• Thursday, 8 August 2024
  • Surahman Ana
  • 0

Penulis : Andreian (An)

Aroma bawang goreng yang mengudara membuat napsu makanku meningkat dengan cepat. Rasa lapar yang semula mendera kini mulai melilit perutku sebagai akibat dari godaan bau tersebut. Devi yang sedari tadi mengeluh lapar juga terlihat semakin gelisah menunggu pelayan menyodorkan menu makanan. Ya, kami memang belum makan, dan setelah menempuh perjalanan jauh wajar jika kelaparan datang melanda.

“Mau pesan apa Mbak?” Pelayan akhirnya datang dan menyodorkan daftar menu dengan tatapan ragu-ragu.

“Saya pesan nasi goreng telur, minumnya teh hangat.” Devi memesan dengan cepat.

“Baik,” pelayan itu tersenyum,“Mbak yang satunya pesan apa?”

Aku tidak segera menjawab. Perhatianku justru terpaku pada bagian atas daftar menu yang bertuliskan nama warung ini. Entah mengapa tulisan itu membuatku sendu, ingatan masa lalu timbul bersama delik kenangan kelam yang menguap menyentuh perasaan.

“Kanti? Kamu mau pesan apa?” Devi ikut bertanya karena tidak sabar menunggu.

“Eh iya Dev, samain aja denganmu.”

“Bener?”

“Iya.”

Pelayan itu terlihat berpikir, “Jadi sama ya Mbak pesanannya?” tanyanya memastikan.

“Yap!” jawabku sembari mengembalikan daftar menu.

Devi melihatku dengan wajah cemas. “Kanti, kamu baik-baik saja kan?”

“Baik Dev hanya saja aku lapar dan sedikit letih,” kilahku.

“Baguslah kalo begitu.”

Detik berikutnya tidak ada lagi obrolan antara aku dan Devi. Keadaan warung juga semakin ramai. Hampir semua meja makan bulat berwarna biru tua yang dilengkapi dengan sepasang tempat duduk telah ditempati. Di antara hiruk-pikuk itu aku justru kembali hening, nama warung ini nyatanya telah membawaku kembali pada peristiwa lalu.

Saat itu musim kemarau, matahari begitu serakah hingga ketika sore tiba cahayanya masih terasa panas. Aku sedang berteduh di bawah bayangan pohon pisang dengan tubuh yang lusuh dan berpeluh. Tidak jauh dari sana, bapak tengah berbicara degan pak Tarim sembari duduk di gubuk bambu. Pak Tarim memang sering menghabiskan waktu di sana. Selain untuk melihat hamparan sawah miliknya, ia juga membagikan upah pada para pekerjanya di situ.

“Ayo pulang Nak.” Bapak berjalan menghampiriku, sekilas tampak kekecewaan tergambar pada wajahnya yang letih meski senyum khasnya segera terukir.

“Iya, Pak.” Aku bangkit dan mengikuti bapak menyusuri pematang sawah.

“Nak, kau mau talas bakar?” suara bapak kali ini terdengar ceria.

Aku tidak segera menjawab. Makan talas bakar kurasa bukan hal yang buruk, tetapi itu berarti tidak ada nasi hari ini. Rasanya aku ingin menangis, setelah seharian berkutat dengan terik untuk mencabut rumput liar, bapak lagi-lagi terpaksa tidak membeli beras dan lauk.

“Nak, upah kita hari ini untuk membayar hutang.” Suara bapak merendah, getarannya benar-benar membuatku merasa iba.

“Baik, Pak.” Aku menjawab sembari menahan tetesan air mata. “Kanti!”

“Eh iya Dev, i-iya!” suara Devi membuatku tersadar dari alam kenang.

“Melamun terus, ada apa sih?”

Aku menatap Devi. “Tidak apa Dev.”

“Iya deh, eh kok pesanan kita belum dateng ya?”

“Sabar dulu Dev, tempat ini ramai kok.”

“Laper.” Devi terlihat manyun karena kecewa.

Aku tidak merespon, justru kenangan mulai muncul kembali dalam ingatanku. Namun ketika bayangan itu mulai terangkai, perhatianku tertuju pada orang yang tengah bertikai.

“Mbak saya pesan jus jeruk, tapi ini kok es teh?” Wanita paruh baya itu menunjuk gelasnya.

“Oh iya, maaf Bu. Kami ganti ya Bu?”

“Jelas,” wanita itu cemberut, “lakukan dengan cepat!”

“Maaf Bu.” Pelayan itu berlari ke dapur membawa gelas itu kembali. Sayup terdengar, ia dimarahi oleh juru masak di dalam.

“Kanti, kok warung ini meragukan ya?” Devi terlihat semakin gelisah. “Pergi saja yok!”

“Sabar sebentar, siapa tahu pesanan kita hampir jadi.” Lagi-lagi sahabat sekaligus rekan kerjaku itu manyun, tetapi kali ini segera tenang ketika ponselnya berbunyi. Aku sendiri memilih diam, menunggu makanan matang membuatku teringat pada talas bakar itu.

“Kau boleh bermain dulu, nanti kalo sudah matang Bapak panggil.” Saat itu bapak sedang berusaha menyalakan api di tungku.

“Baik, Pak,” aku bergegas keluar, sore hari adalah waktu yang tepat untuk main ke halaman rumah pak Nirmo. Biasanya banyak anak-anak yang bermain di sana karena areanya luas dilengkapi pohon buah yang cukup banyak.

“Tari, Dira, lagi main apa?” Dua orang tetanggaku itu sedang sibuk menata dedaunan.

“Ini mau pasaran, kamu mau ikut?” kata Dira.

“Mau!” Aku menjawab antusias.

“Kalo gitu kamu cari daun dulu ya,” Tari menunjukan daun ditangannya, “yang ini kan ceritanya akan kami buat jadi es buah. Nah kamu cari daun lagi untuk dijadikan uang, nanti kamu yang beli di warung kami.”

“Baik.” Aku bergegas menuju pohon jambu terdekat dan mulai memetik daunnya. Senang rasanya bisa bermain setelah seharian membantu bapak di sawah. Meski letih, kebahagian membuat pekerjaanku segera selesai. Aku telah memetik sekitar lima belas lembar daun jambu, jumlah yang cukup memadai. Aku pun segera kembali ke tempat Tari dan Dira.

“Hmmm enak, dingin, seger, siapa mau?”

“Aku mau! Aku mau! Berapa harganya?”

“Lima ratus perak.”

Bukan! Itu bukan obrolan dalam permainan, bahkan permainan belum dimulai. Bayu, Jamal, dan Ali sudah tiba ketika aku baru datang ke tempat Tari dan Dira. Kulihat mereka tengah asik menjilati es potong warna-warni sambil terus berceloteh. “Kalian benar-benar mau?” Suara Bayu terdengar menyebalkan. “Sana beli aja sendiri, tuh di warung Mak Piah.”

Kedua gadis itu tidak membuang waktu, mereka segera pergi untuk membeli es seolah-olah lupa akan permainan dan keberadaanku. Sekarang tinggal aku, lembaran daun jambu, dan tiga orang bocah lelaki dengan es potong di tangannya. Hatiku terasa terlangkahi.

“Kanti enggak mau coba?” Bayu menatapku serius. “Ini sangat lezat loh, di senja yang masih terik ini cahaya mayahari terasa sangat panas, kan? Tenggorokan siapa yang tidak kering meski hanya sedang bermain pasaran?” Wajahnya kini terlihat licik. “Kau tidak mau coba es ini Kan?” lidahnya menjulur menjilat es warna biru itu dengan perlahan.

“Tidak,” jawabku pendek.

Jamal terlihat tersenyum, ia berjalan mendekat. “Kau bisa lihat? Es melonku ini terlihat segar, kabut tipis yang keluar seperti menunjukan betapa dingin es ini ketika digigit, bahkan kau bisa merasakan dinginnya ketika mulai melewati kerongkongan. Teksturnya juga lembut, sedikit saja terkena lidah akan segera lumer dalam mulut. Sensasinya loh Kan, hmmm nikmat!”

Kini giliran Ali yang maju, ia menjilat esnya lalu mengrenyit menunjukan betapa dingin es itu. Sekarang matanya sedikit terpejam seakan-akan sedang merasakan kenikmatan yang tak tertangguhkan. “Ah nikmatnya Kan, es ini terbuat dari susu yang dibekukan. Tambahan perasa membuatnya menjadi lebih manis dan nikmat seperti buah-buahan. Sungguh nikmat memakannya di saat kemarau seperti ini.”

Mereka terus menjilati es masing-masing dengan gerak lambat seolah ingin menunjukan segala detail rasanya, ekspresi wajah yang dibuat-buat memperkuat kesan dari apa yang mereka bicarakan tadi. Aku masih saja diam mengamati, ada sebuah dilema.

“Pengen ya Kan?” Bayu kembali membuka suara, “Sana beli.”

“Tidak pengen, aku-”

“Kau bisa bilang tidak,” Jamal menyela, “tapi kau sudah menelan ludah beberapa kali.”

“Cie Kanti kepengen,” Bayu berolok-olok, “sudah sana beli, kalo tidak punya uang beli saja pakai uang daun jambu itu hahaha.”

Aku menatap mereka entah seperti apa, yang jelas satu detik kemudian aku telah berlari dari kerumunan itu, air mataku berjatuhan, dan daun jambuku terbang berhamburan. “Bapak ….”

———–

“Kenapa menangis?” tanya bapak ketika melihatku memasuki ambang pintu. Aku tidak menjawab, tetapi segera memeluknya dan menumpahkan air mata. Berat dadaku menahan isak tangis. Bapak pun diam dan mendekapku. Aliran perasaan bapak terasa sangat kuat menciptakan ketenangan dan keamanan. Perlahan, emosiku mulai dapat terkendali.

“Sudah tenang?” kata bapak.

Aku hanya menganguk.

“Pada suatu hari hiduplah seekor kerbau yang sangat besar.” Bapak tiba-tiba mulai bercerita.

“Kerbau itu memiliki tanduk yang sangat panjang dan kuat sebagaimana tubuhnya yang kekar dan kokoh. Namun meski kuat, dia terkenal sangat sabar.” Bapak berhenti sejenak mengatur perapian demi memastikan talas matang dengan sempurna.

“Pernah pada suatu siang, ketika kerbau sedang beristirahat di bawah pohon ada seekor kera yang melompat secara tiba-tiba di atas kepala kerbau itu.” Bapak melanjutkan, “Kanti tahu apa yang kerbau itu lakukan?”

“Tidak, Pak.” suaraku sesungukan.

“Dia hanya diam tidak menanggapi. Bukankah itu hebat?”

“Hebat gimana, Pak?” Aku mulai antusias.

“Memang apa yang Kanti lakukan ketika dijahili teman?”

“Marah terus nangis, Pak.”

“Temanmu yang menjahili pasti tertawa bahagia jika Kanti nangis?”

“Iya, Pak.”

“Nah kalo diam seperti si kerbau, yang jengkel justru kera yang menjahilinya.”

“Masa sih, Pak?”

“Iya, karena tiap dijahili kerbau hanya diam saja, kera pun merasa jengkel. Namun kera tidak menyerah. Ia masih terus berbuat kejailan demi kejahilan pada si kerbau agar dia marah, mulai dari menutupi mata saat kerbau berjalan, mengganggu saat makan, hingga duduk di atas punggung kerbau sepanjang hari.”

“Lalu apa yang terjadi selanjutnya, Pak?”

“Sebentar, Bapak lihat talas kita dahulu, siapa tahu sudah matang.” Bapak menggunakan garpu untuk menusuk talas yang ditimbun abu panas, “Sebentar lagi,” ujarnya.

“Berikutnya kera yang jahil justru mendapatkan akibatnya. Di suatu siang, kerbau yang sabar sedang pergi ke sungai. Tanpa kera ketahui, ada seekor kerbau jantan lain yang berteduh di bawah pohon. Karena kera mengira kerbau itu adalah yang biasa diganggu, ia melompat dari atas pohon dan bergelayutan pada tanduk kerbau itu. Merasa kaget, kerbau berdiri dan melemparkan kera itu ke tanah.” Bapak berhenti dengan ekspresi sedih.

“Lalu kenapa, Pak?” Aku sangat penasaran.

“Kerbau yang marah menanduk kera hingga ia mati.”

Dadaku sesak mendengar akhir kisah itu, “Ngeri ya, Pak?”

“Iya, kau harus seperti kerbau yang selalu sabar,” suara bapak parau, “kau juga tidak boleh nakal seperti kera.”

“Baik, Pak.” Aku menjawab dengan perasaan haru.

“Bagus, sekarang mari kita makan talas bakar.” Bapak mengeluarkan talas dari dalam timbunan abu.

“Aku juga mau, Pakde.” suara itu tidak asing, Nanang. Pemuda itu selalu masuk rumah kami tanpa permisi.

Bapak menatapku seperti meminta izin. “Boleh Nang, ayo makan bersama.” kataku dengan senang.

Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana senyum bapak kala mendengar keputusanku membagi talas dengan Nanang. Kurasa saat itu bapak merasa sangat senang. “Ah kuharap bapak memang merasa senang karenanya.”

“Mbak maaf pesanan Anda sedikit terlambat.” kata pelayan dengan suara bergetar. “Kami butuh beberapa menit lagi karena ada langganan yang pesan nasi goreng telur untuk anaknya, sementara mereka harus segera pulang.”

“Loh jadi pesanan kami untuk mereka terlehih dahulu? Tidak bisa begitu dong.” Devi terlihat kecewa.“Kami sudah pesan dari tadi kok.”

Aku mencoba tetap tenang, dari depan seorang ibu menghampiri meja kami sembari menggendong anak perempuannya. Gadis kecil itu terlihat sedang menangis tanpa suara, sedang Ibunya terlihat panik dan khawatir.

“Mbak, maaf mengganggu kenyamanan kalian, tapi anak saya rewel pengen nasi goreng sementara saya harus segera pulang,” kata Ibu itu pada kami.

“Baik, biarkan pesanan kami untuk mereka dulu mbak.” Aku berbicara pada pelayan. “Tapi segera masak buat teman saya ini atau dia akan jadi monster kelaparan.” Aku tersenyum menatap pelayan, gadis kecil, dan ibu itu secara bergantian.

“Loh, Kan?” Devi menatapku kecewa.

“Sabar, aku juga lapar. Coba lihatlah gadis kecil itu, dia sampai ketakutan mendengar kau bicara.” Aku mencoba meyakinkan Devi. “Beberapa menit lagi kita bisa makan dan melanjutkan perjalanan.

Devi menghela napas panjang. “Iya deh.”

“Terima kasih, Mbak.” Ibu itu tersenyum senang, sementara pelayan bergegas ke dapur setelah mengucapkan terima kasih.

Devi kembali bermain HP, sedangkan aku melihat ke sekeliling. Aku baru sadar, pada dinding dekat tempat dudukku ada sebuah foto yang mengambarkan bagian depan warung ini. Di bagian bawahnya ada sebuah tulisan tangan yang rapi dan cantik. Kurasa dari situlah nama warung ini diambil.

“Mbak silakan menikmati hidangan kami. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya tadi.” Pelayan itu menghidangkan dua porsi nasi goreng beserta teh. Kali ini wajah Devi terlihat berbinar.

“Loh, kok ada dagingnya, Mbak?”

Pelayan itu tersenyum memandangku. “Bonus Mbak sebagai ganti karena telah membuat kalian lama menunggu.

“Tapi teman saya tidak makan daging Mbak!” Devi lagi-lagi berbicara dengan nada tinggi hingga membuat pelayan itu ketakutan.

Aku sendiri hanya tersenyum karena mengingat cerita bapak, peristiwa yang sedang kualami, dan nama dari warung ini, “Mungkinkah ini kebetulan?” pikirku.

Ya, nama warung ini adalah, “Warung Sabar Nerimo” atau dalam bahasa Indonesia Warung Sabar Menerima. “Tidak apa Mbak, lain kali lebih profesional ya. Sekarang tolong buatkan ganti.” Aku tersenyum pada pelayan muda itu ….

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *