• Monday, 31 May 2021
  • Yulia
  • 0

Mahabiksu Ashin Jinarakkhita adalah seorang tokoh penting dalam agama Buddha sesudah Kemerdekaan Indonesia. Walau kini Indonesia adalah Negara yang sebagian besarnya pemeluk agama Islam, sebelum kedatangan Islam di abad ke 13 kepulauan Nusantara yang kini disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia dulu sebagian besar memeluk agama Buddha.

Pada kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, agama Buddha terkungkung dan hanya dipeluk oleh sebagian kecil minoritas imigran etnis China dan beberapa kelompok kecil yang mengasingkan diri dari zaman buddhis. Jinarakkhita (Sukong) secara luas dikenal hari ini sebagai tokoh yang meremajakan agama Buddha Indonesia yang terjadi pada tahun 1950’an dan 1960’an, beliau juga diakui keberadaannya oleh organisasi buddhis yang bukan bimbingannya.

Agama Buddha di Indonesia hari ini terbentuk atas keberhasilan Sukong. Kiprahnya dalam pekerjaannya diwarnai oleh dua visi yang membuat penyajian Dharma unik: yaitu meng “Indonesia kan” Ajaran Buddha dan kebersatuan organisasi dari komunitas buddhis Indonesia.

Berikut saya berikan sebuah biografi detail dan singkat dari biksu hebat ini. Saya ingin melukiskan perkembangan buddhis Indonesia modern dengan menjelaskan keberhasilan visinya.

Sukong terlahir dengan nama Tee Boan An di Bogor, Jawa Barat pada tahun 1923. Kemudian di tahun 1953 beliau ditahbiskan oleh Master Chan, Master Benqing dan diberikan nama Tizheng. Namun di masa itu China tidak memungkinkan latihan monastik, beliau berangkat ke Myanmar di tahun 1954 dan ditahbiskan ulang, kali ini sebagai biksu Theravada. Dalam penahbisannya kali ini beliau diberikan nama Ashin Jinnarakkhita. Beliau kembali ke Indonesia setelahnya dengan motivasi untuk meremajakan agama Buddha di Indonesia.

Indonesiakan ajaran Buddha

Di masa ini, agama Buddha dilihat sebagai agama milik etnis minoritas China saja. Terlepas bahwa Sukong sendiri keturunan China, beliau berkeras untuk meng-Indonesiakan ajaran Buddha. Perlu dicatat, tindakan ini beliau ambil satu dekade sebelum adanya pemaksaan asimilasi Budaya China ke Indonesia, jadi tindakan beliau merupakan hasil buah pemikiran Beliau dan bukan merupakan pemenuhan janji politik semata.

Tindakan beliau juga mengangkat kembali simbol agama Buddha Indonesia Candi Borobudur dengan stupanya. Walaupun Candi Borobudur adalah mahakarya kerajaan Sriwijaya, hingga kini masih merupakan kebanggaan di negara ini. Kemudian merupakan sebuah simbol agama Buddha Indonesia.

Sampai masa ini, Sukong juga menginisiasikan perayaan Waisak pertama di Candi Borobudur pada 22 Mei 1953. Perayaan tahunan ini menjadi sebuah perayaan besar, menarik ribuan orang dan terkadang dihadiri Presiden Indonesia. Reproduksi stupa kecil merupakan menjadi simbol agama Buddha Indonesia, dan mulai menjadi simbol umum.

Sukong juga memberi perhatian besar kepada ajaran Buddha dengan beberapa suku di Indonesia. Beberapa komunitas buddhis menyingkir ke area terpencil dan terisolasi yang diketahui di pegunungan pulau Lombok dan di Lampung, bagian Selatan pulau Sumatera.

Ajaran Buddha yang mereka anut merupakan sudah sebuah ajaran yang menjadi cerita rakyat yang terpisah dengan monastik. Sukong bekerja keras untuk meremajakan ajaran Buddha di komunitas ini, dan untuk menggabungkannya dengan komunitas buddhis etnis China di Indonesia.

Selanjutnya pada tahun 1960’an terjadi gelombang masuk ke agama Buddha tepatnya ada di Jawa Tengah. Ini merupakan bagian dari penolakan untuk mengasimilasikan Islam, yang sudah lama terintegrasi dengan kepercayaan setempat, Buddhis, maupun Hindu. Perlu dicatat dalam pengonversiannya praktik Islam yang mereka lakukan sebelumnya sudah bercampur dengan budaya Buddhis.

Apa pun pendapatnya, usaha Sukong secara jelas membuat ajaran Buddha sebuah identitas yang kokoh untuk komunitas kecil Indonesia, yang bisa dijelaskan kenapa gelombang konversi ini datang dari Jawa Tengah, dengan perkiraan akan dekat dan kuatnya simbol Borobudur.

Sukong sangat antusias dengan komunitas kecil yang konversi ini, berkunjung sejauh Papua di Timur Indonesia yang terkenal akan belantaranya untuk membangun wihara dan menahbiskan biksu. Berkunjung hingga ke pedalaman Papua merupakan sebuah tugas yang menakutkan sekarang, apalagi di tahun 1960’an, yang mana jalan dan transportasi bermotor sedikit dan jauh. Atas usahanya berkelana berkeliling Nusantara Sukong dijuluki “Sang biksu terbang. “

Bahasa adalah sebuah identitas kuat, sebuah hal yang ditekankan oleh Sukong. Demi menghapus sentimen jika agama Buddha adalah agama etnis China, beliau mencetuskan pendarasan sutra Mahayana dan Dharani dalam bahasa Sanskerta dan Jawa daripada menggunakan bahasa China.

Dengan tambahan penggunaan bahasa yang umum dalam belajar ajaran Buddha adalah Pali, Sanskerta, Mandarin, dan Tibet, Sukong mendorong untuk pembelajaran aksara Jawa Kuno demi mendapatkan keagungan ajaran Buddha pada masa sebelum Islam.

Visi Sukong

Usaha Sukong untuk meng-Indonesiakan ajaran Buddha dinilai sukses terutama di masa pemerintahan Presiden Indonesia kedua Soeharto, yang mewajibkan paksa setiap warga China Indonesia untuk berasimilasi dengan budaya setempat, ajaran Buddha terus ada dan dikenal sebagai sebuah agama oleh negara.

Nyatanya visi Sukong dalam meng-Indonesiakan berjalan dengan baik sekali, sehingga kelenteng masyarakat etnis China yang bukan milik ajaran Buddha dipaksa untuk mengambil identitasnya sebagai buddhis, dan Sukong tidak bisa disalahkan untuk hal ini.

Kepresidenan baru memberikan beban dan tantangan baru bagi Sukong. NKRI dimerdekakan dengan ideologi Pancasila, yang diformulasikan oleh Presiden pertama Indonesia Soekarno.

Secara abjad sila pertama menyebutkan “Ketuhanan yang Maha Esa”. Tantangan ini dihadapi Sukong dengan menggunakan gabungan bahasa lokal dan bahasa Indonesia, yang maka dari itu perlu sedikit penjelasan.

Ketuhanan yang Maha Esa jika dalam bahasa Inggris bisa diartikan sebagai istilah yang “Absolut”. Walaupun Soekarno memeluk agama Islam, beliau beribukan seorang Hindu, dan mengikuti kegiatan Teosofi dari muda, begitu juga Sukong.

Bergabung dalam pengesahan yang sama agama Buddha, Konghucu, dan Hindu, menyarankan untuk menggunakan istilah dengan baik untuk mengakomodir pemahaman orang yang beragama Wahyu, memahami akan Ketuhanan di dalam ajaran kami. Sukong membandingkan beberapa konsep Ketuhanan dalam Theravada ada Dharma, Mahakaya dalam Mahayana, dan Adi Buddha di Vajrayana.

Dari tiga konsep ketuhanan yang sudah diangkat sebelumnya, beliau memetik konsep Vajrayana “Adi Buddha” yang kemudian ditambahkan kosakata lokal untuk merangkainya “Sanghyang.”

Hal ini membuat pengikut Vajrayana dikecilkan oleh pengikut Theravada dan Mahayana. Banyak yang bertanya kenapa Sukong tidak menggunakan konsep Mahayana, seperti Wairocana dari Awatamsaka Sutra, Buddha Abadi dari Sutra Lotus, atau Juga kenapa tidak Samanta Bhadra dari Vajrayana Tibet? Alasannya adalah karena Sukong ingin meng-Indonesiakan ajaran Buddha.

Konsep Adi Buddha

Konsep Adi Buddha dapat dijumpai dalam teks Jawa Buddhis sebelum Islam seperti Sanghyang Kamahayanikan. Tempat Ibadah Indonesia memajang “Namo Sanghyang Adi Buddhaya” Terukir di patung, pintu masuk, dan di beberapa tempat tertulis juga dalam aksara setempat.

Sikap Sukong yang non Sektarian yang membedakannya. Beliau menolak seluruh hirarki dalam tatanan Theravada, Mahayana, dan Vajrayana, mengatakan bahwa semuanya adalah kendaraan yang efektif dalam mencapai pencerahan.

Beliau juga menolak mengakui Perang Dingin di antara ketiga tradisi ini. Seperti yang kita ketahui beliau ditahbiskan dengan tradisi Mahayana dan Theravada. Biarpun begitu, beliau menolak untuk dikaitkan dengan sekte mana pun. Beliau menjalankan apa yang beliau sampaikan dengan penampilannya juga yaitu dengan mengenakan jubah Theravada dan memanjangkan jenggot seperti dalam tradisi master Chan.

Dalam melatih murid-muridnya beliau melihat kemampuan muridnya dulu kemudian baru ditahbiskan entah dalam tradisi Theravada atau Mahayana. Muridnya yang ditahbiskan dalam tradisi Theravada akan diterbangkan ke Thailand, sedangkan untuk yang memilih tradisi Mahayana akan dikirim ke Hongkong atau Singapura. Sekembalinya mereka Sukong berharap mereka bisa menjadi satu dalam Sangha terlepas dari sekte mana dia berada.

Sangha Agung Indonesia terbentuk pada 1974 setelah melalui perubahan nama yang membingungkan selama beberapa masa. Setelah terbentuknya ini, harapan Sukong untuk menyatukannya menjadi buyar.

Biksu yang kembali dari Thailand berpisah dari organisasi yang dibentuk Sukong karena adanya perbedaan Vinaya dan membentuk sebuah Sangha Theravada sendiri.

Pada tahun 1979 Biksu Mahayana, mengundurkan diri dan ingin membentuk sebuah perkumpulan sendiri yang ingin mendekatkan diri pada budaya China yang lekat pada Mahayana.

Maka mereka membentuk sebuah organisasi baru dengan masih menunjuk beliau sebagai pendirinya dan tanda meng-Indonesiakan masih ada dalam Sangha ini. Contohnya menggunakan bahasa Sanskerta dan Jawa dalam pendarasan dan penggunaan stupa Borobudur sebagai simbolnya.

Visi kedua Sukong 

Visi kedua Sukong kurang begitu optimal dalam menyatukan organisasi, dengan adanya organisasi baru seperti Kasogatan yang menginginkan untuk meremajakan tradisi Vajrayana yang ada sebelum Islam masuk ke Indonesia, bersamaan dengan hadirnya Buddhis dari Negara Thailand, Taiwan, dan Jepang, yang berharap memisahkan diri dari cara praktik yang Sukong terapkan dan berharap untuk melakukan praktiknya sendiri.

Hasil dari menjamurnya sekte yang hadir merupakan lawan dari visi Sukong. Gambaran ini diperumit dengan kategori skema sekte. Untuk contohnya, pengakuan agama sinkretis etnis China sebagai “sekte dalam Buddhis” Atau mengkategorikan ajaran Buddha Nichiren terpisah dengan Mahayana.

Maka Soeharto memberikan jaminan untuk menyatukan semua dalam satu organisasi. Maka Negara hanya berafiliasi dengan satu badan organisasi saja sebagai perwakilan Buddhisme di Indonesia, maka sejak tahun 1980’an hal ini di payungi oleh WALUBI (Perwakilan Umat Buddha Indonesia).

Namun hal ini tidak berlangsung lagi setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, WALUBI terpencah menjadi PERMABUDHI (Persatuan Umat Buddha Indonesia), dibentuk pada tahun 2018 setelah konflik internal.

Terlepas dari kegagalan ini, pengaruh Sukong masih terus terasa dalam beberapa cara: dua dari perkumpulan Sangha besar didirikan oleh muridnya, WALUBI menggunakan stupa Borobudur sebagai logonya, dan akhirnya Sangha Agung Indonesia masih terus ada hingga kini, memberikan keunikan pada Indonesia yang mana monastik dari tiga tradisi bersatu.

Mahabiksu Ashin Jinarakkhita wafat pada 18 April 2002 dalam Samadhi. Sesuai dengan pandangan beliau akan kebersatuan buddhis, pemakamannya dilaksanakan dengan elemen tradisi Theravada, Mahayana, dan Vajrayana. Dalam tahap akhir penekanan meng-Indonesia kan ajaran Buddha, beliau disempurnakan pada krematorium Lampung, dekat dengan tempat kedudukan Kerajaan Buddhis Sriwijaya.

Terjemahan dari: Maximilian Nilsson-Ladner/Buddhistdoor Global

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *