• Monday, 18 December 2017
  • Deny Hermawan
  • 0

Nusantara zaman dahulu adalah mercusuar spiritualitas dunia. Tak dapat dipungkiri, guru-guru besar dari berbagai wilayah di dunia datang ke Nusantara untuk belajar agama.

Salah satu yang terkenal adalah kisah Atisha Shrijnana Dipankara (982-1054), seorang mahaguru Buddhis dari India, yang menghabiskan waktunya selama belasan tahun di Sriwijaya, berlatih di bawah bimbingan gurunya asal Swarnadwipa (Sumatra), Dharmakirti, dari tahun 1011-1023.

Meskipun Atisha telah belajar dengan banyak sekali guru di India, ia berangkat ke Sumatera karena ingin lebih banyak memahami batin pencerahan atau bodhicitta, esensi praktik seorang Bodhisattva, seseorang yang menggeluti jalur Mahayana.

Dharmakirti atau yang disebut orang Tibet sebagai Lama Serlingpa lalu mengajarkan Atisha dua cara utama untuk membangkitkan batin pencerahan: menukar diri dengan yang lain, serta tujuh poin sebab dan akibat.


Tsongkhapa dan dua muridnya (Gyaltsab Je and Khedrub Je) di Vihara Majnu Ka Tila, New Delhi, India.

Di kemudian hari Atisha datang ke Tibet, menyebarkan Buddhisme di sana, yang sempat surut akibat persekusi oleh Raja Langdarma yang anti terhadap Buddha Dharma.

Atisha menggubah Bodhipathapradīpa, atau Cahaya yang Menerangi Jalan Menuju Pencerahan, yang merangkum poin-poin inti baik sutra maupun tantra dalam metode bertahap yang mudah diikuti, berdasarkan pengetahuan yang didapatnya di Nusantara. Teks ini menjadi dasar penulisan tradisi agung pembelajaran dan praktik Tahap-Tahap Jalan Menuju Pencerahan (Lam-rim) di Tibet.

Baca juga : Mengenal Ven. Drepung Tripa Khenzur Rinpoche, Pemegang Utama Silsilah Ajaran Biara Drepung Tibet

Beberapa abad berselang, di Tibet lahirlah Lama Tsongkhapa (1357-1419), pendiri Gelugpa, sebuah aliran utama di Tibet, yang berdasar pada aliran Kadampa yang didirikan Atisha.

Tsongkhapa menulis salah satu karya besarnya mengenai Lam-rim, yang ia beri judul Penjelasan Utama Mengenai Tahapan Menuju Jalur Pencerahan, atau dalam bahasa Tibet, Lam-rim Chen-mo. Panjang karya ini 1.000 halaman dan berdasar pada berbagai sumber buku. Sumber utamanya adalah karya Atisha.

Tsongkhapa adalah salah satu guru spiritual paling berpengaruh di Tibet. Kelahirannya konon telah diramalkan oleh Buddha. Pada masa Buddha, Tsongkhapa dalam kehidupan sebelumnya, adalah seorang anak laki-laki yang mempersembahkan mala kristal kepada Buddha dan menerima sebuah keong dari Buddha.

Buddha memanggil Ananda dan meramalkan bahwa anak laki-laki tersebut akan lahir di Tibet, kelak mendirikan sebuah biara besar di antara wilayah Dri dan Den, mempersembahkan sebuah mahkota kepada rupang Buddha di Lhasa dan berperan utama dalam menyebarluaskan Dharma di Tibet.


Lukisan dinding Tsongkhapa dan dua muridnya di Tushita di Gelugpa Cultural Center, Manali, India.

Buddha memberikan sebuah nama masa mendatang bagi anak tersebut, yaitu Sumati Kirti, artinya Batin Unggul Termahsyur yang dalam bahasa Tibet, Losang Drakpa. Kerang pemberian Buddha yang aslinya merupakan pemberian dari Rajanaga Anavatapta itu lantas dibawa terbang oleh Maha Mogallana ke Tibet, dan dikubur di sana. Kisah ramalan ini ada di teks Manjushri Mula Tantra versi Tibet.

Kisah ramalan Buddha itu terbukti. Kerang yang diberikan oleh Buddha kepada anak laki-laki tersebut telah ditemukan saat dilakukan penggalian tahun 1959 di Drepung, biara terbesar di Tibet.

Sesaat sebelum melahirkan, ibu Tsongkhapa bermimpi banyak biksu berdatangan membawa persembahan. Ketika ia menanyakan tujuan para biksu, mereka menjawab bahwa maksud kedatangannya adalah memberi hormat dan hendak bertemu.

Baca juga : The Tibetan Book of Living and Dying

Pada saat bersamaan, anak laki-laki berpakaian putih dari mimpi sebelumnya muncul dan menunjuk rahimnya. Dengan kunci di tangan ia masuk ke dalam dan membuka sebuah kotak, dari dalam muncul rupang emas Avalokiteshvara.

Rupang ini bernoda dan anak perempuan berbaju merah muncul dan membersihkannya dengan bulu merak. Mimpi ini mempunyai arti bahwa Tsongkhapa merupakan emanasi Avalokiteshvara sekaligus Mañjushri. Pada pagi yang sama, Losang Drakpa alias Tsongkhapa dilahirkan tanpa menyebabkan penderitaan bagi ibunya.

Pada usia lima tahun, Tsongkhapa sudah mampu berlatih metode tantra secara mendalam, setelah sebelumnya menjadi upasaka di bawah bimbingan Karmapa IV. Selanjutnya Tsongkhapa belajar di bawah bimbingan tidak kurang dari 45 guru dari berbagai tradisi yang ada. Banyak gurunya yang di kemudian hari menjadi murid Tsongkhapa.


Rupang Tsongkhapa di Gelugpa Cultural Center, Manali, India.

Di usia 24, Tsongkhapa menjadi biksu dalam tradisi Shakya. Setelah menjalani pertapaan selama delapan tahun, memakan satu biji tumbuhan setiap hari, melakukan sujud namaskara sebanyak 3,5 juta kali dan mempersembahkan mandala sebanyak 1,5 juta kali, banyak Buddha atau Boddhisatwa yang menampakkan diri secara langsung kepadanya.

Lama Tsongkhapa selanjutnya mampu berkomunikasi dengan Manjushri sepanjang hidupnya. Sementara Vajrayogini, salah satu Istadewatanya yang rahasia, menyarankan Tsongkhapa untuk memilih warna kuning untuk topi pandita yang dipakainya ketika mengajar.

Ini sebagai simbol pencapaian spiritual dan kemurnian vinaya, menggantikan warna merah, tradisi topi lancip pandita dari India. Tsongkhapa memang dikenal karena disiplinnya yang tinggi dalam melaksanakan sila. Aliran Gelugpa– yang kadang disebut juga aliran Kadampa Baru karena menjadikan ajaran Atisha sebagai basisnya– pada akhirnya juga dikenal sebagai “Aliran Topi Kuning” karena alasan tersebut.

Tsongkhapa mendirikan tiga biara besar, Gaden, Drepung, dan Sera yang menghasilkan banyak guru besar yang berpegang pada tradisi Gelugpa dan menyebarkannya ke seluruh dunia. Tokoh-tokoh terkenal seperti para Dalai Lama, berasal dari tradisi Gelugpa.

Tsongkhapa –yang artinya orang dari Tsongkha, julukan untuk Losang Drakpa– juga menulis banyak naskah yang tidak tertandingi kedalaman dan kejelasannya. Ia juga menginisiasi tradisi Monlam, sebuah festival doa massif yang digelar selepas tahun baru Tibet. Monlam kini menjadi acara tahunan yang dirayakan oleh semua aliran utama Buddhadharma Tibetan.

Lama Tsongkhapa sering dijuluki sebagai Buddha kedua oleh para mahaguru yang hidup pada zaman itu. Kesucian dan intelektualitasnya tidak tertandingi. Oleh pengikutnya, ia dipercaya kini berada di Surga Tushita, dan bakal menjadi Sammasambuddha menggantikan Maitreya nantinya.

Tsongkhpa yang telah menjadi guru bagi ribuan murid pada masa itu, dan jutaan murid pada masa sekarang, pangkal ajarannya berasal dari ajaran Buddhisme Nusantara. Je Tsongkhapa juga dikenal merupakan pancaran atau emanasi dari Avalokiteshvara, Manjushri, dan Vajrapani, para bodhisatwa utama yang arca-arcanya banyak ditemukan di Nusantara.

Energi spiritual Tsongkhapa dalam bentuk vokal (mantra) dipercaya dapat membantu transformasi batin ke arah pencerahan. Doa atau mantra ini juga dikenal dengan nama Migtsema:

Mig-mey tze-wey ter-chen chenrezig

Dri-mey khyen-pi wang-po jampal yang

Du-pung ma-lu jom-dzey sang-wey dag

Gang-chen ke-pey tsug-gyen tsongkhapa

Lo-sang drag-pey shab-la sol-wa deb

 

Terjemahannya dalam bahasa Indonesia seperti ini:

 

Pusaka welas asih tak memilih, Avalokiteshvara

Paduka perkasa tanpa noda, Manjushri,

Penakluk semua kumpulan Mara, Vajrapani,

Permata mahkota para pandita di tanah salju, Tsongkhapa,

Losang Drakpa, di kakimu aku memohon.

Deny Hermawan

Seorang penjelajah, bekerja sebagai jurnalis di Kota Gudeg, Jogja. Dapat dijumpai di facebook, @deniclassic

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *