• Saturday, 8 July 2017
  • Andre Sam
  • 0

Jika Sampeyan mengikuti perkembangan terakhir di pemberitaan media massa. Ungkapan kata ndeso bisa dikasus-hukumkan karena mengandung penistaan agama. Wah wah wah… Padahal dengan menulis judul di atas, kulo juga bisa dipolisikan oleh orang yang beragama Buddha. Ah mongsok iya to… Gara-gara kata ndeso, ah ndeso… ndeso…, ampun

Agus Aris Munandar merupakan seorang Guru Besar bidang arkeologi dari Universitas Indonesia. Dia melakukan kajian reka ulang para peziarah Borobudur masa lampau. Lewat pemaknaan jarak dengan melihat panil-panil relief di setiap lorong, Munandar mencoba menyaksikan kembali relief yang dipahatkan di pagar langkan dan dinding teras.

Menurutnya lebar lorong pradaksinapatha–lorong di mana peziarah harus memutarinya searah jarum jam–merupakan jarak yang disediakan oleh perancang candi ini sebagai batas terjauh untuk menyaksikan panil relief dengan nyaman dan memuaskan.“Rupanya nenek moyang kita sudah memikirkan bagaimana cara yang baik membaca relief,” ungkapnya.


Peziarah berdiri di lorong pradaksinapatha.Untuk memandang dan memaknai relief secara baik di dinding teras, dia harus merapat di pagar langkan. (Seni: Lambok E. Hutabarat/NGI)

Dalam agama Buddha, konsep cara memandang yang benar dihubungkan dengan salah satu ajaran Astavidha (delapan jalan mulia). Para peziarah yang memandang relief dengan benar berarti mereka bisa membaca rangkaian kisah dengan baik. Artinya, cara memandang yang baik merupakan bagian Dharma Buddha. “Jadi jarak yang tepat adalah simbol dari dharma yang benar,” ujarnya.

Saya turut mengitari candi dan mencoba memandangi relief dinding teras itu dengan cara seperti yang dilakukan Munandar. Dengan berdiri merapat ke pagar langkan saya bisa mengamati satu bingkai panil relief Lalitavistara dan Avadana yang berada di dinding teras candi dengan utuh dan pandangan yang nyaman–tidak menyesakkan dan tidak melelahkan mata. Namun, betapa saya terkejut ketika mendongak ke atas, seraut arca wajah Buddha seolah menatap saya.

Munandar tersenyum. Dia berkata bahwa cara memandang Buddha dengan mendongak mempunyai makna memandang arupadhatu atau tingkatan semesta paling tinggi yang tak berwujud. Dalam membuat setiap tegakan, perancang candi ini selalu memikirkan bahwa yang paling atas adalah yang sempurna. Sambil mendongak dia berkata, “Kita memang harus memandang Buddha ke atas karena arca itu tidak pernah satu level dengan kita.”

LEBIH DARI SERIBU TAHUN SILAM, rekahan bentang alam Gunung Merapi dan Merbabu masih terlihat sangat jelas. Kedua gunung di arah matahari terbit itu menjadi saksi peziarah kuno Borobudur ketika mengawali lawatannya ke pusat pembelajaran agama Buddha itu. Para peziarah berbusana warna kunyit meniti anak tangga dari pintu timur. Kemudian dengan dibimbing pendita yang membawa gulungan-gulungan perkamen, mereka memasuki dan mengelilingi lorong secara pradaksina–searah jarum jam.

Ibarat pembelajaran dengan metode audio-visual, pendita menjelaskan kisah di setiap adegan relief sementara para peziarah mendengarkan sekaligus mengamati relief dari dinding teras atau pagar langkan. Relief Borobudur selain digunakan untuk menghiasi bangunan suci itu, juga menjadi media pengajaran agama, dokumenatsi cerita, dan mempermudah akses pembelajaran oleh siapa pun.

“Bahwa membaca dan merunut relief itu adalah proses yoga,” ungkap Munandar. Dalam keheningan dan keadaan beryoga peziarah memasuki empat tingkatan lorong sambil mengelilingi Borobudur.

Di lorong pertama mereka berkeliling empat kali. Kemudian berkeliling dua kali di masing-masing lorong kedua, ketiga, dan keempat. Jumlah keliling di setiap lorongnya mewakili jumlah kitab yang telah dipahatkan dan harus dipahami dalam serial panil relief di lorong tersebut.


Cara peziarah kuno menikmati Borobudur: Dalam kondisi beryoga, peziarah yang bersungguh-sungguh akan membaca secara saksama rangkaian cerita pada panil relief di dinding pagar langkan dan dinding teras. Mereka akan berkeliling sebanyak sepuluh kali untuk mencapai Bodhisattwa atau tingkatan pencerahan. (Seni: Lambok E. Hutabarat/NGI)


Kisah-kisah yang menghiasi mahakarya Borobudur.

Perjalanan mengelilingi sepuluh kali sambil membaca relief Borobudur  senantiasa dilakukan oleh para peziarah kuno. Mereka bersungguh-sungguh bersiap memasuki tahap kehidupan Bodhisattva: Terlepas secara mutlak dari segala ikatan duniawi dan dapat bebas secara mutlak dari kelahiran kembali. “Saya cukup takjub, itu sesuai dengan konsep dasabodhisattva-bhummi, bahwa ada sepuluh lapisan yang harus dilalui orang untuk mencapai pencerahan,” ungkap Munandar menegaskan.


Suatu adegan Jataka di pagar langkan ini dapat dilihat nyaman secara sambung- menyambung jika peziarah berdiri merapat di dinding teras:Kapal tenggelam diserang monster. Awak kapal selamat karena menaiki penyu jelmaan Bodhisattwa. Mereka kehabisan bekal, namun penyu itu menyediakan dirinya untuk disantap. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Dalam reka ulang Munandar, akses ke dalam lorong-lorong Borobudur pun disesuaikan dengan tingkatan pendeta Buddha. Lorong yang lebih tinggi menandakan tingkatan lebih tinggi pula menuju pencerahan.

Lalu, bagaimana dengan pusat pengajaran Buddha lainnya? Tampaknya ada kesejajaran makna antara Candi Borobudur di Jawa kuno dan Stupa Sāñci di India kuno. Artinya, perjalanan mengelilingi Candi Borobudur sama dengan perjalanan mengelilingi Stupa Sāñci. Perjalanan keduanya dianggap sebagai simbol penghayatan kehidupan Siddhārta Gautama sejak dia dilahirkan hingga wafat dan memasuki nirwana.

“Simpulannya cukup mengejutkan!” kata Munandar, “Apa yang tadinya diperkirakan para arkeolog bahwa membaca relief Borobudur itu mudah ternyata harus berkali-kali berkeliling searah jarum jam dengan cara merapat ke salah satu dindingnya.” (Mahandis Yoanata Thamrin/Nationalgeographic.co.id)

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *