Tulisan ini dimuat khusus untuk peringatan 40 hari meninggalnya Sutar Soemitro.
“Sesuk BZ numpang ngantor sik neng nggone Bhante Wongsin entuk kan? Karo nunggu kita siapke tempat (besok BuddhaZine numpang kantor dulu di tempat Bhante Wongsin boleh nggak, sambil menunggu kita siapkan tempat),” tanya Kang Sutar melalui aplikasi pesan whatsapp Kamis (31/1/2019) pukul 06:12 pagi.
“Pondok Meditasi Bhante Win?” tanya saya. “Iya, tempat kita pernah menginap dulu,” jawabnya. “Harusnya bisa, saya dengar Bhante Wongsin menginginkan tempat itu digunakan untuk kegiatan, supaya lebih bermanfaat. Tapi coba nanti saya tanya dulu,” balasku.
Setelah itu, kami chat whatsapp sekitar empat jam hingga pukul 11 siang membahas banyak hal. Mulai dari penataan dan aktivitas kantor, hingga rencana pengembangan-pengembangan BuddhaZine ke depan di kantor dekat Candi Borobudur. “Nanti pagi hari kita ngantor, sore kuliah S2 di UGM. Kamu sekalian ikut kuliah S2 ya, ambil manajemen media, kamu masih lemah soal ini, kalau saya sudah lumayan paham. Saya sendiri tertarik ambil kajian media dan budaya. Kang Ana Surahman sekalian ajak ngantor dan kuliah lagi, beasiswa tinggal pilih,” katanya.
Tanpa berpikir panjang, saya langsung kontak Bhante Wongsin melalui Ko Dedy dan Ce Ling Ling, pengurus Pondok Meditasi Bhante Win, Dusun Barepan, Wanurejo, Borobudur, Magelang. Satu hari kemudian Jumat, (1/2/2019), Bhante Wongsin memberi angin segar, beliau mengizinkan untuk memakai salah satu ruangan di lantai 3, bangunan baru Pondok Meditasi.
Tak sabar, kabar baik ini langsung saya teruskan ke Kang Sutar, ia hanya menjawab “Mantap surantap!” Dan Ini menjadi komunikasi terakhir saya dengan Kang Sutar. Beberapa kali saya coba hubungi melalui whatsapp tidak terkirim, hanya contreng satu, hp-nya rusak. Selanjutnya saya mendapat kabar memalui Laras (adik sepupu) dan Andre Sam (Redaktur BuddhaZine).
“Sutar di RS Mitra Keluarga, Karawaci Ruang Alium Lt. 4 No. 409. Jam besuk 18.00 – 20.00, orang yang diizinkan besuk maksimal 2. Plus, doi tidak suka rame-rame,” pesan dari Andre Sam Sabtu, (2/3) pukul 18.38. Ada perasaan lega menerima kabar ini, akhirnya Kang Sutar mendapatkan perawatan yang lebih maksimal, pikir saya. Sampai kabar itu datang, Minggu (3/3) Kang Sutar wafat.
“Pak muleh, Kang Sutar meninggal,” kata istri saya. Pada hari itu, seharian saya ikut kerja bakti dengan pemuda dusun membuat gazebo pondok meditasi. Hampir tak percaya, sosok yang begitu optimis menghadapi segala derita penyakit telah pergi. Sampai rumah, hp sudah penuh dengan kabar meninggalnya kakak, sahabat, guru yang juga teladan dalam hidup saya.
Membangun karir jurnalistik
Sutaryono (nama kecil Sutar Soemitro) lahir di Desa Purwodadi, Kecamatan Kuwarasan, Kabupaten Kebumen pada 8 Mei 1980. Sutar adalah anak kedua dari pasangan Ibu Tarmi dan Bapak Sumitro. Dia mempunyai kakak laki-laki bernama Sabar Sukarno dan adik perempuan Tri Widiati. Sejak usia muda, Sutar sudah belajar hidup mandiri, ibunya meninggal saat ia masih duduk di bangku SMP, usia 13 tahun. Sedangkan bapaknya meninggal saat Sutar berusia 27 tahun.
Sebagai anak desa, Sutar mempunyai kebiasaan langka, sejak kecil ia gemar membaca berita-berita di koran. Kebiasaan membaca berita-berita membuatnya tertarik menekuni dunia jurnalistik hingga akhirnya mendirikan media berita Buddhis online, BuddhaZine.
Kang Sutar mulai menulis dan menjadi penyunting sejak masa kuliah di Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Nalanda, Jakarta. Bersama muda-mudi Vihara Dhammasagara, sekitar tahun 2000’an dia mendirikan DSP Magz sekaligus menjadi pemimpin redaksi dan penyunting tulisan.
Baca juga: BuddhaZine Tak Akan Pernah Berhenti di Sini
Tak seperti orang-orang kebanyakan yang mengejar karir menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), mekipun kesempatan terbuka lebar, Sutar lebih memilih bergabung dengan Yayasan Buddha Tzu Chi setelah lulus kuliah pada 2003. Di Yayasan Buddha Tzu Chi, Kang Sutar dipercaya mengelola tabloid dwi bulanan.
“Waktu saya masuk, yang full time mengurus tabloid dwi bulanan Tzu Chi ya cuma Sutar sendirian. Boleh dibilang Sutar juga salah satu inisiator yang mengembangkan dari tabloid dwi bulanan, jadi bentuk Majalah Tzu Chi,” kata Ivana, teman seperjuangan Kang Sutar di Majalan Dunia Tzu Chi.
Selama enam tahun Kang Sutar meniti karir sebagai jurnalis di Majalah Dunia Tzu Chi, mulai tahun 2003 – 2009. Selama itu dia ditempa dan dikirim ke pelbagai daerah untuk tugas liputan. Tulisan-tulisannya selalu bagus, ini juga yang menempatkan salah satu karya liputannya tentang tsunami Aceh masuk nominator 10 liputan terbaik di Taiwan.
“Iya, dari dulu kan memang tulisannya bagus. Waktu tsunami Aceh, Sutar ditugaskan berangkat ke Meulaboh kisaran 2 minggu setelah kejadian. Termasuk tim advance dari Tzu Chi yang pertama masuk ke Meulaboh (karena tahap awal kita lebih banyak di Banda Aceh). Hasil tulisan dia dan satu lagi jurnalis kita (Ari Trismana), masuk nominasi tulisan terbaik (aku ngga gitu ingat persis kategorinya dan pencapaiannya), tapi ada sertifikatnya, kemungkinan disimpan sama alm Sutar sendiri,” kenang Ivana.
Tahun 2009 Kang Sutar keluar dari Yayasan Buddha Tzu Chi dan menjadi pekerja lepas di Sekretariat Sangha Mahayana Indonesia (SMI), juga banyak membantu lay out buku dan majalah. “Sebetulnya selain nulis, Sutar juga punya taste yang sangat bagus soal lay out. Dulu bantu lay out buku peringatan HUT SMI atau konferensi sanghanya tahun 2010 klo ga salah. Terus pernah bikin bukunya Bhiksuni Guna Sasana juga,” imbuh Ivana.
Berbekal semua pengalamannya itu, akhirnya pada tanggal 11 Desember 2011 Kang Sutar mendirikan BuddhaZine. “Bagi kami, BuddhaZine adalah langkah kecil pertama. Kami bercita-cita ingin membangun sebuah grup media Buddhis semisal Kompas Gramedia. Jadi nantinya tidak hanya ada BuddhaZine, namun juga menerbitkan majalah, buku, merchandise, label musik, mendirikan toko buku, pusat budaya, EO, hingga radio, dan mungkin televisi. Mimpi yang terlalu tinggi memang, tapi bukan mustahil. Setidaknya kami telah memulainya dengan BuddhaZine, dan kami terus menjaga mimpi tersebut,” begitu tulis Kang Sutar dalam artikel Perjalanan 5 Tahun BuddhaZine, yang terbit tanggal 1 Desember 2016.
Sutar Soemitro di mata saudaranya
Menggambarkan sosok orang besar yang mendidikasikan seluruh hidupnya untuk perkembangan Buddhadharma bukan perkara mudah. Perjalanan hidup, karya, pemikiran serta ide-idenya yang begitu luas tak cukup hanya dituliskan dalam beberapa halaman artikel.
Artikel ini hanya potret dari sebagain kecil perjalanan hidup Kang Sutar. Untuk melengkapi artikel yang hanya secuil dari dedikasi Kang Sutar, ada baiknya kita melihat sosok Sutaryono dari kedua saudaranya tercinta; Sabar Sukarno dan Tri Widiati.
“Sutar bisa dikenali dalam berbagai sisi. Keras hati, terkadang keras sikap dan ucapan, tapi dengan sifat keras itu juga dia mampu menempuh berat dan lelahnya memperjuangkan idealisme. Tidak tertarik pada pekerjaan menjadi PNS seperti pada umumnya orang desa termasuk keluarganya, tetapi memilih totalitas dalam pengabdian kepada agama walaupun tidak menghasilkan materi yang cukup,” tutur Mas Sabar.
Menurut Mas Sabar, Kang Sutar adalah sosok yang mempunyai kepedulian tinggi, terutama kepada keluarganya. “Dia mau berkorban, meskipun hidupnya sendiri belum berkecukupan. Bukan orang yang serba bisa atau serba tahu, tapi mau belajar keras untuk sesuatu yang disukainya. Julukan work hard play hard cocok untuk diberikan kepadanya.
“Travelling, nonton bola, musik, film adalah sebagian dari sumber kegembiraan yang tidak ternilai baginya. Bandel dan tidak mudah mengeluh, juga pantang menyerah. Periang, orang lain kadang terheran-heran melihat dia dalam lemahnya fisik dan sakit bisa terbaring sambil mendengarkan musik, menonton bola di TV atau demo masak di Youtube. Di akhir hayat, sudah ditempuhnya jalan setapak idealisme yang berat, menyisakan jalan panjang yang belum tertempuh. Idealisme yang tertunda itu bukanlah beban, melainkan bekal untuk pengabdian berikutnya,” pungkas Mas Sabar.
Hal ini juga yang dikatakan oleh Tri Widiati, adik perempuan Kang Sutar. Terlahir di keluarga PNS, Kang Sutar memilih jalan yang berbeda dari keluarga besarnya. “Kamu rela hidup ibaratnya ga bisa makan demi mewujudkan keidealisanmu yaitu bercita-cita mendirikan sebuah media yang bisa dinikmati orang seantero jagat raya lewat tulisan-tulisan indahmu.
“Semua kerja keras dan perihmu kini telah membuahkan hasil yaitu berdirinya BuddhaZine 7 tahun lalu. Saat Buddhazine sedang layaknya anak mulai belajar mengembangkan diri, kamu harus tinggalkan semua itu karena ketidakberdayaan fisik yang mengharuskan kamu melanjutkan hidupmu ke kehidupan selanjutnya. Selamat jalan Masku tercinta, namamu akan selalu ada di hati kami. Semoga bahagia selalu menyertaimu di mana pun sekarang kamu terlahir, semoga karma baik akan mempertemukan kita di kehidupan selanjutnya hingga mencapai Nibbhana, sadhu sadhu sadhu,” kenang Tri.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara