• Monday, 8 July 2019
  • Surahman Ana
  • 0

Kehidupan manusia, bahkan setiap makhluk hidup mengalami penderitaan; usia tua, sakit, dan kematian. Lebih dari 2500 tahun yang lalu, Buddha telah mengajarkan jalan keluar dari penderitaan. Ajaran Buddha ini diulas kembali oleh Bhante Sri Pannyavaro dalam acara Waisak Puja Raya, Vihara Dhamma Sundara, Solo, Sabtu (15/06).

“Pada saat Pangeran Siddharta melihat kehidupan di luar istana, Siddharta melihat penderitaan. Bermacam-macam kesengsaraan dan penderitaan termasuk usia tua, mereka yang sakit dan juga Siddharta melihat kematian. Penderitaan itu sangat mengganggu hati Pangeran Siddharta. Betapa hebatnya kekuatan dari penderitaan. Banyak orang berkomentar bahwa, Siddharta meninggalkan istana karena kekuatan melihat penderitaan. Sebenarnya kurang tepat Ibu/Bapak dan Saudara,” tutur Bhante Pannyavaro mengawali pesan Dhamma.

Bukan penderitaan yang membuat Pangeran Siddharta meninggalkan istana. Tetapi karena kekuatan kasih sayang, kepedulian terhadap sesama itulah yang menggerakkan Siddharta meninggalkan istana yang nyaman. “Kalau Siddharta tidak tergerak hatinya, tidak mempunyai belas kasihan, tidak mempunyai kasih sayang, Siddharta melihat penderitaan sekadar melihat penderitaan. Tetapi karena kekuatan kasih sayang itulah yang Siddharta ingin peduli, tuntas.

“Memang banyak orang yang tidak peduli pada penderitaan, tetapi banyak juga yang peduli pada penderitaan. Ingin membantu, ingin menolong, ingin mengangkat, tetapi sekadarnya. Amat berbeda dengan Siddharta, kepedulian Siddharta pada penderitaan itu membuatnya sampai meninggalkan istana, meninggalkan kehidupan yang nyaman, yang didambakan semua orang. Karena peduli kepada penderitaan, dan ingin mencari jawaban mengapa manusia menderita? Apakah ada jalan keluar untuk menyelesaikan penderitaan itu?

“Apa ada Ibu/Bapak dan Saudara, seseorang yang peduli kepada penderitaan orang lain habis-habisan? Meninggalkan rumah tangganya, meninggalkan istananya, kenyamanannya, padahal Sidharta adalah putra mahkota. Itu bisa dilakukan hanya karena kasih sayang!” tegas Bhante.

Tidak hanya soal penderitaan fisik, namun penderitaan batin menjadi masalah yang sama setiap umat manusia. Apa pun masalah yang dihadapi dengan bermacam-macam jenisnya namun secara garis besar masalah batin mempunyai kedudukan yang sama bagi setiap manusia.

”Memang problem-problem orang tidak sama. Semua mempunyai persoalan kehidupan yang berbeda-beda, tetapi persoalan emosi, persoalan batin, persoalan kekecewaan, persoalan kegagalan, kegalauan, kesedihan, kekhawatiran sebenarnya adalah sama,” terang Bhante. Kesamaan penderitaan antarsesama manusia ini yang menurut Bhante menumbuhkan cinta kasih yang alami, tidak sekadar toleransi.

Di Nusantara, ajaran Buddha telah berkembang pada masa pesat dan menjadi pedoman hidup manusia pada masa lalu. Salah satu ringkasan ajaran cinta kasih ditulis oleh seorang pujangga besar pada masa Kerajaan Majapahit yang hingga kini menjadi semboyan Bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika.

“Mpu Tantular seorang pujangga besar Buddhis pada zaman Raja Rajasanagara (Hayam Wuruk), menuliskan, menggoreskan di lontar Sutasoma, ”Bhinneka Tunggal Ika”. Bhinneka (Bina Ika), berbeda-beda tetapi satu. Masih ditandaskan lagi Tunggal Ika, tetap satu. Sebenarnya Bhinneka Tunggal Ika itu adalah terjemahan Mpu Tantular tentang ajaran cinta kasih. Meskipun problem kita berbeda-beda, tetapi sebagai manusia kita mempunyai persoalan kehidupan yang sama,” ungkap Bhante.

“Ajaran cinta kasih dan kasih sayang mampu menepis sekat-sekat perbedaan yang ada dalam masyarakat, tak terbatas, dan tak berpihak. Penerapan ajaran cinta kasih dan kasih sayang di lingkup sosial mampu mewujudkan persatuan masyarakat suatu bangsa. “Yang senang kepada kita adalah saudara kita, itulah metta. Yang tidak menyenangi kita juga saudara kita, yang beragama sama dengan kita juga saudara kita, yang beragama lain juga saudara kita.”

Bhante memberi contoh, “Baru saja kita selesai pada bulan April melewati pesta demokrasi (izinkan saya untuk tidak menggunakan istilah kalah atau menang). Yang berhasil dalam pesta demokrasi saudara kita, yang tidak berhasil juga saudara kita. Yang mencintai kita saudara kita, yang membenci kita juga saudara kita. Karena kemanusiaan itu memanggul problem yang sama. Itulah landasan cinta kasih kita.

“Sebenarnya Bhinneka Tunggal Ika itu tidak hanya mempunyai dimensi kemanusiaan. Sebenarnya Bhinneka Tunggal Ika itu tidak hanya perekat sosial yang erat, karena Mpu Tantular melanjutkan dengan Tan Hanna Dharma Mangrwa. Kebenaran itu tidak pernah bermuka dua. Dharma Dattan Mangrwa, Dharma tidak pernah bermuka dua. Bhinneka Tunggal Ika juga mempunyai dimensi filosofis yang sangat tinggi. Kebenaran itu tunggal!” Bhante menegaskan kembali.

Melenyapkan akar penderitaan

“Ibu, Bapak, dan saudara. Siddharta mencapai pencerahan dan melihat apa sebabnya, apa yang menjadi akar penderitaan umat manusia itu. Siddharta melihat pada saat purnama di bulan Waisaka bahwa, akar penderitaan itu sebenarnya persis berada di dalam diri kita. Tidak di luar.

“Apakah akar penderitaan itu?

“Akar penderitaan itu adalah keinginan yang tidak wajar. Keinginan yang tidak wajar itulah yang membakar diri semua orang. Membakar dengan keserakahan, membakar dengan kebencian, membakar dengan iri hati, membakar dengan balas dendam. Membakar dengan kesombongan, kecongkakan. Itulah akar penderitaan.

“Oleh karena itu Guru Agung kita, memberikan jalan keluar kepada kita bagaimana mengatasi atau mengurangi penderitaan itu. Yang pertama, berhati-hati dengan keinginan saudara, selektif dengan keinginan-keinginan saudara. Kalau saudara menuruti semua keinginan saudara, keinginan itu akan membakar saudara. Keinginan yang membakar itulah sumber penderitaan.

Baca juga: Bhante Pannyavaro: Saat Masyarakat “Sakit” Dhamma adalah Obatnya

Yang kedua, mengendalikan perilaku kita dari semua perilaku yang buruk. Kalau saudara menerima berita jangan kesusu (buru-buru) disebarkan. ‘Benar ini bhante, bukan hoax’, Iya benar, tetapi sudahkah saudara berpikir meskipun berita ini benar, mereka yang menerima kiriman berita itu dari kita, apakah tahan, apakah tidak menimbulkan kekhawatiran, kesedihan, ketakutan? Kalau memang itu bisa timbul meskipun berita itu benar, simpan.

“Mengendalikan diri dari ucapan, dari tindakan yang buruk adalah terpuji. Baru saja saudara kami umat Islam melaksanakan puasa sebulan penuh, seolah-olah saudara kami umat Islam mengingatkan kita dan memberikan contoh kepada kita untuk mengendalikan hawa nafsu. Kalau saya, kalau umat Buddha tidak bisa mengendalikan perilaku buruknya, malulah saya.

Yang ketiga adalah harus mempunyai ketenangan batin. Kalau batin ini mendidih, mana mungkin akan ada kebahagiaan. Kalau batin ini bergejolak, itulah sumber penderitaan. Menenangkan batin dengan meditasi. Batin yang tenang maka penderitaan itu juga akan menjadi padam, padam, dan padam.

“Yang keempat, harus belajar tidak hanya mengerti tetapi  menerima perubahan. Dunia ini tidak kekal, hanya yang Asankatha yang kekal. Dunia dengan segala isinya adalah fana, alam semesta adalah tidak kekal. Usia tua, sakit, dan kematian adalah fenomena yang harus diterima semua orang. Yang jahat, yang sering berperilaku jahat juga yang disebut orang-orang baik. Kalau Anda tidak bisa menerima perubahan maka Anda akan menderita. Umur tua, sakit, kematian, kegagalan, perubahan, apa yang terjadi itu, kenyataan itu, sebenarnya bukan sebab penderitaan. Tetapi kalau tidak bisa menerima kenyataan itu, itulah sebab penderitaan.

“Umur tua bukan sebab penderitaan, tetapi tidak bisa menerima menjadi tua itulah penderitaan. Sakit ya memang harus diobati, terima sakit terlebih dahulu kemudian diobati. Kalau saudara tidak bisa menerima sakit sedangkan saudara sakit, maka saudara akan double penderitaan. Penderitaan fisik dan penderitaan mental karena tidak bisa menerima sakit yang sesungguhnya Anda sedang sakit. Kematian juga tidak membuat kita menderita, tetapi emoh (tidak mau) mati itulah yang membuat kita menderita.

Bhante kembali memberikan contoh, “Pada waktu kita di SD, di SMP, banyak perlombaan, banyak pertandingan. Kalau kita sudah berkeluarga juga ada pertandingan yang lebih besar. Saya tidak usah menjelaskan, semua sudah paham. Seperti pada bulan April, kekalahan itu, yang belum berhasil itu, sebenarnya tidak akan membuat penderitaan. Tetapi tidak bisa menerima kekalahan itulah sebab penderitaan.

Bagaimana mengurangi penderitaan dan menanggulangi munculnya tindakan-tindakan kejahatan bahkan telah tersirat dalam ungkapan bahasa Jawa yang sudah dikenal banyak orang terutama masyarakat Jawa.

Panna atau wisdom juga mengajarkan, Guru Agung kita mengajarkan panna atau wisdom, janganlah mempunyai keakuan, karena keakuan itu akan menimbulkan bermacam-macam kejahatan. Keakuan melahirkan kebencian, keakuan melahirkan keserakahan. Marilah kita bekerja dengan tanpa aku. Rame ing Gawe, Sepi ing Pamrih. Kalau kita bisa memadamkan keakuan kita, kita bisa Rame ing Gawe, Sepi ing Pamrih,” tutup Bhante.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *