“Meditasi tidak ada hubungannya dengan agama,” kalimat Bhante Dhammakaro membubarkan lamunanku di tengah proses meditasi yang saya lakukan. Ditemani oleh beberapa ekor anjing dengan sikap yang menggemaskan, seolah berkata bahwa ia adalah sosok yang sangat dekat sekali dengan bhante. Kemanapun bhante pergi, ia selalu mengikuti dengan sigap seperti ajudan presiden yang siap menjaga dalam setiap kegiatan yang dilakukan.
Berbicara tentang anjing, saya juga pertama kali hidup dengan anjing. Pengalaman menjadi seorang muslim yang hidup di tengah lingkungan yang homogen, membuat saya memiliki ketakutan tersendiri. Saya seolah-olah dibuat berpikir bahwa, anjing ini memiliki agama. Sebab dalam ajaran Islam, ketika terkena ludah anjing, maka ada cara khusus untuk membersihkannya supaya menghilangkan najisnya. Pengetahuan tersebut juga membuat saya jauh dari anjing. Di rumah, dan lingkungan kehidupan, tidak pernah saya temui hewan bernama anjing. Hanya dalam beberapa waktu, saya sering bertemu dengan anjing namun tidak pernah hidup dengannya.
Berbeda halnya ketika tinggal di Dusun Krecek, setiap rumah dipastikan memelihara anjing. Mungkin sama seperti di tempat tinggal saya, di mana setiap rumah memiliki kucing. Barangkali perbedaannya hanya karena tidak biasa hidup dengan anjing, makanya agak kaget dan bahkan belum bisa beradaptasi dengan hewan tersebut. Saya berkenalan dengan sapi (nama anjing) yang sewaktu-waktu, kami (saya dengan tim yang semuanya muslim) menyebutnya sebagai sapi’i supaya terlihat islami. Maklum, kelompok sebelah selalu fobia apabila sesuatu tidak ada unsur islam-islamnya. Biasanya nama sapi’i juga identik dengan Islam.
Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan. Berkenaan dengan meditasi, ini pengalaman pertama saya melakukan meditasi sebab awalnya saya menganggap bahwa meditasi identik dengan ritual masyarakat buddhis. Kalimat Bhante mengubah pikiran saya yang pada waktu itu, kusegerakan memfokuskan diri untuk mengumpulkan pikiran-pikiran yang sedang ramai.
Saya menyebut meditasi sebagai ruang perjumpaan dengan diri sendiri. Sebab disinilah, saya benar-benar sibuk mengumpulkan pikiran yang sedang ramai. Tatkala memejamkan mata, suara di sekitar begitu ramai. Mulai dari suara anjing, burung, hingga suara pikiran saya sendiri yang sedang bergejolak dan berperang dengan pikiran yang lain.
Di tengah-tengah ruang meditasi yang saya lakukan di Gumuk Situnggul, sebuah tempat di dataran tinggi, yang biasa ditempati untuk pertapaan, bersama peserta Nyadran di Dusun Krecek, Desa Getas, Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung, saya sungguh merasa kesulitan untuk memfokuskan pikiran. Di waktu yang sama, suara bhante kembali menambah pengetahuan saya tentang meditasi.
“Sebaiknya meditasi dilakukan 2 kali dalam sehari, apalagi untuk pemula. Itu melatih kita untuk fokus, sehingga kita bisa melakukan sesuatu dengan cermat,” ucap bhante.
Suara tersebut mengingatkan saya pada sebuah tulisan Joni Pranata (2020) yang menjelaskan bahwa, meditasi memberikan kita arahan untuk meninggalkan ketidaktahuan. Ketika ketenangan mulai didapatkan, maka pikiran akan berkembang. Ketika pikiran berkembang, maka nafsu akan ditinggalkan. Ketika pandangan terang terkembang, maka kebijaksanaan terkembang. Ketika kebijaksanaan terkembang, maka ketidaktahuan akan ditinggalkan.
Di kesempatan yang lain, saya bersama tim juga melakukan meditasi di pagi hari bersama Ibu Shinta. Saya menyebutnya ibu karena terpaut dengan umur yang cukup jauh dan melihatnya sebagai sosok luar biasa karena sikap dan rasa hangatnya.
“Meditasi akan membantu kita untuk fokus dan apabila fokus kita akan melakukan sesuatu dengan sangat sempurna,” ucap Ibu Shinta ketika mengawali meditasi pagi itu.
Saya bertanya dengan penuh kebingungan kepada ibu Shinta,
“Bu, kenapa ketika melakukan meditasi, memejamkan mata justru semua pikiran kita muncul. Mulai dari ketakutan, kehidupan besok dan kekhawatiran di masa yang akan datang semakin nyata. Ditambah dengan suara-suara sekitar, seperti suara ibu, suara nafas hingga suara angin, menambah kekacauan pikiran,”
Ibu Shinta terdiam sejenak memikirkan pertanyaan saya.
“Itulah fungsi meditasi. Sebab kita akan fokus pada segala hal yang akan kita lakukan. Di tengah kekacauan, ketakutan bahkan kegalauan menghadapi hidup masa depan, besok dan segala hal yang belum terjadi, dengan meditasi kita berupaya untuk memfokuskan diri. Mengosongkan pikiran bukan berarti pikiran kita kosong. Sebab tidak ada pikiran yang kosong. Mengosongkan artinya membuang pikiran yang belum terjadi dan fokus terhadap apa yang dikerjakan saat ini.” Ucap Ibu Shinta.
Kalimat Ibu Shinta seolah isyarat bahwa, kita tidak bisa lari dari masalah-masalah hidup. Tangga kesadaran yang selalu kita daki, masalah hidup yang sebesar gunung, dan segala kejadian tidak terduga dalam hidup, mengharuskan kita untuk tetap tenang dan fokus dengan hal yang terjadi. Meditasi adalah ruang perjumpaan dengan diri sendiri untuk semakin meningkatkan kesadaran dan kekuatan besar hanya ada pada diri sendiri.
Penulis: Muallifah, aktif di Komunitas Puan Menulis.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara