• Sunday, 15 December 2019
  • Hendry F. Jan
  • 0

“Hei … jauhkan anak itu! Dia mau memukul anak saya,” hardik Evelyn saat melihat anaknya didekati anak lain.

Semua mata tertuju pada Evelyn, mama dari Susan. Aku hanya menoleh sejenak, lalu kembali ngobrol dengan Luna dan Erika. Aku memang sering nggak enak hati dengan suasana di SMB ini jika Evelyn sudah marah.

Sebagai anggota baru dari gank ini, aku lebih sering memilih diam, nggak mau banyak berkomentar. Aku umat baru di vihara ini, kami sekeluarga baru pindah dari Semarang. Setiap Minggu aku rutin membawa putri kami, Jane untuk ikut SMB. Sekolah Minggu Buddhis di sini lumayan ramai, ada sekitar 50 anak dari berbagai tingkatan. Dari yang belum sekolah sampai yang sudah SMA.

Saat pertama datang, aku bertemu Erika, teman SMP-ku dulu. “Hai Karin, nggak disangka kita ketemu di sini,” sapa Erika.

Dari situlah aku berteman dengan Erika dan kemudian aku dikenalkan dengan anggota gank-nya, Evelyn dan Luna. Evelyn adalah ketua gank ini. Sebenarnya semakin lama bergaul dengan Evelyn, Luna, dan Erika, aku semakin tertekan. Aku merasa bahwa aku tak layak gabung ke mereka, beda kelas dan beda sifat.

Memang sih hanya Evelyn yang kaya banget, suaminya pemilik pabrik tekstil. Rumahnya besar, mewah banget, ada kolam renangnya. Erika dan Luna nggak terlalu kaya sih, tapi tetap jauh di atas aku, yang hanya istri seorang karyawan sebuah perusahaan swasta.

Aku “terperosok” ke dalam gank ini karena Erika, teman SMP-ku, meski dia dulu bukan teman akrabku. Saat ke vihara ini, dia-lah yang pertama menyapaku, kemudian kami ngobrol lama. Dan kebetulan, kami semua sama-sama memiliki 1 anak perempuan. Jadi klop 1 gank, ibu dengan 1 anak perempuan.

Kalau dibilang enak sih sebenarnya enak gabung ke gank ini, kami selalu ditraktir Evelyn. Setiap jalan, kami naik mobil Alphard milik Evelyn, makan di mal, dia yang traktir. Tapi aku tak terbiasa dengan hal seperti ini, aku merasa tertekan. Aku seolah jadi hewan peliharaan yang harus patuh pada majikan. Kalau bicara selalu berusaha menyenangkan hati Evelyn, cari muka.

Kulihat Luna dan Erika sih santai saja. Mungkin mereka memang tipe penjilat. Dan gilanya lagi, beberapa pengurus di vihara “mendukung” segala keangkuhan Evelyn. Meski bukan pengurus, ia jadi orang penting di vihara, ada acara, dapat tempat paling depan. Keangkuhan Evelyn semakin menjadi. Kata anak zaman now, “horang kaya mah bebas.”

* * * * *

Minggu lalu Evelyn marah besar. Susan terjatuh karena didorong temannya. Saat SMB selesai, Cici dan Koko Pembina diceramahin. Evelyn marah dan komplain ini itu, Luna dan Erika sering ikut ngomporin. Sementara aku hanya diam, serbasalah. Sebenarnya yang dikomplain Evelyn itu urusan kecil, hanya Evelyn sengaja ingin menunjukkan power-nya. Anak-anak yang berisik, lantai baktisala yang kotor, Cici Koko yang kurang perhatian sama anak-anak, cara mengajar yang kurang asyik, membosankan, dan lain-lain.

Aku yang pernah menjadi Pembina SMB sangat memaklumi keadaan yang dikomplain Evelyn. Aku tau, mereka semua adalah relawan. Aktivitas mereka jadi Pembina adalah kerja tanpa pamrih. Seharusnya kita banyak berterima kasih karena di sela kesibukan kuliah, mereka masih mau meluangkan waktu mengajar Dhamma untuk anak-anak SMB.* * * * *

“Karin, aku mau curhat dong,” bunyi WA dari Erika.

“Ya, ada apa Erika?”

“Kemarin aku sendirian di SMB. Kamu, Evelyn, dan Luna tidak ada.”

Lho kok bisa kebetulan 3 orang tak ke SMB? Kami nggak janjian lho. Aku pergi ke luar kota, ada famili yang menikah.”

“Iya, aku tau. Di SMB aku duduk sendirian saja, nggak ada yang menyapa. Anak-anak, Cici dan Koko pergi ke swalayan membeli barang-barang untuk baksos ke panti asuhan. Ibu-ibu lain pergi, aku males jalan, jadi aku nunggu di SMB. Karin, aku merasa bersalah banget.”

“Cuma nggak ikut ke swalayan kok merasa bersalah? Biasa aja, mereka maklum kok.”

“Bukan itu. Di baktisala ada buku diary milik Pembina SMB. Aku tau, itu privasi orang, seharusnya nggak boleh dibuka dan dibaca.  Tapi aku penasaran, aku buka dan baca.”

“Hah … kok bisa sih?”

“Itulah sebabnya, aku jadi merasa bersalah. Aku nggak tau harus bagaimana. Aku cerita dulu ya, kamu baca saja. Nanti kamu baru kasih saran.”

“Itu diary Amanda. Aku baru tau, ternyata Cici dan Koko Pembina SMB tidak dibayar serupiah pun untuk mengajar di SMB. Aku juga jadi tau di tengah keterbatasan kiriman uang dari orangtua, mereka harus keluar uang transport dari kost ke SMB. Mereka harus meluangkan waktu mengajar anak-anak SMB, padahal tugas kuliah menumpuk. Eh … pengorbanan mereka bukan diapresiasi dengan ucapan terima kasih, malah Minggu lalu diomelin Evelyn. Aku dan Luna juga ikut-ikutan. Cici dan Koko Pembina hanya pasrah. Mereka hanya bisa menjawab, terima kasih masukannya Ci Evelyn, akan kami perbaiki semampu kami. Sekarang aku jadi merasa bersalah, aku harus gimana dong?”

“Hmmm … hal ini juga sudah terlintas di benakku, dulunya aku juga Pembina SMB. Aku pernah mengalami hal ini, tapi untungnya di tempatku dulu orangtua anak SMB lebih baik dan care kepada kami. Mereka sering memberi kami makanan. Pengurus vihara memberi kami pengganti uang transport dan uang jajan. Masalah kami lebih ke soal sulitnya membagi waktu antara tugas kuliah dan mengajar SMB, bukan komplain ortu. Makanya aku hanya diam saat kalian bertiga ngomel ke Cici Koko. Mau ngebelain Cici dan Koko jadi nggak enak sama Big Boss. Bisa-bisa aku yang diomelin orang tak tau diri, sudah sering ditraktir tapi malah ngebela orang lain. Erika, diskusinya kita lanjut besok saja ya? Aku dan suami mau antar Jane ke dokter, Jane muntah-muntah sejak pulang sekolah.”

“Aduh, maaf aku nggak tau Jane sakit. Oke deh. Semoga Jane lekas sembuh ya …”

*   *   *   *   *

Catatan: DRF, terima kasih email dan curhat-nya. Kisahmu sudah saya jadikan cerpen. Nama tokoh dan lokasi kejadian sudah saya ubah, dan tentu saya beri bumbu agar menarik. Semoga cerpen ini tidak mengecewakanmu.

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *