• Thursday, 8 March 2018
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Well, bagaimana rasanya bila saya mengatakan hal ini kepada Anda? ‘Anda bukanlah siapa-siapa!’ Apakah Anda merasa tersinggung? Ataukah Anda merasa biasa-biasa saja? Atau Anda marah dan balik menghardik saya, ‘Kamu salah! Kamu tidak tahu siapa saya, hah!’

Dibiasakan sejak kecil

Ya, ya… Saya tahu Anda adalah Mr. X. Saya tahu bahwa Anda adalah petinggi perusahaan Y. Saya juga mungkin tahu kalau Anda punya masalah dengan Mrs. A. Anda yang mungkin tidak tahu bahwa kami sering bergosip tentang Anda. Dan lain sebagainya. Fenomena-fenomena ini sering sekali kita temui dalam kehidupan sehari-hari – yang sayangnya, sering menyebabkan beban bagi kita.

Sejak kecil kita dibiasakan untuk berpikir bahwa kita adalah pusat dari segalanya. Kita adalah seseorang yang spesial. Kita unik. Dan kita senang mendengarnya. Kita menjadi percaya bahwa kita memang spesial di antara lainnya. Tetapi pada kenyataannya, kita tidaklah jauh berbeda dengan kebanyakan orang. Semua orang juga dibesarkan dan mempercayai hal yang sama: bahwa mereka adalah orang yang spesial.

Baca juga: Siapakah yang Mengamati Pikiran?

Sampai pada suatu titik, kepercayaan ini dapat membantu kita untuk memiliki motivasi agar menjadi lebih baik lagi dan lagi. Tetapi di sisi lain, pandangan ini dapat membuat kita menderita. Ketika kita merasa spesial, sangat gampang kita menjadi tinggi hati.

Saat itu pula, pandangan kita terhadap orang lain (keluarga, teman, kolega, dan lain-lain) menjadi berubah. Kita memaksakan kehendak kita. Kita tidak lagi mengucapkan kata ‘tolong’ kepada bawahan kita. Kita merasa telah menggaji pembantu kita sehingga kita berhak memarahinya di depan umum atau bahkan memukulinya.

Bagi anak-anak yang sejak kecil didoktrin/diatur oleh orangtuanya, kita berusaha menjalankan hidup orang lain (sebagaimana yang dikehendaki orangtua kita) dan melupakan jati diri kita. Dan masih ada banyak sekali peristiwa lainnya yang bahkan mungkin pernah kita lakukan sendiri.

Kita tidaklah spesial

Hal ini terjadi karena kita tidak menyadari bahwa kita tidaklah begitu spesial. Pada kenyataannya, kita memiliki rentang usia yang sama dengan orang lain. Kita memiliki rupa fisik dan kesempatan yang sama dengan kebanyakan orang. Kita hanyalah satu dari sekian miliar orang yang ada di bumi ini.

Keberadaan kita bahkan sangat kecil dibandingkan alam semesta. Tetapi ketidakmampuan kita untuk membedakan antara persepsi subjektif dan realita objektif membuat kita tidak dapat menikmati dan menjalankan hidup dengan sesungguhnya.

Baca juga: The Billionaire: Siapa Bilang Anak Muda Tak Bisa Sukses?

Akibatnya: kita menghabiskan waktu singkat kita untuk mengejar-ngejar hal yang sebenarnya tidak kita perlukan/inginkan. Kita menjalankan hidup tanpa makna dan tujuan yang penting.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menyadari kebenaran ini. Menjadi bukan siapa-siapa tidak berarti bahwa kita tidak dapat melakukan sesuatu yang spesial. Kita bahkan bisa melakukan banyak hal yang spesial sambil tetap bersikap rendah hati (humble)  terhadap orang lain.

Oleh karenanya, jangan marah bila ada orang yang mengatakan bahwa Anda bukanlah siapa-siapa. Jadikan hal itu sebagai cara agar kita dapat melatih diri kita untuk menjadi lebih rendah hati. Dengan demikian, pandangan ini akan menjadi berkah dalam hidup Anda.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *