeret tubuhnya ke hadapan Sang Buddha.
Disana, di hadapan Sang Guru, di tempat paling suci di dunia, di sumber kedamaian yang terdalam, Moggallana menghembuskan napasnya yang terakhir (Jat. 522E).
Kedamaian batin yang sudah didiaminya sejak pencapaian arahat tidak pernah meninggalkannya. Kedamaian itu tidak pernah meninggalkannya bahkan di tujuh hari terakhir hidupnya yang penuh diwarnai gejolak. Bahkan ancaman malapetaka pun hanyalah sesuatu yang eksternal.
Inilah jalan bagi mereka yang sudah sepenuhnya “sembuh” dan suci dan mampu mengendalikan pikiran. Karma lampau apapun yang menghasilkan akibat pada kehidupan saat ini, tak pelak, hanya mempengaruhi tubuhnya saja, tetapi tidak lagi mempengaruhi “dia,” karena “dia” tidak lagi mengidentifikasi dirinya sendiri dengan segala sesuatu yang berkondisi—yang hanya sementara.
Hukum sebab akibat
Akan tetapi, episode terakhir dari kehidupan Moggallana ini, juga menunjukkan bahwa hukum sebab-akibat moral (Kamma) memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada semua kesaktian sang penguasa kemampuan magis ini. Hanya seorang Buddha yang dapat mengendalikan konsekuensi-konsekuensi karma atas tubuhnya sehingga tidak ada sesuatu pun yang dapat mempercepat kematianNya.
Sariputta dan Maha Moggallana merupakan siswa-siswa luar biasa sehingga Sang Buddha berkata bahwa persaudaraan para bhikkhu hadir tidak lengkap setelah kematian mereka.
Sungguh luar biasa Beliau berkata, bahwa kedua siswa tersebut pernah ada. Akan tetapi juga sungguh luar biasa bahwa, lepas dari kesempurnaan mereka, tiada kesedihan, tidak ada ratap tangis di sisi Buddha ketika keduanya meninggal dunia.
Oleh karena itu, terinspirasi oleh keagungan kedua siswa utama itu, seorang murid Dhamma yang berdedikasi haruslah berjuang untuk menjadi pulau tempat berlindungnya sendiri, punyailah Dhamma sebagai pulau tempat pelindungan, tiada lagi mencari perlindungan lain—milikilah di dalamnya pendukung yang mahasakti: Empat Landasan Perhatian Murni (Satipatthana)! Mereka yang memiliki ketekunan untuk melatih diri mereka sendiri dalam menjalani Jalan Mulia Berunsur Delapan, mereka pasti akan bisa pergi melampaui semua alam kegelapan yang melingkupi Samsara. Demikianlah yang dijamin oleh Guru kita.
Dicuplik dari “Riwayat Hidup Maha Moggallana (2008). Insight Vidyasena Production.”
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara