• Saturday, 16 February 2019
  • Reza Wattimena
  • 0

Ketika derita menyengat kuat, sebuah karya pasti lahir. Begitulah yang diyakini para artis sekaligus pekerja kreatif seluruh dunia. Beberapa artis dan pemikir besar, Hemingway, Nietzsche, bahkan Michaelangelo, mengalami masa-masa depresif yang cukup panjang dalam hidupnya. Di akhir hidupnya, Nietzsche bahkan sudah kehilangan kewarasannya.

Berbagai penelitian juga menunjukkan, ada kaitan cukup erat antara derita depresi dengan lahirnya sebuah karya kreatif. Ini juga berlaku di berbagai bidang karya kreatif, mulai dari penulis, pematung, musisi dan sebagainya. Mengapa ini terjadi? Apakah ini tak terhindarkan?

Derita kreativitas

Seorang pekerja kreatif memiliki kepekaan yang lebih tinggi. Mereka amat sadar akan keadaan diri dan lingkungan mereka. Mereka juga sangat reflektif, yakni mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam kepada diri mereka sendiri. Ketiga hal ini memang mulia, namun memiliki sisi gelap tersendiri.

Karena kepekaannya, mereka cenderung rapuh di hadapan penolakan dan kegagalan. Ketakutan dan kecemasan yang mereka rasakan juga berada pada tingkat yang lebih dalam, daripada orang-orang lainnya. Imajinasi tinggi yang mereka miliki mampu membayangkan hal-hal baik dalam kehidupan, juga mampu membayangkan hal-hal jelek yang mungkin tak sungguh-sungguh ada.

Baca juga: Meringankan Penderitaan

Kepekaan juga mendorong mereka untuk peduli pada keadaan dunia. Mereka bergulat di dalam penderitaan politik dan ekonomi, mulai dari kemiskinan, diskriminasi, fitnah sampai perang dan penyiksaan. Dari penderitaan tersebut, mereka berusaha mencari jalan keluar. Sayangnya, tak banyak yang bisa mereka sumbangkan untuk bisa menyelesaikan masalah-masalah politik praktis yang penuh kebohongan.

Artis dan pekerja kreatif juga kerap punya harapan tinggi terhadap kehidupan. Harapan tinggi itu jugalah yang membuat kali mereka berbenturan dengan kenyataan pahit. Kegagalan pun juga menyakiti lebih dalam, daripada yang dirasakan oleh orang-orang lainnya. Kepekaan bagaikan pedang bermata dua yang menyakiti pemiliknya.

Memang, derita tak harus berbuah karya. Namun, bagi orang-orang kreatif, karya kerap kali menjadi jalan keluar dari derita. Karya memberikan kelegaan sesaat dari derita yang terus menyengat. Tak heran, sebagian besar pemikir besar dan orang-orang kreatif terus bergulat dalam derita yang begitu mencekam, sambil terus menelurkan karya-karya yang menghangatkan hati dan pikiran orang lain.

Derita dan makna

Derita sebenarnya bukan masalah. Asalkan, ia mengandung makna. Derita adalah bagian dari hidup yang penuh warna. Asal, ia tak dilekati tanpa henti.

Derita menjadi bermakna, ketika ada cita-cita tinggi yang dikandungnya. Misalnya, orang menderita, karena ia berjuang untuk memperbaiki hidup keluarganya. Atau, orang menderita, karena ia membela bangsanya yang tertindas. Di dalam kerangka makna, derita menjadi bahagia.

Di dalam jalan Zen, derita untuk semua merupakan derita Boddhisatva. Kata ini mencerminkan orang yang sudah menyadari jati diri aslinya, dan keluar ke dunia untuk melepaskan manusia dari derita yang tanpa makna. Ia juga melihat, bahwa jati diri aslinya selalu sama tidak hanya dengan manusia lain, tetapi juga dengan seluruh alam semesta. Ini membuatnya memiliki rasa welas asih yang tanpa batas, dan mampu menanggung derita yang tiada tara.

Derita menjadi nestapa, ketika ia hanya berputar-putar untuk menyelamatkan ego semata. Ego berarti nafsu kerakusan yang selalu ingin lebih, tanpa memperhatikan keadaan. Ego juga berarti kehendak untuk berkuasa, tanpa memperhatikan rasa keadilan. Ketika ego menjadi raja, derita yang tak bermakna secara alami tercipta.

Politik derita

Di abad 21, dunia politik adalah dunia yang penuh penderitaan. Kebohongan menjadi acara sehari-hari. Tipu daya menjadi warna dari hidup bersama. Ketulusan adalah sesuatu yang langka, nyaris punah dari keseharian.

Derita di sini adalah derita tanpa makna. Kerakusan dan kebodohan yang bekerja. Tak ada pengorbanan untuk kebaikan bersama. Sedikit sekali yang memperhatikan kepentingan bersama.

Namun, ini bukanlah keniscayaan. Ada kemungkinan lain yang bisa diperjuangkan. Derita dalam politik bisa menjadi derita untuk mewujudkan kebaikan bersama. Satu orang yang mewujudkan itu di Jakarta, namun kini difitnah, dan harus menetap di dalam penjara. Deritanya amat bermakna, dan ia menemukan makna yang memuaskan hidupnya, walaupun di dalam penjara.

Karya memang tak pernah lepas dari derita. Namun, derita tak harus menyiksa jiwa. Derita yang bermakna, yakni untuk cita-cita yang lebih besar dari kerakusan ego semata, bisa menjadi hiburan yang mendalam bagi jiwa. Ini benar, tidak hanya untuk para artis dan pekerja kreatif, tetapi juga dalam bidang politik.

Jangan takut menderita. Pastikan deritamu bermakna untuk cita-cita yang lebih tinggi, untuk dunia yang lebih luas. Lalu… berkaryalah…

Reza A.A Wattimena

Pelaku Zen, tinggal di Jakarta

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *