• Friday, 19 July 2019
  • Gusti Ayu
  • 0

“Sebagaimana ia mengajari orang lain,
Demikianlah hendaknya ia berbuat.
Setelah ia dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik,
Hendaklah ia melatih orang lain.
Sesungguhnya amat sukar untuk mengendalikan diri sendiri”

Dhammapada 159

Jumat hingga Minggu, (12-14/7), Wihara Mendut sempat ramai oleh hilir mudik upasaka-upasika yang menghadiri Indonesia Tipitaka Chanting dan Asadha 2019 yang berpusat di Candi Agung Borobudur.

Di sela-sela itu, pada Sabtu petang, (13/7), suasana mendung menggelayut di atas langit Wihara Mendut. Udara cukup dingin dan syahdu seolah obat penawar lelah karena siang harinya suhu udara cukup panas di bawah terik matahari yang menyengat.

Tepat pada pukul 16:30 WIB, tampak sejumlah upasaka-upasika berbusana atasan warna kuning khas jubah bhikkhu, dipadu celana panjang warna putih memasuki Dhammasala Wihara Mendut. Mereka adalah para pandita dan pegiat Magabudhi yang menghadiri Upacara Pelantikan Pandita Muda baru.

Upacara dipimpin oleh Pandita Muda Wirya Purwasamudera Wiharja. Ada tujuh orang pandita muda baru yang sore itu dilantik oleh Ketua Umum PP Magabudhi, Pandita Dharmanandi Chandra. Diawali pembacaan S.K. Pengangkatan. Sebelumnya, para calon pandita muda menghaturkan amisa puja di altar Dhammasala, dilanjutkan penyerahan amisa dana kepada Bhikkhu Santacitto yang hadir mewakili Sangha Theravada Indonesia untuk menyampaikan pemberkahan.

Setelah Pandita Dharmanandi Chandra memandu pembacaan Prasetya Pandita Magabudhi, para peserta mengucapkan Kode Etik Pandita yang dipandu Pandita Viriyananda Sugiyanto. Tampak hadir juga Pandita Muda Judha H yang bertindak sebagai pembawa acara, didampingi Pandita Muda Ian Passani dari PD Magabudhi D.I. Yogyakarta.

Praktikan Dhamma sungguh-sungguh

Dalam ceramah singkatnya, Bhikkhu Santacitto mengapresiasi pelantikan pandita baru pada petang hari itu. Ini karena luasnya wilayah pembinaan warga Buddha di Indonesia, belum cukup bila diampu hanya oleh para bhikkhu dengan jumlah yang sangat terbatas.

Untuk itu perlu peran pembabar Dhamma lain seperti rama pandita. Namun untuk mendukung semangat pembabaran Buddhadhamma, para pandita secara ajeg perlu melakukan tiga latihan praktik. Pertama adalah Pariyatti, yaitu selalu belajar pengetahuan tentang Buddhadhamma melalui Pustaka Tipitaka, agar pemahamannya semakin bertambah; Kedua adalah Patipatti, yaitu praktik Buddhadhamma dengan menjalankan sila-perilaku sesuai Buddhadhamma. Misalnya praktik Pancasila Buddhis dan Athasila di waktu-waktu tertentu, seperti pada bulan uposatha; serta yang ketiga adalah Pativedha, yaitu praktik samadhi secara ajeg untuk memperoleh ketenangan dan kebahagiaan batin dalam kehidupan sehari-hari.

Unik

Satu hal unik pada upacara pelantikan kali ini, bahwa tujuh orang pandita muda baru yang dilantik itu bukanlah wajah baru pegiat Magabudhi. Mereka adalah pegiat Magabudhi yang sudah senior, namun baru berkenan dilantik karena tuntutan pengabdian dengan kekosongan pandita di daerah masing-masing.

Pertama adalah Eko Budiono dari Klaten. Ia adalah pegiat LMD (Lembaga Manggala Dhammadutta) sejak akhir tahun 1990-an yang sering berkegiatan di Wihara Mendut dan Wihara Tanah Putih Semarang. Eko Budiono menjadi satu-satunya pandita di Klaten setelah wafatnya dua seniornya, yaitu Pandita Martono Gito Supadmo dan Pandita Muda Sri Puryono. Pandita Kedua adalah Ruslan. Ia adalah pandita dari wilayah Kentheng, Susukan, Kabupaten Semarang yang telah selesai menempuh Kursus Pandita pada bulan Desember 2018 lalu.

Pandita ketiga adalah Sutrisno, dari Getasan, Kabupaten Semarang. Sejak muda, Sutrisno adalah pegiat LMD dan Patria yang kini menjadi Ketua PC Magabudhi Kabupaten Semarang. Keempat adalah Dhammatejo Wahyudi dari Kota Semarang.

Sama seperti Sutrisno, Wahyudi pernah mengikuti Pelatihan LMD di Mendut yang diampu oleh Bapak Buntoro. Selain itu, ia adalah pegiat Patria dan kini menjadi Wakil Ketua PC Magabudhi Kota Semarang, dan aktif dalam kegiatan lintas agama di ibu kota provinsi Jawa Tengah.

Pandita kelima adalah Gatot Didit dari Purworejo. Ia adalah Ketua PC Magabudhi Kabupaten Purworejo, yang kebetulan adalah putra dari sesepuh Buddhis setempat, mendiang Pandita Sumiyem. Pandita keenam adalah Kustiani yang dikenal publik Buddhis sebagai seorang akademisi sekaligus Ketua PD Wandani Provinsi Jawa Tengah.

Sehari-hari, Kustiani adalah seorang dosen di STAB Syailendra Semarang, dan pegiat ekonomi kerakyatan Buddhis PremaMart. Baru-baru ini, Kustiani mengharumkan nama agama Buddha dengan diraihnya suatu anugerah dari UNDV (United Nation Day of Vesak) di Vietnam. Serta pandita yang terakhir adalah Suyanto dari PC Magabudhi Kabupaten Tegal. Suyanto adalah alumni STAB Syailendra yang kini menjadi andalah Kabupaten Tegal dalam pelayanan masyarakat Buddhis.

Tugas utama dan pertama pandita Buddha

Setelah upacara pelantikan selesai, para pandita menerima samir atau selendang leher dan penyematan pin pandita Magabudhi oleh Pandita Dharmanandi Chandra. Namun sayangnya, pada upacara pelantikan itu lupa disampaikan tugas utama (pokok) dan pertama seorang pandita Buddha. Perlu kita ketahui bahwa cara hidup Rama Pandita berbeda dengan seorang bhikkhu (bhikkhu; bahasa Pali, biksu; bahasa Sanskerta; dan wiku, bahasa Jawa). Seorang bhikkhu harus mematuhi 227 butir sila/peraturan (tradisi Mahayana ditambah lagi 100 peraturan bodhisattwa sila). Salah satunya adalah tidak berumah tangga (selibat). Kebutuhan pokoknya seperti kediaman, makanan, obat, dan jubah, disediakan warga Buddha (tidak bermata pencaharian).

Tugas pokok seorang bhikkhu adalah melatih diri sendiri dan membina warga Buddha dalam perilaku (sila). Sedangkan tugas seorang pandita Buddha yang pertama dan utama adalah sebagai petugas yang membina dan menjalankan upacara perkawinan warga Buddha. Tugas tambahan lainnya adalah menjadi saksi di pengadilan, mengambil sumpah jabatan TNI/ASN, membantu Bhikkhu sangha, mewakili warga Buddha dalam kegiatan lintas agama, dan pemerintahan, dan lain-lain sejenisnya.

Harapan pada pandita Magabudhi

Dengan mengetahui bahwa tugas utama dan pertama seorang pandita Magabudhi adalah petugas yang membina dan menjalankan upacara perkawinan bagi warga Buddha. Maka harapannya ke depan adalah semakin kukuhnya sadha atau keyakinan para pandita Magabudhi beserta putra-putrinya dalam praktik Buddhadhamma. Ini karena tidak jarang justru seringkali terdapat paradoks yang dialami seorang pandita Buddha.

Rama Pandita yang biasanya giat membabarkan Buddhadhamma dan terutama memberikan nasihat perkawinan bagi pasangan pengantin Buddhis. Tak jarang mengalami dilema ketika salah satu putra-putrinya harus “lompat pagar” alias pindah agama karena perkawinan.

Menjadi tugas penting bagi pandita dan pengurus majelis, untuk mengembalikan peran dan fungsi utama dan pertama seorang pandita Buddha. Agar Buddhadhamma dapat lestari mulai dalam keluarga-keluarga Buddhis, utamanya dari keluarga pandita sendiri. Yaitu menjaga agar putra-putri pandita bisa menjadi contoh keluarga Buddhis dengan sadha yang teguh.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *