• Saturday, 25 January 2020
  • Hendry F. Jan
  • 0

“Pak Adi, hari ini adalah hari terakhir Bapak kerja di sini. Saya juga berat mengatakan hal ini, tapi ini keputusan terbaik yang dapat saya ambil. Bapak tidak sendiri, semua rekan kerja Bapak mengalami hal yang sama. Semoga Bapak segera mendapat tempat kerja yang baru,” kata Pak Johnson dengan mata berkaca-kaca. Pak Johnson adalah pemilik perusahaan tempat Pak Adi bekerja.

Langit serasa runtuh seketika. Pak Adi tak tau mengapa semua ini terjadi padanya. Memang ia bukan satu-satunya orang yang tiba-tiba saja jadi pengangguran, tapi semua rekan kerjanya juga mengalami hal yang sama. Perusahaan tempatnya bekerja bangkrut karena bos ditipu oleh rekan bisnisnya.

Pak Adi tak mau merengek dan minta bantuan bos-nya, ia sepenuhnya tau beban bos jauh lebih besar. Utang ke bank dan supplier yang masih harus dibayar sangatlah besar jumlahnya.

Setelah berkumpul bersama teman sekerja, menangisi nasib, dan saling menguatkan, Pak Adi pulang. Entah bagaimana mengatakan hal ini kepada istrinya.

Banyak pikiran berseliweran di benaknya. Apakah ia akan segera mendapatkan kerja baru? Bagaimana jika uang pesangon yang tak seberapa ini habis tapi ia belum mendapatkan kerja baru? Ini akhir Desember, beberapa hari lagi sudah tahun baru.

* * * * *

Pak Adi tetap berangkat kerja seperti biasa, keluar rumah seolah ia masih bekerja. Turun dari angkot ia tak melanjutkan naik angkot menuju tempat kerjanya. Untuk apa ke sana lagi? Perusahaannya sudah tutup. Pak Adi berjalan tak tentu arah. Ia berhenti sejenak, mengamati keadaan sekitar.

Apakah di sekitar sini ada orang yang butuh pekerja, batinnya. Ia coba tanya ke beberapa kios, apakah butuh karyawan. Sudah belasan kios ia masuki, jawabannya selalu sama. Hanya kata maaf dan gelengan kepala yang ia terima.

Memang tidak mudah mendapat pekerjaan bagi Pak Adi yang hanya lulusan SMA, apalagi usianya sudah tidak muda lagi. Usianya sudah kepala 5, nyaris kepala 6. Usianya sudah 59 tahun! Pengalaman yang dimiliki hanya jadi pekerja di pabrik roti, dan terakhir Pak Adi hanya ditugaskan sebagai pengawas.

Ia hanya ditugaskan mengawasi kerja karyawan bagian produksi karena untuk terjun langsung ia sudah tidak kuat. Beruntung Pak Adi memiliki atasan yang begitu baik. Pak Johnson mengetahui keadaan Pak Adi dan memberinya tugas yang lebih ringan.

Setelah lelah mencari kerja, Pak Adi duduk sejenak di tangga pasar. Ia memandang ke sekelilingnya. Orang lalu lalang dengan kesibukan masing-masing. Tak ada satu pun yang memerhatikan dirinya.

Saat merenung, Pak Adi teringat uraian Dhamma yang pernah didengarnya. “Kita harus selalu melakukan kebajikan, sekecil apa pun hal itu. Bisa berdana kalau punya uang, membantu tenaga, bahkan sekedar memberi info atau memberi nasihat. Intinya terus menanam, dan kelak, apa yang kita tanam akan berbuah.”

Bagai mendapat pencerahan, Pak Adi jadi bersemangat. Hari-hari selanjutnya, pagi hari Pak Adi tetap berangkat dari rumah dan sore baru pulang ke rumah.

Pak Adi berusaha terus melakukan kebajikan semampunya. Sekadar bantu ibu-ibu yang membawa barang belanjaan yang banyak, menunjukkan arah yang tepat bagi orang yang ingin membeli sesuatu, memungut sampah dan membuang ke tempat sampah.

Setiap hari itu yang Pak Adi lakukan di pasar. Sejauh ini semua berjalan lancar dan aman. Kedua anaknya yang masih berusia 8 dan 10 tahun serta istrinya tak ada yang tau apa yang ia lakukan karena jarak pasar ini dan rumahnya cukup jauh. Ada saja rezeki yang Pak Adi dapatkan.

Ada ibu yang memberi sedikit uang, ada pemilik kios yang memberi makan setelah Pak Adi bantu menyapu di depan kiosnya, ada juga yang berbaik hati meminta Pak Adi melakukan hal-hal ringan, seperti membantu menimbang dan mengemas gula pasir, terigu, dan lain-lain.

Lumayanlah, Pak Adi dapat makan siang gratis, kadang ada uang lebih untuk dibawa pulang. Tidak banyak, tapi lumayanlah. Hal ini dapat membuat uang pesangon yang jadi tumpuan hidup jadi bertahan lebih lama, sambil terus berharap agar ia segera mendapatkan pekerjaan tetap.

Di awal Januari ini hampir tiap sore turun hujan. Hampir tiap sore Pak Adi tiba di rumah dengan badan basah karena kehujanan. Tubuh tuanya sering menggigil kedinginan.

*   *   *   *   *

Singkat cerita, sudah dua minggu ini Pak Adi mangkal di pasar, kerja serabutan. Kurang dari dua minggu lagi tahun baru Imlek tiba. Ada kegundahan di dalam hati Pak Adi. Kedua anaknya yang masih kecil pasti berharap dapat memakai pakaian baru dan makan malam menjelang Imlek dengan menu yang lebih enak daripada biasanya.

Dengan uang pesangon yang tersisa, Pak Adi bisa mewujudkan keinginan kedua buah hatinya itu. Tapi yang harus diingat, cadangan uang akan semakin cepat berkurang sementara pekerjaan tetap belum juga didapatkan.

*   *   *   *   *

“Pak Adi..” sapa sebuah suara saat Pak Adi sedang membersihkan saluran air di pasar yang mampet.

“Iya Pak, ada apa?” jawab Pak Adi.

“Ini ada bingkisan sembako dari kami,” kata Bapak itu, yang kemudian diketahui bernama Pak Surya, ketua perkumpulan pedagang pasar.

Pak Adi segera mengelap tangannya dengan kaos yang dipakainya, menerima bingkisan dengan mata berkaca-kaca dan berkali-kali mengucapkan kata terima kasih.

Bingkisan dari Pak Surya adalah awal dari serangkaian surprise yang tak terduga yang diterima Pak Adi.

Keesokan harinya, Pak Adi mendapat bingkisan biskuit kaleng, aneka kue kering, sebotol sirup, dan angpao dari Pak Singgih, ketua relawan peduli sesama.

Esoknya lagi, Pak Adi dipanggil Ibu Melly, pemilik warung nasi di pasar itu.

“Pak Adi, saya pribadi sudah lama mengamati Bapak. Saya tau ada beban berat di pundak Bapak, tapi Bapak berjuang tak kenal lelah. Dari beberapa pedagang pasar saya mendapat sedikit info tentang latar belakang Bapak dan bagaimana Bapak bisa ada di pasar ini. Saya pribadi menawarkan pekerjaan kepada Bapak. Kalau Bapak mau, Bapak bisa bantu-bantu saya di warung nasi ini. Bapak bisa mengantarkan pesanan makanan, mengelap meja, mencuci piring dan gelas. Apakah Bapak bersedia?” tanya Ibu Melly.

Pak Adi tertegun, diam sejenak, tak dapat berkata apa-apa. “Saya mau Bu, saya mau …” jawab Pak Adi antusias. “Terima kasih atas tawaran pekerjaan ini,” lanjut Pak Adi dengan mata berkaca-kaca.

*   *   *   *   *

Pagi ini Pak Adi bangun lebih pagi. Ia siap untuk menceritakan semua “kebohongannya” selama ini kepada istri tercinta. Pergi pagi dari rumah dan pulang sore hari seolah masih bekerja, padahal ia dan teman-temannya sudah jadi pengangguran.

Biasanya Pak Adi kedinginan saat bangun pagi. Tubuh rentanya tidak begitu kuat menahan dinginnya udara Kota Bandung saat musim penghujan. Biasanya ia memakai pakaian kaos dua lapis untuk menahan dinginnya udara pagi.

Hari ini semua terasa berbeda. Sang surya memang belum menampakkan wajahnya, tapi Pak Adi merasakan hangatnya fajar Januari yang membuat badannya tidak lagi kedinginan. Kepedulian Pak Surya, Pak Singgih, dan Ibu Melly benar-benar menghangatkan jiwa dan raganya.

 

Buat warga Tionghoa di mana pun berada:

Gong Xi Fa Chai, Xin Nian Kuai Le, Wan Shi Ru Yi.

 

Catatan:

Tanam, tanam, dan tanam terus kebajikan, apa pun keadaan yang kita alami. Percayalah, suatu saat semua tanaman kebajikan itu akan berbuah dan kita sendiri yang akan memetiknya. Tak seorang pun dapat mencuri apa yang telah kita tanam.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *