• Saturday, 25 May 2019
  • Mariani Dewi
  • 0

Pakar pendidikan Fidelis Waruwu di acara How Big is Your Love: Understanding Your Children’s Character di STABN Sriwijaya, Tangerang (4/05), sebuah acara yang diinisiasi oleh Badan Koordinasi Pendidikan Buddhis Indonesia (BKPBI), Penerbit Karaniya, dan Sekolah Tinggi Negeri Agama Buddha Negeri Sriwijaya (STABN Sriwijaya).

Fidelis menjelaskan banyak orangtua tidak mengenali karakter anak dan memberikan stimulan yang sesuai karakter. “Karakter berarti menetap dari lahir hingga dewasa… Karakter ini tidak mengenal agama atau budaya,” jelasnya.

Masalah timbul saat orangtua tidak mengenal karakter unik anaknya dan berasumsi bahwa anak itu sama seperti dirinya atau sama seperti anak yang lain. Orangtua tidak mampu merespon dan mendukung anak sehingga anak menjadi frustasi dan mengalami masalah perilaku.

Karakter bisa dibagi menjadi 8 kategori:

1. Ekstrovert vs Introvert

Anak-anak yang introvert suka melihat tamu tetapi dia selalu sembunyi di belakang orangtuanya. Sedangkan anak-anak ekstrovert, begitu ada tamu, dia langsung menunjukkan diri karena energinya datang dari komunikasi dengan orang-orang.

Alhasil, orangtua sering membandingkan anak yang ekstrovert dan introvert, sehingga direkam oleh anak introvert di pikirannya bahwa “saya tidak bisa” dan menjadi kurang percaya diri. Solusinya adalah orangtua sebaiknya membantu anak itu pemanasan. Begitu sudah nyaman, orang berkarakter introvert akan mampu tampil.

Anak introvert bagus untuk diberikan pelatihan public speaking dan komunikasi untuk menyeimbangi kecenderungannya. Sedangkan anak ekstrovert harus belajar untuk diam dan tenang, sehingga cocok untuk diberikan latihan meditasi.

2. Duluan Perasaan (Feeler) vs Duluan Pikiran (Thinker)

Setiap orang pasti menggunakan keduanya, baik perasaan maupun pikiran. Tetapi ada orang-orang yang cenderung menggunakan perasaannya terlebih dahulu, baru nanti mikir sehingga kadang dianggap suka baper (terbawa perasaan). Anak-anak seperti ini perlu diajak untuk berlatih critical thinking dan berasional.

Terkadang orangtua bertemu dengan anak yang suka berdebat dan menganggap anaknya suka melawan, anak-anak seperti itu kemungkinan adalah anak tipe pemikir, ada juga orang yang mikir dulu, baru menggunakan perasaan sehingga terkadang dibilang kurang empati. Anak-anak ini bisa dilatih dengan kunjungan ke panti asuhan, sering diajak untuk berempati.

3. Terorganisir (Judging) vs Fleksibel (Perceiving)

Anak terorganisir biasanya taat prosedur dan mengerjakan PR sebelum waktunya, mereka adalah perencana ulung namun agak kaku. Sedangkan anak perceiving lebih fleksibel mengikuti situasi saat itu dan bisa menjadi pionir hal-hal baru tapi kurang terorganisir.

4. Imajinatif vs Faktual

Ada anak-anak yang suka berimajinasi dan mengarang cerita, dan ada pula anak-anak yang suka fakta dan sains. Terkadang anak yang suka berimajinasi dicap sebagai pembohong, tanpa mendapat panduan bagaimana mengarahkan kemampuan imajinatifnya dengan sehat.

Semua orang, baik anak-anak maupun orang dewasa, punya kedelapan karakter ini. Hanya saja kadar masing-masing berbeda-beda sehingga ada karakter yang lebih menonjol daripada yang lainnya. “Tugas orangtua setelah memahami ini adalah memupuk bakat-bakat alami anak dan di sisi lain melatih meningkatkan yang masih kurang,” jelas Fidelis.

Baca juga : Menjadi Orangtua Tidak Menjamin Memahami Karakter Anak, Benarkah?

Selain karakter bawaan sejak lahir, ada juga karakter yang dibentuk oleh lingkungan seperti nilai kejujuran, loyalitas, dan disiplin. Di sini, peran orangtua semakin penting. “Ketika anak bermasalah, orangtua membawa anak ke psikolog dan bilang ‘Saya tidak tahu ini anak siapa, keturunan siapa?’ padahal siapa yang mengajari anak itu berbohong? Orangtuanya kan?” ungkap Fidelis.

Pada anak usia 0-12 tahun, kepribadian anak masih dominan dibentuk oleh keluarga dan sekolah. Ketika menginjak usia remaja, orangtua makin sulit membentuk anak karena tergantikan oleh teman-teman sebayanya sehingga perlu dibentuk karakter secara kelompok.

Tetapi yang paling sulit adalah membentuk karakter orang dewasa. Orang dewasa hanya bisa berubah jika dia mau sehingga krusial diperlukan self-awareness bahwa saya sadar saya perlu berubah dan saya mau berubah.

Maukah kita belajar berubah menjadi orangtua yang lebih baik?

Mariani Dewi

Bekerja sebagai dosen, penerjemah, dan copywriter. Pengurus di gurubuddhis.org. Mencoba belajar dan menerapkan Buddhadharma dalam kehidupan sehari-hari.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *