Salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki umat Buddha cukup banyak adalah Bumi Kartini Jepara. Kantong-kantong umat Buddha tersebar di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Donorejo meliputi Desa Blingoh, Desa Jugo, dan Desa Ujung Watu; dan Kecamatan Keling meliputi Desa Damarwulan, Desa Kunir, Desa Tunahan, dan Desa Banyumanis. Selain itu tersebar juga di Jepara kota.
Dari beberapa desa tersebut, yang paling menonjol adalah Dusun Guwo, Desa Blingoh, Kec. Donorojo dimana terdapat Vihara Giri Santi Loka. Vihara ini istimewa karena merupakan vihara dengan umat terbanyak di Kabupaten Jepara. Sejumlah pihak mengakui vihara ini merupakan vihara paling maju di Jawa Tengah, baik secara kualitas maupun kuantitas umatnya.
Secara kualitas, umat Buddha di vihara ini telah berhasil mengubah tradisi lokal yang tidak sesuai dengan ajaran Buddha. Selain itu, untuk ukuran masyarakat yang berada di pegunungan, umat Vihara Giri Santi Loka merupakan umat yang paling sadar akan pentingnya pendidikan. Ini bisa dilihat dari banyaknya umat vihara ini yang lulus sarjana bahkan sudah ada yang lulus S2.
Untuk bisa menjadi seperti saat ini, perkembangan agama Buddha di Dusun Guwo melewati sejarah yang panjang dan berliku. Berkembangnya agama Buddha di Dusun Guwo tidak terlepas dari tokoh-tokoh agama seperti almarhum Mbah Kasbu dari Senggrong, Mbah Kalam Tunahan, Kasitar, Ashadi dan beberapa tokoh muda yang saat ini menjadi sesepuh agama Buddha di Vihara Giri Santi Loka.
Cikal bakal munculnya agama Buddha di Dukuh Guwo sudah mulai tumbuh sejak tahun 1965, namun secara resmi agama Buddha baru masuk pada tahun 1966. Berawal dari kedatangan Kasbu, tokoh agama Buddha dari Dusun Senggrong, Desa Blingoh, serta Kalam dan Karni dari Desa Tunahan. Mereka bertiga mengadakan pertemuan dari rumah ke rumah penduduk untuk mengajari cara puja bakti dalam agama Buddha.
“Orang gunung itu kan susah menghafal parita, jadi dalam mengajari parita perlindungan, Romo Kasbu mengakali dengan kalimat ‘Gedang Selirang Pangani’ (untuk melafalkan Buddham Saranam Gacchami),” ujar Mbah Kasitar, salah satu murid almarhum Mbah kasbu.
Satu tahun kemudian tepatnya pada tahun 1967, umat Buddha Dukuh Guwo bergotong-royong mendirikan cetiya di lahan milik warga menggunakan kayu, dinding bambu dan atap daun rembulung (welit) dengan lantai tanah. “Waktu itu kalau umat Buddha mau melakukan puja bakti, ya membawa kloso (tikar) masing-masing untuk alas duduk,” jelas Mbah Kasitar.
Sampai tahun 1980, cetiya berpindah-pindah sampai empat kali dengan bangunan yang sama. Tahun 1982 secara bergotong royong umat Buddha mampu membeli sebidang tanah seharga Rp 80 ribu. Tanah ini kemudian menjadi lokasi vihara umat umat Buddha Dukuh Guwo sampai sekarang. Di tanah inilah kemudian umat mendirikan bangunan vihara secara permanen.
Dari Vihara Gendong ke Vihara Megah
Setelah membeli tanah, vihara darurat yang dibangun di tanah warga dibongkar. Sempat mengalami penundaan pembangunan hingga tahun 1985, umat Buddha bergotong-royong untuk mendirikan cetiya. Cetiya ini kemudian yang dikenal sebagai Vihara Gendong. Diberi nama Gendong karena bahan material digendong dan dipikul dari Desa Blingoh yang jaraknya lebih dari 3 km, dan saat itu belum ada jalan untuk sepeda motor maupun mobil yang bisa tembus ke Dukuh Guwo. Pembangunan Cetiya Gendong ini berlangsung sampai tahun 1990 dengan atap masih welit dan lantai sudah ditegel.
“Dalam pembangunan cetiya ini masyarakat sangat antusias, bahkan mereka mengangkut pasir, bata dan tegel (lantai) pada saat fajar (dini hari). Lebih antusias lagi tukang-tukangnya, setiap material datang, langsung diaduk dan dipasang,” jelas Asadi yang waktu itu sebagai tokoh pembangunan.
Vihara Gendong inilah yang kemudian diberi nama Vihara Giri Santi Loka. “Pada saat memberikan nama Giri Santi Loka, itu hanya muncul begitu saja. Saya tidak tahu maknanya, tapi ternyata nama itu sesuai dengan kondisi umat Buddha Dukuh Guwo yang berada di pegunungan,” ujar Asadi.
Tahun 2000, umat Buddha di Dukuh Guwo semakin bertambah, sihingga dilakukan pemugaran. Dalam waktu satu tahun, pembangunan vihara yang semula menghadap ke selatan diubah menjadi menghadap ke timur. Pada tanggal 26 Mei 2001 diadakan perayaan Waisak sekaligus syukuran yang dihadiri oleh bhikkhu Sangha dan donatur dari Jakarta.
Pada tahun 2003, vihara dan tanah dihibahkan ke Sangha, sekaligus diketahui bahwa di Kabupaten Jepara, Vihara Giri Santi Loka adalah vihara dengan jumlah umat terbanyak. Setelah tahun 2003, umat Vihara Giri Santi Loka terus melakukan pembangunan, dari pelebaran halaman vihara, pembangunan gedung serbaguna dan kuti, hingga pembangunan dapur.
Pada tahun 2014, kapasitas vihara tidak mencukupi untuk digunakan oleh umat Buddha di Dukuh Guwo sehingga atas saran bhikkhu Sangha harus dilakukan pelebaran teras vihara. Saat ini Vihara Giri Santi Loka dibangun di atas tanah seluas 1000 meter persegi dengan luas bangunan vihara 17 x 19 meter dan gedung serbaguna dan kuti 6 x 11 meter. Saat ini umat Buddha Vihara Giri Santi Loka berjumlah 254 kepala keluarga dengan 800 umat Buddha. Dalam acara-acara besar, seperti Sebulan Penghayatan Dhamma (SPD), Waisak dan lain-lain, umat Buddha Vihara Giri Santi Loka masih menggunakan kursi dan tikar sampai ke halaman vihara karena melebihi kapasitas.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara