• Thursday, 20 November 2025
  • Ngasiran
  • 0

Foto: Ngasiran

Di balik perkembangan umat Buddha di Kabupaten Karo, ada kisah perjalanan seorang bhikkhu muda dan keluarganya yang penuh tekad, tantangan, dan cinta: Bhante Khemapanno.

Bhante lahir dan tumbuh dalam keluarga Karo yang kuat memegang tradisi. Ketika lulus SMP, ia merantau ke Medan dan tinggal di Wihara Pubbarama Buddhist Center. Di sana ia menempuh pendidikan hingga tamat SMA. Namun setelah lulus, ia sempat ragu ingin bekerja saja atau melanjutkan studi.

Hingga suatu hari, gurunya menegaskan sebuah kalimat yang mengubah hidupnya:

“Bhante bilang, ‘Kamu mau jadi orang atau tidak?’ Saya merasa tertantang,” kenangnya sambil tersenyum.

Kalimat itu membuatnya kembali merenung. Dua minggu di kampung justru memperjelas panggilan hatinya. Ia kembali ke Medan, mulai kuliah, dan menjalani hidup sebagai samanera. Proses itu berlangsung hampir tiga tahun, hingga niat menjadi bhikkhu semakin matang.

Tantangan Restu Keluarga: Antara Marga dan Keyakinan

Sebagai satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga, keputusan Bhante tidak mudah diterima. Dalam adat Karo, anak laki-laki memegang peran penting sebagai penerus marga.

Ayahnya mengingat,“Saya takut marga kami tidak ada penerusnya. Tapi lama-lama kami mengerti bahwa jalan yang dia pilih adalah jalan kebajikan.”

Ibu Bhante mengaku awalnya tidak sanggup menahan tangis ketika anaknya mengungkapkan ingin menjadi bhikkhu.

“Waktu dia bilang mau jadi bhikkhu, saya nangis. Sampai sekarang kalau lihat dia pakai jubah, kadang air mata keluar. Tapi saya bahagia… yang penting dia sehat,” ucapnya dengan suara bergetar.

Proses pemahaman itu terjadi perlahan. Bhante membimbing kedua orang tuanya memahami Dhamma, sembari meyakinkan bahwa dirinya tidak pernah berhenti menjadi anak mereka.

“Saya bilang, ‘Menjadi bhikkhu bukan berarti saya meninggalkan papa dan mama. Tidak ada mantan orang tua.’”

Bhikkhu Pertama di Kecamatan Kecamatan Sei Bingai

Ayah Bhante, yang kini menjadi tokoh umat setempat, bercerita bahwa ia adalah umat Buddha pertama di Kecamatan Sei Bingai.

“Dulu saya sendiri di satu kecamatan,” katanya. Pembangunan wihara penuh tantangan, tetapi tekadnya untuk memperkenalkan ajaran Buddha tidak pernah padam.

Melihat anaknya menjadi bhikkhu membuat perjuangannya terasa terbalas.

“Yang penting sekarang, doa kami agar Bhante menjalankan Dhamma dengan baik,” ujarnya.

Membangun Umat Lewat Bahasa dan Budaya Karo

Dalam membabarkan ajaran Buddha, Bhante sangat memperhatikan budaya tempatnya bertugas. Banyak umat Karo, terutama di pedesaan, lebih kuat memahami bahasa daerah. Karena itu ia selalu mengajarkan Dhamma dengan pendekatan yang dekat dengan kehidupan masyarakat.

“Kalau membabarkan Dhamma kepada umat Karo, saya banyak menggunakan bahasa Karo,” jelasnya.
“Tapi inti ajaran tetap sama seperti di Tipitaka.”

Ia juga berusaha menggabungkan ajaran dengan tradisi lokal: tarian, musik, dan perayaan adat. Bahkan kini terdapat Paritta Bahasa Karo yang memudahkan umat memahami doa-doa penting.

“Dhamma tidak bertentangan dengan tradisi,” tegasnya.

“Kalau disampaikan dengan cara yang dekat, umat justru lebih kuat keyakinannya.”

Pendidikan sebagai Jalan Kemajuan Umat Karo

Bhante menyadari bahwa banyak permasalahan yang dihadapi umat Buddha Karo berasal dari rendahnya akses pendidikan.

“Banyak orang tua dulu tidak berpendidikan. Setelah tamat SMP, anak langsung ke ladang lalu menikah. Polanya begitu terus,” tuturnya.

Karena itu ia sangat mendorong para muda-mudi untuk mengejar pendidikan tinggi. Contohnya dirinya sendiri yang kuliah hingga S1 Jurusan Buddhis di Medan.

“Kalau kita tidak memiliki pendidikan dan pemahaman, kita tidak mengerti apa kebutuhan umat,” katanya.

Usahanya pun berbuah: kini semakin banyak pemuda Karo yang kuliah, bahkan beberapa telah menjadi bhikkhu dan samanera.

Perjalanan Bhante Khemapanno adalah kisah tentang keberanian menembus batas adat, keyakinan, dan tradisi; tentang bagaimana sebuah keluarga membuka diri, dan bagaimana satu orang dapat menyalakan kembali perkembangan umat Buddha di daerahnya.

Sebuah pesan Bhante menjadi penutup yang kuat:

“Hal yang sulit, kalau dijalankan dengan niat baik, pasti membuahkan hasil. Kalau bukan kita yang menguatkan umat, siapa lagi? Dan kalau bukan sekarang, kapan lagi?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *