• Saturday, 11 November 2023
  • Surahman Ana
  • 0

Oleh: Dhimas Saputra

Foto: Dhimas Saputra

Pada rentang waktu 2 hingga 7 November 2023 yang lalu, saya memiliki kesempatan emas untuk mengikuti perjalanan tim Dana Everyday ke pulau Kalimantan. Perjalanan ini diadakan untuk penyaluran dana kepada umat, menggambarkan semangat kebersamaan dalam membantu sesama. Persinggahan pertama kami mengantarkan kami ke Wihara Saddharatana, sebuah wihara sederhana yang terletak di tengah bukit sawit Desa Senakin, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak.

Ternyata, di desa ini mayoritas penduduk yang memeluk agama Buddha adalah Suku Dayak Ahe. Inilah kali pertama saya menyadari keberagaman ini, bahwa di kalangan suku Dayak pun terdapat yang memeluk agama Buddha. Menurut data, di Kalimantan Barat, jumlah umat Buddha bersuku Dayak mencapai kurang lebih 6000 jiwa. Perasaan serupa juga muncul ketika saya mengetahui bahwa banyak suku Jawa juga memeluk agama Buddha, pengalaman ini saya dapatkan saat mengunjungi Dusun Krecek dua tahun lalu.

Peran krusial dalam masuknya agama Buddha ke dalam suku Dayak tidak bisa dilepaskan dari Bapak Sudirman Ladan, seorang tokoh yang kini berusia 90 tahun dan menjadi penggagas Buddhism di Kabupaten Landak. Sejarah dimulai saat pemerintah mewajibkan pencantuman kolom agama di KTP pada tahun 1967 sebagai bagian dari upaya penanggulangan komunisme oleh pemerintah Orde Baru. Pada tahun 1980-an, pencantuman kolom agama semakin digencarkan. Bapak Sudirman Ladan bersama sejumlah masyarakat Dayak di Senakin saat itu tidak ingin dipaksa untuk mengikuti agama yang sudah berkembang di masyarakat setempat seperti Katolik, Kristen, atau Islam. Mereka lebih memilih agama Buddha karena terdapat banyak kemiripan ajaran Buddha dengan kepercayaan leluhur mereka, seperti larangan membunuh, menjaga alam, dan meditasi/bertapa untuk mencapai kekuatan batin, yang dalam ajaran Buddha disebut Samatha.

Kemiripan ajaran inilah yang membuat masyarakat memilih untuk memeluk agama Buddha. Namun, perjalanan perjuangan umat Buddha di sana tidaklah mudah. Meskipun mendapatkan dukungan dari pemerintah dan mazab Tantrayana pada tahun 1992 yang mempercepat pertumbuhan penganut Buddha setempat, bidang pendidikan masih menjadi kendala. Tidak adanya guru agama Buddha di sana membuat peserta didik terpaksa mengikuti ajaran agama lain. Hingga pada tahun 2021, hadir bantuan dari Sangha Theravada yang mengirim beberapa murid untuk mengikuti Pabbaja Samanera, sehingga kondisi pendidikan agama Buddha semakin terbina.

Perjalanan ini memberikan kesan mendalam bagi saya, melihat umat Buddha di sana bertahan dengan segala keterbatasan demi mempertahankan keyakinan mereka. Saya merasa kehabisan kata-kata dalam menyusun narasi ini. Pelajaran berharga yang dapat saya ambil dari pengalaman ini adalah bagaimana masyarakat di sana gigih mempertahankan keyakinan mereka dalam kondisi yang tidak selalu mudah.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *