“Awalnya saya tertarik pada Buddhadharma sama dengan tipikal orang Eropa. Pertama melalui pengetahuan intelektual, khususnya filosofi Buddha, yang kedua meditasi sebagai metode relaksasi,” tutur Roberto Rizzo, pria kewarganegaraan Italia, pada sebuah obrolan pagi bersama pemuda Buddhis di Temanggung.
Roberto Rizzo adalah mahasiswa pascasarjana antropologi budaya sebuah universitas di Polandia. Ketertarikannya terhadap musik, terutama gamelan Jawa mendorongnya untuk menyelesaikan kuliah selama satu tahun di Indonesia dan Institut Seni Indonesia (ISI), Surakarta menjadi pilihannya. Memanfaatkan libur kuliah beberapa waktu lalu, Roberto Rizzo berkunjung dan menghabiskan waktu selama lima hari di Temanggung.
Kedatangannya kali ini karena tertarik untuk mengikuti kegiatan umat Buddha Temanggung. Kepada kami, peneliti antropologi budaya ini banyak bercerita awal ketertarikannya belajar Buddhadharma hingga menjadi praktisi Buddhis, mengamati perkembangan agama Buddha Italia, Polandia, dan negara-negara di Eropa.
“Latar belakang keluarga saya Katolik, agama mayoritas di Italia, sekitar 70% dari penduduk Italia, dari awal saya merasa ajaran agama-agama yang ada kurang memuaskan dan kurang cocok dengan sanubari saya. Seperti kebanyakan pemuda seumur saya, saya juga tumbuh sebagai agnostik. Jadi, saya tidak menolak semua agama, tetapi juga tidak memilih satu agama. Saya tertarik pada filosofi dan sastra, saya melanjutkan membaca dan mengeksplorasikan agama dan filosofi,” tuturnya, Selasa (10/4).
Roberto sendiri baru mengenal Buddhadharma ketika bekerja di sebuah perusahaan. Berawal dari stres dan frustrasi bekerja di tempat yang tidak menyenangkan, pencarian spiritual pun dimulai. “Mirip kisah banyak orang, saya juga mencari cara yang bisa mengatasi stres dan kecemasan. Salah satu caranya yaitu meditasi.
“Saya mulai dengan metode yang ‘trendi’ di Eropa, meditasi mindfulness. Metode ini berasal dari meditasi Buddhis. Tetapi banyak orang Eropa dan Italia yang bermeditasi seperti ini tidak memperdalam lagi aspek-aspek samadhi. Mungkin beberapa orang mendefiniskan diri seperti ‘Buddhis’, tapi tidak mendalami ajaran Buddha selain meditasi untuk metode mengurangi stres.
Baca juga: Buddhadharma Sebuah Angin Segar bagi Masyarakat Eropa
“Saya sendiri melanjutkan dengan belajar ajaran Buddha. Saat itu sudah banyak buku-buku Buddhis di internet, jadi lebih mudah untuk mengakses ajaran Buddha. Dari situ saya mulai masuk vihara di kota saya, vihara kecil yang kelihatan dari luar seperti rumah biasa, saya kaget karena orang yang datang dan bermeditasi bersama reguler di sana lebih banyak daripada yang saya perkirakan.
“Sayang saat ini saya tidak bisa lagi mengikuti pujabhakti di sana karena pindah ke kota yang lain, tetapi kesan bahwa ada umat Buddha di Italia, apalagi di kota kecil seperti kota saya, pasti memotivasi untuk cari vihara di kota yang lain dan terus memperdalam ajaran Buddha.
“Pelan-pelan saya memahami konsep-konsep yang lebih sulit untuk seorang yang telah terbiasa dengan filosofi dan retorika barat, seperti coba memahami karma, anatta, dan kelahiran kembali. Meditasi tidak begitu lagi menjadi metode antistres saja, tetapi jadi seperti ruang untuk menyelami dan mengecek ajaran Buddhis, hukum sebab-akibat, tiadanya diri yang terpisah,” jelas Roberto lebih lanjut.
Vipassana
Dari situ, Roberto Rizzo semakin mendalami Buddhadharma. Pengalamannya mengikuti meditasi vipassana selama sepuluh hari membuatnya tidak canggung lagi untuk ikut chanting dan bersujud di hadapan rupang Buddha.
“Sesudah saya ikut retret pertama saya, sepuluh hari meditasi vipassana, saya jadi terbiasa sujud dan chanting di depan patung Buddha, sesuatu yang sebelum itu kurang saya pahami, mungkin karena terasa kurang “logis” dari perspektif ilmu barat. Melalui bakti itu, tidak hanya puja kepada Buddha, tetapi melatih kita untuk rendah hati. Sekarang ini, saya menjadi Buddhis.
“Pengalaman saya tidak terlalu unik. Mungkin, seperti, alasan Buddhadharma berkembang di Eropa karena cocok untuk segala zaman, untuk yang lalu maupun yang kontemporer, termasuk ilmu modern.
“Yang paling penting, sejalan dengan ilmu pengetahuan, bahkan kita tidak harus percaya saja, ajaran bisa diuji (ehipassiko), bukan hanya dipercaya saja. Buddhadharma juga bukan hanya soal filosofi saja: ontologi dan etika sehari-hari saling berhubungan. Dengan kosep-konsep antropologi, agama itu relasi antara manusia dan gaib. Proses seperti karma dan keberadaan bodhisattva, yang nggak bisa dilihat sendiri atau dicek secara metode ilmiah, dapat diselami dalam Buddhadharma.
“Karena manusia masih perlu jawaban yang penting (hal-hal saat meninggal, apa atau siapa yang hidup, di mana batas antara saya dan kamu), dapat ditemukan dalam agama Buddha dan kita juga bisa mencari jawaban itu dengan pengetahuan,” pungkasnya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara