Setelah mendapat tugas di Singkawang, Kalimantan Barat pada tahun 2005, pertama kali yang dilakukan Bhante Thitayanno adalah membangun pendidikan. Sekolah Minggu Buddhis, sebuah pendidikan informal untuk para siswa Buddhis di sekolah-sekolah menjadi fokus binaannya.
Usaha menarik minat anak Buddhis
Bersama pengurus Vihara Vimala Candra, Bhante menyediakan jemputan untuk para siswa Buddhis yang tempat tinggalnya jauh dari vihara. Meskipun begitu, pada awal penyelenggaraan tak pasti berapa siswa yang hadir setiap Minggunya.
“Ya angin-anginan, kadang banyak yang datang, kadang sepi meski sudah kami sediakan jemputan,” tutur Bhante.
Meski begitu, Bhante Thitayanno bersama pengurus vihara tak patah arang. Agar Sekolah Minggu bisa berjalan, ia menyelenggarakan kursus. “Jadi kami berpikir bagaimana menarik anak-anak, terutama daerah sini. Jadi kita adakan kursus terutama untuk anak-anak dekat vihara sini. Dan ini berhasil, meskipun kadang tidak banyak tapi minimal ada yang datang lah,” tutur Bhante.
Kemiskinan adalah kendala utama
Penyelenggaraan kursus berjalan selama dua tahun. Dalam perkembangannya, kursus ini kemudian menjadi Sekolah Asoka. “Kami berpikir lebih efektif kalau ada sekolah,” Bhante memberi alasan.
Untuk membangun sekolah, Bhante mengaku tantangannya tidak mudah. Ekonomi masyarakat Buddhis Singkawang yang rata-rata masih di bawah garis kemiskinan membuat pengurus sekolah harus memutar otak. Sekolah tidak bisa serta-merta untuk menarik uang sekolah kepada orangtua murid.
“Tetapi tantangannya berat, karena ekonomi penduduk terutama Buddhis sangat kurang. Karena itu uang sekolah tidak bisa tinggi-tinggi. Bahkan kami harus mencarikan beasiswa. Dari 460 siswa kira-kira 150-nya minta gratis uang sekolah. Jadi kami carikan dari Buddhist Fellowship Indonesia,” tutur Bhante.
Baca juga: Bangun Vihara Semangat, Giliran Urus Pendidikan? Payah!
Tak hanya itu, kurangnya prasarana berupa gedung, kegiatan belajar mengajar untuk sekolah dasar harus dilaksanakan di ruang sekolah minggu. “Gedung sekolah kami bangun sedikit-sedikit, tahun 2012 baru bisa selesai. Jadi sebelum itu, untuk kegiatan pembelajaran dilaksanakan di ruang Sekolah Minggu,” terang Bhante.
Sementara itu, untuk tenaga pengajar, Bhante Thitayanno mencari guru-guru lokal dari Singkawang. “Pada awalnya kami mengutamakan guru yang beragama Buddha. Sekitar 60-70 persen umat Buddha. Tetapi dalam perkembangannya, guru yang beragama Buddha semakin sedikit.”
Perjalanan Sekolah Asoka penuh liku, meskipun begitu, semua tantangan dapat terlewati dan Sekolah Asoka berkembang cukup pesat. Setelah lebih dari sembilan tahun berjalan, sekolah ini telah mempunyai sekitar 460 siswa, semua jenjang, dari TK hingga SMK dengan 40 tenaga pengajar. Bahkan, saat ini Sekolah Asoka kembali membangun gedung baru untuk SMP dan SMA.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara