Tanggal 1 Desember 2011 lalu, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton bertemu dengan pemimpin perjuangan pro demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi.
Pada hari yang sama, Komite Urusan Luar Negeri Departemen Luar Negeri AS memfasilitasi sebuah videoconference bagi awak media dengan Suu Kyi. Suu Kyi bercerita banyak tentang pahit getirnya perjalanannya memperjuangkan demokrasi di negara yang dikuasai juncta militer yang represif sejak tahun 1962 itu.
Salah satu peserta videoconference, Sally Quinn, editor The Washington Post, merasa heran karena sebagai seseorang yang terus terintimidasi, namun Suu Kyi tetap memperlihatkan wajah yang cerah dan penuh optimisme. “Saya lelah, itu adalah fakta, serta agak mengantuk. Tapi saya senang ternyata itu tidak kelihatan. Haha,” sahut Suu Kyi.
Suu Kyi tidak memungkiri bahwa dirinya tidak melupakan masa lalu begitu saja. Seperti kita tahu, perlakuan juncta militer terhadap dirinya sangat buruk. Ia menghabiskan hampir sepanjang hidupnya di balik jeruji besi karena perlawanannya untuk memperjuangkan demokrasi. Adakah rasa dendam?
“Saya tidak mengatakan untuk melupakan masa lalu. Kita harus melihat masa lalu, kita tidak bisa melupakannya. Yang perlu kita lakukan adalah jangan mengingatnya dengan kebencian. Kita tidak perlu mengingatnya dengan rasa marah. Kita memerlukan masa lalu untuk menghindari kesalahan yang pernah kita lakukan agar jangan terulang lagi di masa depan. Jadi, kita membutuhkan masa lalu untuk membantu kita hidup lebih baik di masa depan.”
Ketika ditanya Sally Quinn apakah rasa optimismenya tersebut akibat pengaruh keyakinan yang dianutnya, Suu Kyi menjawab, “Saya pikir itu semua adalah sesuatu yang harus kita lakukan, karena saya seorang Buddhis. Jadi, ajaran Buddhisme sangat mempengaruhi cara berpikir saya.”
“Tapi lebih dari itu, saya bisa katakan bahwa ketika saya mulai terjun dalam politik, dalam gerakan untuk memperjuangkan demokrasi, saya selalu memulainya dengan sebuah pemikiran bahwa ini (demokrasi) adalah sebuah proses yang bisa membawa kebahagiaan, keharmonisan, dan kedamaian yang lebih besar bagi negara kami. Dan ini tidak bisa dilakukan jika kita dipenuhi rasa marah dan keinginan untuk balas dendam.”
“Saya tidak pernah berpikir bahwa cara untuk melangkah ke depan adalah dengan melalui amarah dan kebencian, melainkan melalui pemahaman, berusaha untuk memahami pihak lain, dan melalui kemampuan negoisasi dengan orang-orang yang cara berpikirnya bertolak belakang dengan kita apakah kita harus menyetujuinya atau tidak. Jika memang kita harus menyetujuinya, mungkin itulah pilihan yang akan membawa keharmonisan meskipun di atas cara pandang kita yang berbeda-beda.” (the washington post)
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara