• Sunday, 6 April 2014
  • Andri Satria Pratama
  • 0

Kemarin (4/4/2014) sepulang dari menghadiri acara di Jakarta, saat sedang dalam perjalanan pulang, saya melihat seorang bhikkhu Sangha memakai jubah seperti pakaian, tasbih di lehernya, dan sebuah patta (bowl/mangkuk bhikkhu) kecil di tangannya. Kalau dilihat-lihat dengan teliti seperti bhikkhu Sangha aliran Mahayana (Suhu). Dia sedang melintas di jalanan sedang berpindapata sendirian, tanpa ditemani kapiah (umat yang mendampingi yang membawa hasil pindapata).

Dengan maksud ingin berdana dan menanam kamma baik, saya berhenti dan turun dari sepeda motor. Saya langsung bergegas mengeluarkan sebungkus wafer Tango dari dalam tas saya. Saat ingin saya danakan kepada bhikkhu tersebut, ternyata ditolak oleh bhikkhu tersebut. “Looh, kok saya mau berbuat baik malah ditolak?” pikir saya dengan rasa heran.

Saya ajak berbicara bhikkhu tersebut dengan bahasa Indonesia, dia tidak mengerti. Saya ajak berbicara dengan bahasa Inggris, dia tidak mengerti. Saya ajak berbicara dengan bahasa Mandarin (meski pasif dan belum lancar), bhikkhu tersebut juga tidak mengerti. Saya bertanya dengan maksud menanyakan aliran, guru, vihara tempatnya berdiam dan majelis tempat dia bernaung, tetapi dia hanya terdiam.

Lantas bhikkhu itu mengeluarkan uang Rp 50.000 dari dalam jubahnya dengan mengetukkan patta.

Ooh… saya mengerti apa yang dimaksud bhikkhu tersebut, dia meminta uang! Mengapa saya bilang meminta? Setahu saya dan ajaran dari guru saya, seorang bhikkhu tidak menerima dana uang, emas, perak, dan perunggu sedikit pun.

Apabila seorang bhikkhu tidak mendapatkan derma makanan, maka kemungkinannya hanya tiga: tidak makan; makan buah-buahan yang ditemukan dalam kondisi jatuh dari pohonnya, bukan dengan dipetik sendiri; atau melepas jubah dan menjadi umat awam.

Kondisi ini memang terlihat menyedihkan, namun itulah ketentuan yang telah digariskan. Bahkan sejarah mencatat, Buddhisme pernah mengalami kemunduran parah di India Selatan lantaran minimnya sokongan dari umat.

Dalam hati saya berkata, “Wah ada yang tidak beres nih… Masa sih bhikkhu pindapatta jam 9? Masa bhikkhu pindapata tanpa kapiah (umat yang membantu)? Dan pakaiannya melebih-lebihi seorang bhikkhu yang seharusnya?”

Yang lebih mencurigakan, dia meminta dana uang?! Tidak mengerti bahasa Indonesia atau Inggris, tapi berani keluar di Indonesia sendirian. Dengan seketika pikiran saya menafsirkan bahwa bhikkhu tersebut GADUNGAN/PALSU dan bisa merusak nama agama Buddha di mata umum.

Saya hanya memberi sedikit informasi dan pelajaran kepada saudara-saudari se-Dhamma yang belum mengetahui, jangan sampai salah tentang persoalan ini.

Seharusnya di Indonesia harus dibuat tim atau majelis khusus untuk mengatur atau menegakkan tata tertib dan kehormatan para bhikkhu di Indonesia yang dipimpin oleh bhikkhu senior, seperti di Thailand sana. Apalagi di Indonesia yang mayoritas non Buddhis. Karena yang ada akan merusak nama baik agama Buddha dan bhikkhu di nusantara. Sungguh ironis.

Tambahan dari redaksi:
Saat ini ada sejumlah oknum umat awam yang menyamar menjadi bhiksu (biasanya aliran Mahayana) yang meminta-minta dana uang di jalan, rumah, atau toko. Biasanya mereka berasal dari Tiongkok. Jika ada yang bertemu dengan orang-orang seperti ini, disarankan untuk melaporkannya kepada Bimas Buddha Kementerian Agama setempat sebagai lembaga resmi yang mengurus hal-hal seperti ini.

Sumber asli tulisan ini bisa dilihat di:
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=212139478997068&set=a.212209955656687.1073741829.100006030514231&type=1&theater

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *