Pada tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwa Vihara Giri Santi Loka, Dusun Guwo, Desa Blingoh, Kec. Donorojo diakui banyak kalangan sebagai vihara paling maju di Jepara, Jawa Tengah. Nah, apa saja parameternya? (Baca Vihara Giri Santi Loka (Bagian 1): Vihara Paling Maju di Jepara)
“Ada tiga keberhasilan yang telah diraih oleh umat Buddha Vihara Giri Santi Loka sampai saat ini, yaitu keberhasilan membina umat, keberhasilan dalam pembangunan sarana puja bakti (vihara), dan pembangunan pendidikan,” ujar Kasipan, tokoh umat Buddha Dusun Guwo.
Prestasi tersebut diraih melalui jalan yang berliku, bahkan umat Buddha di Dusun Guwo sempat mengalami perpecahan pada tahun 1971. Penyebabnya, saat itu tersebar isu bahwa perangkat desa tidak boleh beragama Buddha, sehingga kepala dusun saat itu pindah agama beserta 15% penduduk Dusun Guwo. Padahal setelah agama Buddha berkembang pada tahun 1965, semua warga Dusun Guwo memeluk agama Buddha.
Saat terjadi perpecahan, gesekan antar umat tidak bisa dihindarkan, sehingga tokoh agama Buddha saat itu Kasitar dan Asadi dibantu oleh tokoh-tokoh muda harus melakukan pembinaan lebih serius. Salah satu yang dilakukan adalah peningkatan pengetahuan lewat pendidikan dan pemahaman Buddha Dhamma.
“Untuk menambah pengetahuan saya, supaya saya dipandang orang pintar oleh umat tetangga, setiap ada kegiatan saya selalu dikirim untuk ikut, seperti kegiatan PPD, kursus bahkan pernah sekolah di Desa Mbambang, Pati selama seminggu,” jelas Suwoto, mantan ketua Vihara Giri Santi Loka.
Untuk mengantisipasi perpecahan tersebut, Asadi membentuk umat Buddha menjadi empat kelompok dengan ketua kelompok masing-masing. “Dari kelompok-kelompok itulah kemudian dibuat kegiatan-kegiatan pembinaan,” ujar Asadi.
Pendidikan kemudian menjadi fokus utama dalam pembinaan umat. Pada saat itu bahkan sangat jarang pemuda Buddhis yang lulus sekolah dasar, sehingga Asadi harus melakukan berbagai cara agar anak-anak muda bisa melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi. “Saya dulu bilang sama anak-anak muda, ‘Kalau kalian kalah dalam hal pendidikan, maka dalam organisasi pun kalian akan kalah’. Oleh sebab itu saya mendorong agar anak-anak tidak putus sekolah dan nikah muda,” ujar Asadi.
Tahun 1982, Asadi memulai dengan mengirim dua pemuda, Jasuri dan Kasipan, untuk ikut sekolah PGAB (pendidikan guru agama Buddha) di Salatiga, namun saat itu yang diterima hanya lulusan SMP, sementara mereka hanya lulusan SD. Setelah mencari-cari, akhirnya keduanya bisa masuk ke Sekolah Bopkri, Kelet, Jepara yang dikelola oleh yayasan Kristen.
Selain mencarikan sekolah, Asadi juga mencarikan tempat tinggal supaya tidak membayar kos karena untuk bayar sekolah saja masih keberatan. Asadi juga memasukkan anak-anak Buddhis Guwo untuk melanjutkan sekolah di SMPN 2 Keling (saat ini berubah menjadi SMPN 1 Donorojo), namun di sana belum ada guru agama Buddha sehingga Asadi harus mencarikan guru agama Buddha, dan Raswito dari Tunahan yang akhirnya menjadi guru Agama Buddha waktu itu.
Selain mencarikan sekolah, pimpinan umat Buddha Vihara Giri Santi Loka juga berusaha mencarikan beasiswa. Beasiswa pertama yang diperoleh umat Buddha Guwo adalah beasiswa dari Bhante Sudhammo yang tinggal di Vihara Ratanavana Arama, Lasem, Rembang.
Dari situlah awal kesadaran masyarakat Buddhis Guwo akan pentingnya pendidikan. Hingga saat ini rata-rata umat Buddha Guwo mengenyam pendidikan tinggi. Kalau dicatat secara keseluruhan lebih dari 30 umat Buddha yang telah lulus sarjana bahkan sudah ada yang magister.
“Pemuda-pemuda yang telah lulus sekolah ini mempunyai peran yang sangat penting dalam perkembangan agama Buddha Dusun Guwo. Meskipun mereka jauh di perantauan, tapi mereka masih sangat memperhatikan desanya dan menjadi inspirasi adik-adiknya, termasuk mencarikan beasiswa sekolah bagi yang tidak mampu,” ujar Gunawan, Ketua Vihara Giri Santi Loka. Mereka membentuk organisasi pemuda rantau yang mempunyai misi untuk mengembangkan agama Buddha di kampung halaman.
Selain pendidikan, prestasi lain umat Buddha Guwo adalah dalam hal pemahaman Buddha Dhamma. Pada awal perkembanganya, umat Buddha Dukuh Guwo adalah umat yang sangat tradisional. Mereka beragama Buddha, namun dalam praktiknya masih menjalankan tradisi-tradisi yang bisa dikatakan tidak sesuai dengan ajaran Buddha, misalnya praktik perdukunan, upacara-upacara adat yang menggunakan hewan sehingga harus menyembelih sendiri, dan kaulan (nazar) yang harus dilakukan di hari-hari tertentu.
Perlu waktu panjang untuk mengubah masyarakat tradisional yang mayoritas adalah petani. Upaya meluruskannya dilakukan melalui beragam kegiatan untuk menyampaikan ajaran Buddha, yaitu puja bakti umum setiap Rabu, upa-upidana yang diadakan per kelompok, puja bakti hari Minggu untuk ibu-ibu, sekolah minggu, sampai puja bakti malam Minggu dari rumah ke rumah untuk pemuda.
Pada masa awal, bahkan mereka tidak mengenal Waisak. Ketika itu, Asadi mendapati sangat sedikit umat yang datang ke vihara, padahal saat itu hari raya Waisak. “Saya sama teman-teman membuat kegiatan tabungan Waisak. Tabungan Waisak ini maksudnya masyarakat menabung uang yang dipegang oleh pengurus vihara. Satu minggu sebelum Waisak, tabungan ini dibagikan ke masyarakat untuk membiayai perayaan Waisak. Tapi sebernarnya tujuan utama supaya masyarakat tahu bahwa hari raya Waisak adalah hari besarnya umat Buddha dan mereka bisa berhenti berladang dan pergi ke vihara,” jelas Asadi.
Pada zaman dulu, di Dukuh Guwo juga banyak tradisi yang aneh-aneh. Kasitar mencontohkan, “Pada zaman dulu, masyarakat kalau anaknya sakit biasanya mereka kaul (nazar), ‘Kalau anak saya sudah sembuh akan saya ajak ke Pasar Gerit (di Ngablak, Pati)’. Jadi kami bilang kepada umat Buddha, kalau punya kaul, dilaksanakan di vihara saja.”
Hal ini terbukti efektif, bahkan sampai saat ini, masyarakat apabila anaknya ada yang sakit, mereka kaul kalau anaknya sembuh diajak puja bakti ke vihara dengan membawa sarana puja dan dana seikhlasnya. “Dari dana tersebut, vihara jadi mempunyai pemasukan,” tambah Kasitar.
“Pada saat itu kalau wiwit (upacara sebelum memanen padi) tidak nyembelih ayam, masyarakat kurang mantep. Jadi saya sebagai umat Buddha, mau tidak mau ya harus nyembelih. Saya tahu bahwa itu melanggar sila, tapi kan masyarakat masih sangat tradisional jadi belum bisa dijelaskan secara Dhamma,” kenang Asadi.
Untuk mengubah tradisi yang telah turun-temurun, Asadi dan Kasitar perlahan-lahan menjelaskan ajaran dan mengubah tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Buddha. “Setelah sekian lama proses penjelasan Dhamma, lama-lama masyarakat mau mengikuti. Kalau misalnya wiwit harus menggunakan ayam, ya kita suruh mereka beli ayam yang sudah mati dari pasar, dan sekarang mereka bisa menjalankan hal tersebut. Saat ini masyarakat setradisional apa pun sudah meninggalkan pembunuhan,” jelasnya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara