• Monday, 25 June 2018
  • Hendry F. Jan
  • 0

Luka lamaku seakan berdarah lagi. Luka yang sudah lama aku kubur dan tak ingin kuingat, kini kurasa bagaikan luka baru yang disiram dengan perasan air jeruk nipis. Perih…

Yang lebih menyakitkan, orang ini sama sekali tak ada hubungan darah denganku, ia tiba-tiba muncul dan menggores luka lama itu. Apa salahku kepadanya?

Aku duduk merenung di kamar kost. Rasanya aku malas untuk ke vihara karena akan bertemu dia lagi. Dia yang muncul tiba-tiba menggores luka. Siapa sih dia? Kok seolah dia seperti nenekku, yang merasa punya hak menghakimi aku. Padahal ia tidak punya hak untuk mengatakan ini atau itu tentang diriku. Dia bukan siapa-siapa, bukan kakakku, bukan saudara papaku atau saudara mamaku.

Luar biasa aneh. Manusia aneh…!!!

* * * * *

Kuketik pesan di ponsel pintarku via WA, “Susan, kita ketemuan yuk…” Tak perlu menunggu lama, langsung aku membaca tulisan di layar: Susan sedang mengetik pesan. “Ada apa say…?” balas Susan. “Aku mau curhat nih. Kepalaku mumet…” jawabku. “Oke say… aku juga lagi pengen refreshing. Kita ketemuan di tempat biasa ya?” Susan meminta persetujuan. “Oke,” jawabku.

* * * * *

Suasana foodcourt tidak begitu ramai, padahal ini hari Minggu. Biasanya menjelang jam makan malam seperti sekarang ini, meja-meja di foodcourt ini sudah dipenuhi pengunjung. Mungkinkah karena tanggung bulan? Uang di saku sudah menipis, tanggal gajian masih lama.

Aku duduk di meja yang terletak di sudut. Sengaja aku pilih tempat itu, biar lebih bebas curhat. Aku memandang ke sekeliling, tidak banyak meja yang terisi. Susan belum terlihat, mungkin ia terjebak macet?

Susan adalah sahabat karibku sejak SMP. Saat SMA kami juga satu sekolah. Minggu sehabis aku pulang dari vihara dan Susan pulang dari gereja, kami sering jalan bareng. Hanya kami kuliah di kota yang berbeda. Susan kuliah di Jakarta, aku kuliah di Bandung. Kami jadi makin sering bertemu lagi saat sudah bekerja. Aku dapat kerja di Bandung, Susan dimutasi dari Jakarta ke Bandung. Susan sering nginap di kost-ku, begitu pun sebaliknya.

“Marlin… sedang menunggu siapa?” goda Susan yang baru datang. “Kok telat sih?” tanyaku. “Biasa say, macet. Bandung sudah mulai kayak Jakarta, macet di mana-mana. Belum pesan makan?” tanya Susan. “Belum, baru pesan jus mangga saja sambil nunggu kamu,” jawabku.

Susan duduk di depanku. “Aku mau pesan batagor, kamu mau apa?” tanya Susan. “Samain aja deh,” jawabku. Susan pergi memesan batagor dan minuman. Aku duduk sambil memandang sahabat baikku ke counter batagor.

“Ayo curhat sekarang, mukamu kelihatan bete sekali,” kata Susan sekembalinya dari memesan batagor.

“Kamu tau ‘kan semua kisah hidupku?” kataku. Susan hanya mengangguk. Aku menyuapkan batagor ke mulutku, mengunyah dan mencoba menikmati rasanya.

Susan memang sudah tau semua kisah hidupku. Itu bukan hanya karena aku menceritakannya tapi Susan terlibat di dalamnya. Aku dirawat oleh orangtua angkat. Papa dan mama kandung “membuangku” saat aku masih bayi.

Aku dirawat orangtua angkatku dengan penuh kasih sayang. Aku tak pernah menyangka aku anak angkat, bukan anak kandung mereka. Mereka memperlakukan aku dengan sangat baik, tidak pernah memukulku, tidak pernah mengatakan aku bukan anak kandung mereka.

Aku bersyukur mendapat orangtua angkat yang demikian baik. Aku tau bahwa aku bukan anak kandung mereka secara tidak sengaja. Saat itu aku mendengar pembicaraan kedua orangtua angkatku dengan paman.

Lewat perjuangan cukup lama, akhirnya aku mengetahui fakta sebenarnya. Susan-lah yang banyak membantuku mencari tau siapa orangtua kandungku. Juga mama Susan yang bantu mencari tau dengan berbicara pada beberapa orang yang kemungkinan mengetahui asal usulku.

Ternyata aku “dibuang” karena ortu kandungku merasa ciong denganku. Sejak aku lahir, usaha mereka terus menurun. Kata orang pintar, aku harus diberikan ke orang lain agar usaha mereka tidak bangkrut.

Sebenarnya sangat berisiko aku mencari tau ortu kandungku. Kalau ortu angkatku, yang sudah kuanggap ortu kandungku mengetahuinya, betapa terpukulnya mereka. Untungnya semua usahaku berjalan lancar.

Aku hanya penasaran untuk tau siapa ortu kandungku. Apakah aku ingin kembali ke ortu kandungku? Oh no. Big NO! Aku bahagia dengan keadaanku sekarang, aku sayang kedua ortu angkatku. Mereka merawatku seperti anak kandung. Hanya penasaran saja ingin tau wajah ortu kandungku seperti apa. Hanya itu saja.

“Hei… kirain asyik makan batagor. Taunya ngelamun, mau cerita atau mau ngelamun,” Susan membuyarkan lamunanku. Aku senyum-senyum saja.

“Aku sebel sama seorang ibu di vihara. Kalau ia bicara, aku merasa ia selalu menyindirku. Ia bilang, kita harus sayang dan berbakti pada orangtua kita. Orangtua yang melahirkan kita. Tanpa mereka, kita tidak ada di dunia ini, dan seterusnya,” kataku. “Padahal, orang satu vihara tau, ortuku ada di Jakarta. Hampir tiap bulan aku pulang ke Jakarta. Sabtu sepulang kerja, aku langsung naik kereta api, nginap di sana, dan Minggu sore aku balik ke Bandung lagi. Tadinya aku pikir ini hanya kebetulan saja. Tapi saat ngobrol rame-rame sehabis pujabakti atau saat ia ngobrol berdua denganku, selalu itu yang ia katakan. Bakti kepada ortu. Orang itu maunya apa sih???” kataku kesal.

“Pertanyaanku sekarang sudah terjawab. Ortu kandungku sudah dua minggu ini ke vihara. Tadinya mereka pujabakti di vihara lain. Saat bertemu mereka, aku menyapa dan mengucap salam seperti aku berjumpa dengan umat lain. Untuk memanggil mereka mama dan papa, terus terang aku belum bisa. Sebenarnya aku tak berharap mereka muncul di hadapanku,” aku mengakhiri cerita.

“Say, kamu maunya gimana?” Susan tampaknya mengerti maksudku. Aku membisikkan sesuatu ke telinga Susan.

* * * * *

“Semua sudah beres say,” kata Susan. “Ibu Noni Yosie sudah aku beri pelajaran, semoga ia tidak lagi mengungkit hal itu,” lanjut Susan.

“Aku datang ke vihara saat kamu balik ke Jakarta. Aku datang lebih awal dan pura-pura cari kamu. Pas banget aku melihat beliau. Aku yakin itu dia, seperti foto yang kamu tunjukkan. Aku pura-pura tanya, apakah ada Marlin? Dia jawab, belum kelihatan. Lalu kami ngobrol. Aku cerita bahwa kamu anak yang sangat berbakti. Marlin sangat sayang pada kedua orangtuanya yang tinggal di Jakarta. Dia kaget. Lho… bukannya ortu kandungnya tinggal di Bandung? Oh… iya, ortu kandung yang membuangnya saat bayi memang tinggal Bandung. Marlin tinggal dengan ortu angkat yang merawat dan sayang padanya seperti anak kandung mereka sendiri. Dia kaget! Marlin sudah bertahun-tahun berusaha menyembuhkan luka hatinya karena merasa jadi anak pembawa sial sehingga ia dibuang. Marlin sudah mulai bisa berdamai dengan keadaan. Ia tidak menaruh dendam kepada orangtua kandungnya. Tapi Marlin tetaplah seorang manusia, yang tidak bisa serta merta berubah sikap seratus delapan puluh derajat. Tiba-tiba harus memanggil Mama dan Papa kepada kedua ortu kandungnya,” Susan berhenti sejenak.

“Setelah selesai mengutarakan semua uneg-uneg kamu, aku bilang. Ci Noni, aku pamit dulu. Ini barusan ada WA dari Marlin. Kata Marlin sekarang ia ada di Jakarta. Semalam Marlin ditelepon Papa dan Mamanya, ada pamannya yang tinggal di Amerika datang ke Jakarta. HP Marlin hilang, ia kecopetan saat naik kereta. Dan baru sekarang Marlin kasih kabar bahwa ia ada di Jakarta,” cerita Susan.

“Kalau kamu lihat ekspresinya, kamu pasti akan tertawa. Ia lebih banyak bengong saat aku cerita tentang kamu. Tampaknya ia hanya dapat sepotong cerita dari satu pihak, tidak pernah cek dan ricek, lalu nyinyir seolah ia tau segalanya. Seolah ia saudara kamu dan berhak menceramahi kamu tentang moral,” lanjut Susan.

“Aku yakin ia akan malu kalau bertemu kamu,” pungkas Susan.

“Terima kasih Susan, kamu memang sahabat terbaikku,” kataku sambil memeluk Susan.

* * * * *

Catatan:

Jangan sok tau jika Anda tidak tau cerita sesungguhnya, apalagi ikut campur sesuatu yang bukan urusan Anda. Luka sabetan pedang dapat disembuhkan, luka hati akibat ucapan, susah dilupakan.

Hendry Filcozwei Jan

Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *