• Monday, 1 June 2020
  • Reza Wattimena
  • 0

Di Indonesia, kita gemar sekali berdoa. Setiap ada bencana, kita berdoa. Setiap ada perayaan, kita berdoa. Doa dianggap mampu menyelesaikan segala tantangan kehidupan.

Gaya berdoanya pun macam-macam. Ada yang berdoa dengan berteriak-teriak ke seluruh penjuru arah.

Di dalam doa, mintanya pun macam-macam. Ada yang minta, supaya cepat kaya. Ada yang minta, supaya enteng jodoh. Ada yang minta, supaya sehat selalu.

Padahal, jika diperhatikan, alam ini sudah penuh dengan apa yang dibutuhkan manusia. Matahari bersinar. Udara segar setiap saat. Sumber daya alam yang kaya untuk menopang kesejahteraan hidup manusia.

Lalu, mengapa kita tak pernah puas? Mengapa kita masih merasa berhak untuk meminta sesuatu kepada Tuhan. Ini adalah kesalahpahaman mendasar di dalam hidup spiritual kita. Di abad teknologi dan ilmu pengetahuan ini, kesalahpahaman ini tak mau juga pergi.

Ruang hampa Ilahi

Segala hal lahir dari ruang hampa. Ruang hampa adalah kemungkinan. Para ilmuwan astrofisika menyebutkan materi dan energi gelap (dark energy dan dark matter). Sepanjang sejarah, manusia menyebutnya sebagai Tuhan.

Entitas ini melahirkan segala sesuatu. Galaksi lahir darinya. Bintang dan planet juga lahir dari rahimnya. Manusia, dengan segala kompleksitasnya, pun lahir dari entitas yang misterius ini.

Segala yang dibutuhkan kehidupan pun sudah ada di alam semesta. Bumi menjadi tempat yang istimewa, karena ia mampu menopang kehidupan. Namun, ada kemungkinan juga, bahwa tempat lain pun bisa menopang kehidupan. Di bumi, manusia hanya perlu melatih akal sehat dan nuraninya, supaya ia bisa hidup damai, dan sejahtera.

Ironi dan bungkam yang Mulia

Namun kesombongannya, manusia tetap meminta. Ia tak pernah puas. Hidupnya penuh kerakusan. Bahkan, kerakusan, kebodohan dan kesombongannya itu, seringkali, dibungkus dengan ornamen agama, agar terlihat suci.

Tuhan bisa disuruh-suruh. Tuhan bisa diperintah untuk mewujudkan keinginan-keinginan dangkal manusia. Jangan salah paham. Kita tetap harus berdoa. Namun, kita harus berdoa dalam bungkam. Kita menutup mulut kita, ketika kita berdoa.

Kita bungkam di semua tingkat. Kata lenyap. Pikiran tertunda. Ambisi dilepas. Bungkam yang mulia adalah doa yang tertinggi.

Moralitas alami

Ketika kita bungkam, kita menjadi satu dengan segala yang ada. Doa tak lagi kata penuh kesombongan. Doa menjadi saat kembalinya manusia ke jati dirinya yang asli, yakni satu dengan segala yang ada.

Apa yang perlu terjadi akan terjadi. Alam dan Tuhan yang menentukan. Manusia bisa bersyukur, sambil tetap berusaha. Usahanya tak datang dari ketakutan ataupun kerakusan, namun dari harmoni dengan segala yang ada.

Inilah dasar bagi moralitas alami. Baik dan buruk tidak lagi mengikuti tradisi secara buta. Baik dan buruk lahir dari batin manusia yang menyatu dengan segala yang ada. Moralitas pun melampaui kekuasaan politik yang dangkal, dan menjadi satu dengan semesta.

Ada kejernihan yang lahir. Kita pun bisa memilih. Ada waktunya diam, dan menerima segala yang terjadi. Ada waktunya bergerak, dan berjuang untuk kebaikan.

Semua ini berawal dari bungkam. Kita bungkam di hadapan semesta. Kita bungkam di hadapan Yang Kuasa. Pada akhirnya, kita pun sadar, bahwa kita selalu sudah bersama dia Yang tak Terhingga…

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *