• Sunday, 29 July 2018
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Negeri Gingseng saat ini menjadi primadona banyak orang. Berkat kepopuleran K-drama dan KPOP, banyak orang yang sebelumnya tidak begitu mengenal negara kecil di semenanjung Korea ini menjadi tertarik untuk belajar adat dan budaya Korea.

Patut diakui bahwa orang Korea pintar dalam mengemas dan menjual produk budaya mereka. Salah satunya adalah temple food atau makanan kuil yang semakin populer belakangan ini di Korea. Banyak turis yang datang ke Korea untuk mencicipi temple food ini.

Temple food di Korea sendiri telah ada kurang lebih 1000 tahun lamanya. Agama Buddha yang berkembang di Korea didominasi oleh aliran Mahayana yang menganjurkan para biksu dan biksuni untuk bervegetarian. Oleh karena itu, temple food identik dengan masakan vegetarian yang dimasak dan dimakan oleh para biksu dan biksuni.

Di Korea, temple food dimanfaatkan sebagai salah satu cara untuk menunjukkan kekayaan budaya Buddhis di Korea. Temple food tidak saja hanya berkaitan dengan ‘rasa’ kuliner Buddhis dan sajian makanan di Korea, tetapi lebih penting dari itu: sebagai cara untuk menghargai kehidupan.

Penekanan yang diberikan adalah menghargai kehidupan, makan secukupnya, dan budaya berbagi pada sesama. Dan makanan adalah cara yang tepat untuk melakukannya. Dengan makanan yang tepat, dapat menjembatani pikiran, batin dan jasmani manusia, sehingga dapat menjadi orang yang lebih sehat dan kuat.

Sebagaimana Biksu Jeokmun sampaikan, “Dari sudut pandang para biksu, keseluruhan proses mulai dari memasak hingga memakan adalah bagian dari latihan. Itu adalah hal terpenting. Sedangkan bagi masyarakat pada umumnya, temple food adalah makanan sehat yang membersihkan badan dan pikiran. Bagi para biksu, ini adalah latihan. Bagi umat awam, ini adalah makanan sehat. Temple food memenuhi kedua aspek ini.”

Yu Ji-won, Direktur Jeonju Nature Food Cultural Center mengatakan, “Pertimbangan orang-orang modern terhadap makanan adalah selagi manusia dapat menjadi sehat, maka alam seperti hewan dan tumbuhan boleh dikorbankan. Tetapi tidak ada yang dapat bertahan dengan sendirinya.

“Segalanya saling bergantungan. Kita hanya dapat bertahan dalam keadaan saling bergantungan satu sama lain. Inilah ajaran Buddha dan ini pula solusi mendasar atas masalah ini. Temple food dilandasi oleh semangat ini. Menemukan makanan dengan cara dimana semua kehidupan dapat hidup secara harmonis dan bersama. Semangat ini adalah budaya kuliner baru yang menyebar di seluruh dunia.”

Mereka yang pernah merasakan temple food menghargai filosofi, budaya dan kerja keras para biksu/biksuni. Seorang biksu barat, Biksu Daeseong, merasakan perubahan dalam pribadinya dengan menyantap temple food. Sebelumnya dia memiliki banyak masalah kesehatan seperti tekanan darah tinggi, obesitas, diabetes, dll.

Setelah rutin menyantap temple food, dia menyetujui bahwa dalam filosofi budaya makanan, keseimbangan makanan menjadi sangat penting bagi kesehatan. Jawaban dari itu adalah banchan, set menu makanan vegetarian dalam porsi-porsi kecil.

Kim Ja-won, seorang ibu rumah tangga, mengatakan bahwa temple food adalah simbol makanan sehat. Itulah mengapa banyak orang menyukainya. Meskipun populer di Korea, temple food di negara-negara luar Korea masih menemui tantangan.

Biksuni Guyeon di Amerika mengamini hal ini. Beliau mengatakan bahwa untuk temple food yang dibuatnya di Amerika, maka harus disesuaikan dengan lidah orang-orang yang telah lama tinggal di Amerika. Di sana orang-orang tidak lagi suka dengan makanan pedas atau asin, sehingga mereka menggunakan lebih sedikit bumbu. Selain itu banyak bahan Korea yang tidak tersedia sehingga mereka memanfaatkan bahan lokal sebisanya.

Jeong Mi-ran, ibu rumah tangga lain berujar, “Temple food sangat berwarna. Itulah hal pertama yang disadari oleh orang asing dan mereka terkesan karena hal itu. Juga karena rasanya sendiri yang berbeda dengan makanan lainnya.”

Biksuni Wonsang menjelaskan bahwa temple food memiliki sejarah yang panjang, sama seperti sejarah agama Buddha di Korea. Temple food telah diturunkan dari zaman Goryeo dan Joseon, bersamaan dengan kuliner Istana di Korea. Tetapi pada Dinasti Joseon, temple food menjadi makanan bagi masyarakat awam karena adanya represi terhadap agama Buddha. Jadi, dapat dikatakan pula bahwa temple food adalah kombinasi makanan masyarakat awam dan masakan Istana.

Secara ringkas, temple food merupakan salah satu dari sekian banyak pengaruh Buddhis terhadap budaya di Korea. Meskipun memiliki rasa yang sederhana, temple food adalah sebuah tradisi makanan yang sehat berdasarkan diet vegetarian. Selamat mencoba!

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *