• Sunday, 24 December 2017
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Well, I love holiday! Dan seperti biasanya, akhir tahun selalu menjadi saksi salah satu hari keagamaan yang paling banyak dirayakan di penjuru dunia: Natal.

Hari Natal dirayakan oleh seluruh umat Kristen dengan penuh suka cita. Pohon Natal, kotak hadiah, dan Santa Klaus menjadi ikon dari perayaan ini. Kita bahkan bisa melihat banyak kota-kota besar mempercantik dirinya dengan dekorasi bertemakan Natal.

Apalagi di negara-negara mayoritas Kristen, nuansa Natal telah dirasakan jauh sebelum awal Desember dilalui. Menjelang Natal, kita mungkin sering menerima ucapan selamat Natal – meskipun kita bukan umat Kristen. Lantas bagaimana kita selaku umat Buddha merespon hal ini? Bolehkah umat Buddha ikut merayakan atau mengucapkan selamat natal?

‘Selamat Natal’ – Kenapa Tidak?

Seiring dengan semakin dekatnya perayaan Natal, kita sering menerima ucapan selamat Natal dari teman-teman atau kerabat jauh, yang mungkin tidak (belum) mengetahui bahwa kita sebenarnya umat Buddha.

Terkadang hal ini bisa menyebabkan kecanggungan bagi kita karena toh kita tidak merayakan Natal. Kita mungkin akan merespon ucapan selamat tersebut dengan tidak tepat. Atau kita akan berusaha menjelaskan kepada teman/kerabat kita bahwa kita tidak merayakan Natal.

 
Bisa saja respon kita diikuti dengan kerutan dahi di kening mereka. Menurut saya pribadi, tidak ada salahnya memberikan atau menerima ucapan selamat Natal. Toh semua hari adalah hari yang baik apabila kita menjalaninya dengan happy-happy saja.

Menerima ucapan selamat Natal adalah hal yang baik, demikian pula memberikan ucapan tersebut kepada teman dan kerabat kita yang merayakan Natal, itu pun adalah hal yang baik karena dapat menjaga tali persaudaraan. Bahkan yang terpenting dari semua itu adalah spirit Natal itu sendiri: kebersamaan dan kekeluargaan. Tidak ada yang salah dari hal itu.

Memahami Natal secara Buddhis

Sebagai seorang buddhis, kita perlu memahami makna perayaan natal dari kacamata buddhis. Natal, sebagaimana yang telah kita pelajari, dianggap sebagai hari lahirnya Yesus Kristus.

Yesus adalah panutan yang mengedepankan sikap welas asih dan pengorbanan. Beliau hadir untuk membawakan kabar gembira bagi umatnya dan dengan rela mengorbankan dirinya sendiri demi menyelamatkan mereka. Bukankah ini adalah ciri-ciri Bodhisattva dalam agama Buddha?

Menurut tradisi Mahayana, Bodhisattva adalah mereka yang mampu mencapai Nirvana tetapi memilih menundanya dan pergi untuk menyelamatkan semua makhluk. Dimotivasi oleh cinta kasih, para Bodhisattva ini berjuang dan bahkan mengorbankan dirinya untuk mengakhiri penderitaan makhluk lain.

Sutra Ugrapariprccha menggambarkannya sebagai sebuah jalan monastik yang sulit dan hanya dapat dilakukan oleh sedikit orang.

Salah satu Bodhisattva yaitu Ksitigarbha terkenal akan sumpah sucinya:

“Jika aku tidak pergi ke neraka untuk menyelamatkan makhluk-makhluk menderita di sana, siapa lagi yang akan pergi?

Jika neraka-neraka belum kosong maka aku tidak akan menjadi seorang Buddha. Hanya ketika semua makhluk hidup terselamatkan, baru aku akan mencapai Bodhi.”

Di sini penulis tidak bermaksud menyamakan Yesus Kristus dengan Bodhisattva. Tentu saja terdapat perbedaan antara keduanya. Tetapi yang penulis berusaha sampaikan bahwa terdapat kualitas yang sama antara Yesus dan para Bodhisattva – sikap welas asih dan pengorbanan.

Dengan demikian, seperti halnya kita bergembira atas kehadiran para Bodhisattva, kita boleh saja bergembira dengan kehadiran Yesus Kristus yang juga merupakan sebuah berkah bagi dunia. Menghargai hari ketika seseorang dengan (salah satu) kualitas Bodhisattva dilahirkan pun menjadi sah-sah saja.

Merasa tidak nyaman? Jangan dipaksakan!

Tetapi tidak dapat dipungkiri kalau terkadang ada beberapa orang yang merasa risih dan tidak nyaman dengan menerima/memberikan ataupun ikut merayakan hari Natal.

Alasannya bermacam-macam. Apabila kita merasa tidak nyaman, tentu tidak perlu dipaksakan. Cukup saling menghargai teman atau kerabat kita yang merayakannya. Apabila kita merasa tidak nyaman menerima ucapan selamat Natal, silakan kita respon dengan baik dan santun.

 
Sampaikan pada teman atau kerabat kita itu bahwa kita berterima kasih tetapi tidak merayakan Natal. Sebaliknya, kita bisa saja membalas dengan mengucapkan selamat Natal kepada teman atau kerabat kita yang merayakan. Tetapi di sini pun kita harus waspada.

Memberikan ucapan selamat Natal kepada orang yang tidak tepat perlu dihindari. Pastikan bahwa kita mengetahui bahwa teman atau kerabat kita memang merayakannya.

Terakhir, pilihan untuk ikut merayakan Natal atau tidak tentu bergantung pada pilihan pribadi masing-masing. Yang paling penting adalah kita menghargai perayaan tersebut dan bergembira melihat teman atau kerabat kita yang sedang berbahagia merayakannya.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *